Nah, outline saya yang pertama adalah tentang pengertian "New Normal." Saya melihat kita perlu menyamakan presepsi tentang apa itu New Normal, sebab saya melihat terjadi beberapa kesalahpemahaman. Jadi, saya mungkin perlu jelaskan lebih dulu.

Lalu, dari pengertian New Normal ini, saya akan membahas 6 tren dan dampaknya bagi gereja, gereja yang dulu dan yang akan datang. Semoga ini akan menolong kita untuk melihat perspektif ke depan. Saya bukan dukun yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi nanti, tetapi mari kita belajar bersama-sama melalui apa yang sedang terjadi sekarang. Melalui apa yang terjadi sekarang, kita bisa mulai melihat ke depan untuk nanti merencanakan bagaimana itu akan diaplikasikan di gereja, sesuai dengan kebutuhan gereja masing-masing.

Saya berharap, ini bisa menolong supaya gereja punya visi yang lebih jauh ke depan, bukan hanya visi tahun ini atau tahun depan. Akan tetapi, visi 5 tahun ke depan.

Saya akan mulai dengan pengertian New Normal. Ini ada tiga kotak. Old Normal, Ab-normal, New Normal. Masing-masing akan saya jelaskan.

Apa itu Old Normal? Old Normal itu masa sebelum Corona. Masa ini adalah masa sebelum pandemi. Jadi, bisa saja satu tahun sebelumnya, atau beberapa bulan sebelum pandemi. Kemudian, Ab-normal. Itu adalah masa selama pandemi atau selama Corona. Sedangkan New Normal itu adalah masa sesudahnya, masa sesudah pandemi.  Sekarang, kalau kita melihat grafik, wabah Corona masih ada dan sedang naik ke atas. Jadi, ini belum selesai, belum sampai puncaknya. Indonesia sepertinya menjadi salah satu negara yang paling akan lama mengalami ini, karena lonjakannnya tidak terlalu cepat. Lalu, ada pula masa setelah Corona.

Nah, kita ada di masa yang mana? Kita ada pada masa Ab-normal. Jadi, sekarang ini kita belum hidup dalam New Normal, tetapi dalam situasi Ab-Normal. Dulunya, kita bisa pergi ke mana-mana, sekarang tidak bisa. Dulu, harus kerja pergi ke kantor, sekarang kerja di rumah, dan lain-lain. Karena itu, pertanyaan yang benar atau yang seharusnya muncul itu adalah ini:
 Apa yang akan menjadi New Normal bagi gereja setelah masa pandemi nanti? Masing-masing gereja akan mengambil langkah yang berbeda-beda tergantung dari situasi atau kondisi gereja. Karena itu, melalui tren 2020 ini, saya ingin memberikan informasi supaya gereja mempunyai informasi yang cukup lengkap. Sehingga, ketika mengambil langkah ke depan nanti, ada beberapa hal yang mungkin dapat dipertimbangkan dengan baik.

Jadi, saya akan mulai berdasarkan 3 kotak ini untuk  melihat tren 2020 sehingga kita bisa melihat bedanya.
Ada beberapa poin dari tren-tren ini yang akan menolong agar kita bisa melihat ke depan.

1. Internet sudah memberikan kemudahan untuk orang bisa melakukan apa pun secara online. Anda bisa memperoleh informasi, belanja, mendapatkan pelayanan jasa, dan sebagainya. Anda sudah melakukan online sebelum pandemi. Jadi, itu bukan hal yang baru. Itu sebenarnya sudah menjadi kebiasaan bagi kita sebelum adannya pandemi ini.
Apa akibatnya?  Akibatnya,  orang jadi terbiasa dengan solusi online. Apa pun yang tidak online, dianggap tidak ada. Ini menjadi satu ironi. Sebab, kalau Anda punya bisnis, punya sekolah, punya yayasan, atau apa pun, tetapi tidak punya eksistensi secara online, maka hal itu dianggap tidak ada. Mengapa demikian? Sebab, orang-orang di tempat lain tidak bisa melihatnya. Orang tidak akan langsung menghubungi Anda melalui telpon. Mereka akan melihat secara online dulu. Kalau tidak ada, mereka akan abaikan. Dengan kata lain, kalau tidak online berarti tidak terjangkau.
Bagaimana dengan gereja? Secara umum, gereja tidak mengedepankan pelayanan online. Bisa dikatakan, gereja itu paling terbelakang dalam hal teknologi. Jadi, sebelum Corona, pelayanan online itu hampir tidak terdengar di gereja. Meski jemaat gereja memakai online, gereja sendiri tidak menggunakan cara online. Sedikit sekali gereja yang menggunakannya, ini sebagian besar hanya digunakan oleh gereja-gereja yang cukup besar, gereja dimana jemaatnya cukup melek teknologi, dan punya fasilitas yang cukup. Sebaliknya,  gereja-gereja yang tidak punya pelayanan online atau tidak memiliki informasi online akan dianggap tidak eksis, khsususnya dianggap tidak ada bagi para milenial.  

Sekarang,selama pandemi online menjadi pintu utama, tidak ada cara lain. Karena, saat awal pandemi, kita semua dikejutkan dengan kenyataan bahwa kita harus bekerja, belajar, dan beribadah secara online. Kita dipaksa untuk online, sehingga online menjadi pintu utama. Dulunya menjadi pintu belakang, sekarang menjadi pintu depan bagi semua bisnis dan semua kegiatan.
Apa akibatnya? Akibatnya, hanya mereka yang memiliki keberadaan online yang bisa bertahan menjalankan kegiatannya. Jadi, bisnis-bisnis yang tidak punya keberadaan online, biasanya akan hancur. Mereka tidak akan bisa melanjutkan bisnisnya, atau secara terburu-buru langsung membuat pelayanan online agar bisa bertahan. Jika tidak demikian, bisnis mereka akan terhenti.
Bagaimana tantangan gereja terhadap situasi ini? Gereja terbelakang dalam hal ini. Artinya, gereja tidak mengedepankan online. Sehingga, secara tiba-tiba, gereja harus berpindah ke online. Ya, gereja bisa melakukannya, tetapi tertatih-tatih. Akhirnya, gereja bisa masuk ke online dengan sangat terpaksa, dengan teknologi seadanya. Namun, hanya ibadah online saja yang dilakukan oleh gereja karena pelayanan yang lain cenderung ditiadakan. Contohnya, dulu, mungkin ada kegiatan sel grup, tiba-tiba menjadi tidak ada. Keadaan keterpaksaan ini membuat gereja berada pada tempat di mana mereka hanya bisa melakukan kegiatan seadanya. Dan, yang dipentingkan adalah ibadah Minggu sehingga ibadah online hanya ada pada hari Minggu, sementara yang lain-lain cenderung ditiadakan.

Setelah pandemi, apakah semuanya akan berubah? Setelah pandemi, akankah gereja bertekad mengutamakan atau membuat online menjadi pintu utama? Atau, gereja akan kembali ke zona nyaman, yaitu Old Normal? Akankah kita kembali melakukan ibadah konvensional? Ini menjadi pertanyaan kita semua, "Bagaimana dengan gereja Anda? Kalau pandemi sudah berakhir atau paling tidak sudah mereda, apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda sudah memikirkannya? Apa yang akan dilakukan gereja?"
Saya akan menawarkan pilihan bijak, tetapi saya hanya memberikan pilihan. Anda bisa mempertimbangkan dan bisa menolak, tergantung dari kondisi masing-masing. Kami tidak tahu apa yang terjadi di gereja Anda. Jadi, ini pilihan-pilihan yang kami bisa pikirkan. Alangkah baiknya kondisi Ab-Normal yang sekarang, ini menjadi kesempatan bagi setiap jemaat agar mulai dibiasakan, dan sudah mulai sangat terbiasa dengan online. Dulu, yang tidak pernah tahu cara online, sekarang sudah menggunakan cara online. Dulu, mungkin hanya 10% jemaat yang aktif secara online, sekarang mungkin sudah 50% dari jemaat yang sudah aktif. Nah, ini kesempatan untuk melihat keadaan jemaat ke depan. Gereja akan maju ke depan, bukan? Gereja tidak hanya punya jemaat yang lama atau yang sudah lanjut usia saja, ya habislah. Dalam 5 tahun ke depan hanya tertinggal orang-orang tua saja di gereja.
Saat ini merupakan kesempatan yang sangat baik, di mana para pemimpin gereja dapat duduk bersama memikirkan masa depan. Pada masa depan, jika orang-orang sudah terbiasa dengan online, tidak masuk akal jika gereja terus berlangsung secara konvensional. Saya kira akan sangat disayangkan sekali jika itu yang terjadi. Ini artinya, masa depan gereja akan berhenti ketika orang-orang tua sudah habis. Orang-orang muda mungkin tidak ada di sana lagi. Oleh karena itu, mari kita gunakan masa Ab-Normal ini menjadi langkah awal gereja untuk menggumuli visi gereja 5 tahun ke depan. Bukan hanya sampai akhir tahun ini, sampai pandemi ini selesai. Pikirkan ini untuk menjadi satu retrospektif visi gereja ke depan. Yang akan menjadi jemaat gereja adalah orang-orang masa depan, bukan orang-orang lama. Orang-orang lama satu per satu akan hilang. Yang harus Anda lihat adalah orang-orang yang nanti akan berada di depan. Mari kita pikirkan hal ini! Ini menjadi satu PR bagi Anda, bagi para pemimpin gereja.


2. Sebelum pandemi virus Corona terjadi, sudah terjadi pergeseran cara belajar dengan keberadaan internet yang menciptakan cara belajar baru. Untuk mempelajari sesuatu, orang tidak lagi mengandalkan institusi. Demikian juga dengan Anda. Bahkan, kadang-kadang jika Anda ingin belajar sesuatu, Anda tidak mencari jawabannya dari orang lain, melainkan dari internet.
Apa akibatnya bagi kita semua? Akibatnya, belajar tidak lagi harus datang ke tempat tertentu, pada masa tertentu, atau dengan orang tertentu. Misalnya, saya bisa belajar apa yang saya inginkan, saya bisa belajar di rumah, saya bisa belajar di mana saja. Ketika di cafe sedang nongkrong, saya bisa belajar. Saya hanya online, menghubungi orang tertentu yang saya cari tanpa perlu bertemu secara langsung.
Lalu, bagaimana dengan gereja? Sebelum masa pandemi, gereja seharusnya sadar bahwa gereja tidak lagi menjadi satu-satunya tempat bagi jemaat untuk belajar. Maksudnya, belajar hal-hal rohani, kecuali katekisasi dan khotbah minggu, atau kadang-kadang ada seminar online dari gereja. Sekarang, jemaat seringkali belajar tentang kekristenan justru dari luar gereja. Di satu pihak, ini keadaan yang positif di satu pihak, tetapi bisa juga menjadi negatif, khususnya kalau mereka belajar secara online. Ada banyak gereja yang sebenarnya memiliki pengajaran yang tidak terlalu bagus, tetapi mereka memiliki bahan-bahan yang lengkap di internet sehingga anak-anak muda malah justru mencarinya di sana. Mereka tidak pergi ke gereja untuk tanya ini itu, khususnya tentang pengajaran, tentang doktrin, dan lain-lain. Mengapa? Karena gereja tidak memiliki wadah, tidak memiliki cara untuk berkomunikasi. Misalnya, kalau hendak bertemu atau berdiskusi dengan pendeta, kita harus mencari waktu yang tepat dan harus datang ke gereja. Dan, itu menimbulkan ketidaknyamanan bagi setiap orang, karena orang sudah terbiasa belajar di mana saja. Kalau harus ikut aturan gereja, maka jemaat akan nggresulo (bahasa Jawa, artinya mengeluh - Red), atau keberatan. Mereka akan berusaha mencari di internet agar lebih praktisnya. Dengan alasan, karena sulit untuk pergi ke gereja atau untuk bertemu pendeta harus membuat janji pertemuan dulu, dan sebagainya.

Pada masa pandemi ini, kita semua dipaksa untuk melakukan kegiatan belajar secara online, termasuk sekolah. Tidak pernah terpikirkan oleh kita sebelumnya bahwa sekolah akan dilakukan di rumah. Hampir tidak ada orang yang berpikir seperti itu, tetapi sekarang hal itu menjadi kenyataan. Ini menjadi tren baru bahwa sekolah atau institusi, bukan menjadi satu-satunya tempat untuk belajar, rumah pun bisa melakukannya.
Apa akibatnya? Semua yang siap secara online, akan langsung cepat pindah ke online dan semuanya dapat berjalan lancar. Tidak ada lagi kesulitan atau halangan untuk tetap bisa belajar. Banyak sekali dari kita yang berpindah usaha, seperti memberikan les piano, yang bahkan saat ini bisa dilakukan secara online. Belajar masak tidak perlu keluar dari rumah, kita bisa mencari video dari internet untuk belajar masak. Belajar sekarang menjadi hal yang sangat mudah. Sistem belajar online sudah dimungkinkan oleh infrastuktur dari internet.
Bagaimana dengan gereja? Gereja bukan hanya terbatas secara teknologi. Alasan yang sering dinyatakan adalah gereja belum mengenal kemajuan-kemajuan teknologi yang sekarang ada itu belum diaplikasikan. Akan tetapi, bukan itu saja. Skill dari SDM gereja, entah itu keterampilan dari pendeta, majelis, atau administrasinya juga terbatas. Bahkan, admin-admin di gereja seringkali adalah orang-orang yang sudah tua, sehingga sulit bagi mereka untuk dapat melayani secara online dimana membutuhkan pengetahuan teknologi. Pada prinsipnya, gereja tidak siap. Bahkan, sebelum masa pandemi, gereja tidak pernah memikirkan bagaimana mengajar jemaat atau membina jemaat secara online. Jadi, kalau sekarang hal itu tidak terpikirkan, terlebih lagi sebelumnya. Sekarang pun kalau Anda perhatikan, tidak semua gereja langsung berpikir melakukan pembinaan secara online. Hanya satu saja yang dilakukan, ibadah streaming. Itu saja. Padahal, streaming itu hanya satu macam pelayanan di gereja.

Sekarang, setelah pandemi. Apakah akan berubah? Akankah gereja mengusahakan diri untuk menjadi pusat pembelajaran rohani bagi jemaat?
Saya akan memberikan pilihan bijak bagi Anda yang sekarang sedang bergumul. Bagaimana dengan gereja? Apakah gereja menjadi pusat belajar bagi jemaat atau akan membiarkan jemaat belajar di tempat lain?
Seharusnya gereja berani mengubah diri. Mari kita ambil otoritas untuk mengajar, memimpin jemaat, khususnya dalam hal pengajaran. Apakah Anda tidak takut kalau jemaat belajar pengajaran yang sesat, yang tidak sesuai dengan ajaran gereja? Harusnya Anda takut dan punya respons untuk menolong jemaat agar dapat belajar sesuai dengan pemahaman gereja. Karena itu, mari kita pakai gereja, kembalikan posisi gereja menjadi pusat belajar bagi jemaat, khususnya belajar tentang pengajaran yang benar. Belajar bagaimana hidup benar di hadapan Tuhan, belajar firman Tuhan, belajar pelayanan, terutama untuk generasi masa depan gereja.
Sekarang ini, mungkin lebih dari 50% jemaat yang aktif melayani di gereja adalah orang-orang yang sudah berusia di atas 40 atau 50 tahun. Sementara, gereja perlu menyiapkan generasi penerus bagi pelayanan masa depan. Masa depan gereja itu adalah generasi muda, bukan orang-orang tua. Jadi, binalah mereka selagi muda dengan kondisi yang jauh lebih fleksibel, lebih adjust, supaya jemaat bisa ikut ambil bagian di dalamnya. Jika melihat kendaran yang dipakai adalah online, maka gereja harus bisa menyesuaikan diri. Kalau semua sekarang tidak lagi menggunakan becak untuk pergi ke mana-mana, masakan gereja masih tetap akan menggunakan becak? Jika sekarang sudah ada gocar, sudah ada gojek, apakah jemaat harus menggunakan becak? Nah, gereja harus menyesuaikan diri, karena hal-hal itu bukan hal yang esensial. Itu bukan masalah pengajaran, melainkan masalah kendaraan, tentang media yang digunakan. Gereja harusnya cukup terbuka untuk mau mengubah diri. Hanya medianya yang berubah, pengajaran masih tetap sama. Yang signifikan sesungguhnya adalah pengajaran dan prinsip-prinsip. Itu adalah nilai utama yang dipegang gereja, bukan kendaraannya. Kiranya itu bisa menjadi satu pemikiran kita untuk masa depan.

3. Sebelum pandemi Corona pun, semua orang sudah terlibat dengan banyak hal. Kita sudah sangat lelah. Mengapa? Ada banyak sekali kesempatan dan tawaran untuk melakukan banyak aktivitas. Tempat wisata berjamuran di mana-mana, demikian juga tempat makan dengan suguhan yang berbeda-beda. Jadi, begitu ada waktu luang sedikit saja, kita akan berpikir, "Yuk, pergi ke tempat wisata baru," atau "Yuk, coba makanan baru." Kita hampir selalu berkejaran dengan waktu. Kita memiliki kecenderungan overcommitment, yaitu komitmen berlebih terhadap keluarga atau teman-teman, karena sering sekali kita diajak oleh teman-teman atau yang lainnya. Belum lagi dalam hal belajar. Kita ingin belajar, mencoba, atau mendengar banyak hal. Akibatnya, orang cenderung hanya ingin hal-hal yang sifatnya ringan dan dangkal.
Atau ada dua pilihan. Satu, karena tidak punya waktu, jadi kita ingin serba cepat. Jika menyaksikan video, kita akan pilih video yang berdurasi 5 menit. Kalau ada khotbah 2 jam, itu akan menjadi terlalu lama, dan kita tidak punya waktu untuk mendengarkannya. Akhirnya, kita akan mencari khotbah yang pendek-pendek. Itu sebabnya, sekarang video dibuat pendek-pendek sekali, misalnya cuplikan khotbah yang bisa dilihat. Jika berdurasi panjang, tidak ada yang mau mendengarkan. Nah, apalagi kalau itu serius, itu akan menjadi pilihan yang sulit. Kecuali, itu sungguh-sungguh berguna, sungguh-sungguh bermutu, dan sungguh-sungguh punya nilai yang tinggi bagi kita, maka kita akan rela. Opsi lainnya adalah kita hanya akan melihat selama 1 menit. Kalau tidak senang, maka kita ganti channel, ganti film, ganti saluran YouTube.
Ini fakta yang kita lihat menjadi tren sekarang. Maka, tidak ada lagi video yang panjang-panjang. Iklan pun sekarang menjadi pendek, semuanya serba singkat, karena orang tidak punya waktu. Akhirnya, orang hanya akan memilih yang ringan-ringan, yang dangkal-dangkal. Hanya yang betul-betul bermutu yang dipertahankan.
Bagaimana dengan gereja? Sebagian besar kegiatan gereja hanya dipusatkan pada hari Sabtu dan Minggu. Jemaat tidak memiliki pilihan waktu serta cara, hanya bisa dengan cara konvensional. Anda bisa bayangkan jemaat akan tercabik-cabik. Artinya, seperti ini, "Pengen sih pergi ke gereja, tetapi kebaktian di gereja hanya satu kali, jam 6 pagi lagi. Mana ada yang mau bangun jam 6 pagi." Akan tetapi, kalau tidak pergi jam 6, mereka tidak memiliki pilihan lain. Oleh karena itu, mereka harus mengorbankan komitmen pergi ke gereja, karena tidak ada pilihan yang lain. Belum lagi dalam hal pelayanan. Kalau harus mengikuti rapat di gereja, jam sekian, di ruang apa. Namun, ketika punya komitmen lain, itu harus dikorbankan. Padahal generasi milenial atau bahkan kita, yang sudah terbiasa dengan online, terbiasa untuk multitasking. Kita bisa makan sembari melakukan rapat, kita bisa lakukan berbagai kegiatan dalam satu kali jalan. Karena itu, kalau gereja hanya punya tempat kegiatan dengan waktu tertentu, atau cara tertentu yaitu harus datang ke gereja, maka komitmen jemaat makin lama akan makin longgar. Artinya, dia akan melonggarkan komitmen ke gereja, karena gereja salah satu komitmennya. Akan tetapi, kalau ada 15 pilihan komitmen yang lain, dan kegiatan gereja menghambat 5 kegiatan yang lain, maka pergi ke gereja akan dikorbankan.

Lalu, bagaimana masa selama pandemi? Overcommitment ini malah sekaligus akan menjadi overstress. Mengapa? Ada perubahan drastis yang membuat shock semua orang. Semua orang bekerja dari rumah, belajar dari rumah, makan dari rumah. Bahkan, ada yang mengalami PHK, ada yang berganti pekerjaan, ada yang bisnisnya bangkrut, ada yang positif terkena virus Corona, bahkan kehilangan keluarga. Wow! Ini bukan lagi menjadi overcommitment, ini menjadi overstress. Jemaat menjadi kewalahan.
Akan tetapi, sebenarnya ada dua hal yang menjadi akibat dari pandemi ini. Yang pertama, sebagian orang malah justru berlimpah waktu. Dulu, kalau pergi ke kantor membutuhkan waktu dua jam perjalanan. Sekarang, tidak lagi, karena harus bekerja di rumah. Lalu, Anda bisa punya banyak waktu karena ada keluarga di rumah. Sebagai contoh, untuk makan tidak perlu mengusahakan sendiri karena ada anggota keluarga yang menyiapkannya, atau disiapkan secara bersama. Jadi, bagi sebagian orang, khususnya yang masih single, waktunya menjadi lebih banyak karena bisa melakukan banyak hal. Akan tetapi, bagi yang lain, kesibukan justru berlipat ganda. Contohnya, kalau ada satu anggota keluarga yang positif Corona, itu akan sangat menyita banyak waktu. Lalu, selain bekerja di rumah, kita juga masih harus mengurus anak yang sekolah di rumah, harus membimbing mereka, serta harus mengurus pekerjaan rumah tangga. Semua kegiatan akan jadi berlipat ganda. Anda sekarang bisa membayangkan mengapa pandemi Corona menyebabkan banyak orang memiliki stres yang memuncak.  Pada satu sisi, yang single kelebihan waktu sehingga menjadi bosan di rumah, tidak betah di rumah, dan kemudian jadi berulah. Sementara itu, di sisi lain, ada yang memiliki bebanterlalu banyak sehingga keduanya menjadi stres dengan alasan yang berbeda.
Bagaimana dengan gereja? Gereja malah sibuk dengan diri sendiri. Mereka mencoba beradaptasi dengan pelayanan online dan berfokus pada pelayanan ibadah online, sementara penggembalaan yang konvensional tidak dijalankan. Sebab, untuk menjalankan yang nonkonvensional, mereka juga tidak siap. Ini menjadi dilema berat. Karena itu, solusi gereja yang paling mudah adalah mengabaikan. Jadi, kegiatan penggembalaan untuk sementara waktu ditiadakan, dengan alasan tidak bisa bertemu dengan adanya pandemi ini. Itu sebenarnya adalah alasan yang sangat salah. Ada banyak cara lain yang bisa dilakukan selain cara-cara konvensional. Mengunjungi rumah jemaat, memang tidak bisa, tetapi menjenguk secara online bisa untuk dikerjakan. Namun, gereja beralasan sibuk. Sebenarnya, apa kesibukan gereja? Mencoba beradaptasi dengan pelayanan online untuk siapkan streaming atau khotbah, atau merekam khotbah yang bisa menghabiskan setengah hari. Habis waktu, atau bahkan berhari-hari dipakai untuk hal-hal semacam itu. Harus mengulang rekaman, mengedit hasil rekaman, dan sebagainya. Akhirnya, waktu hanya digunakan untuk mempersiapkan pelayanan online karena gereja tidak memiliki pengalaman, tidak punya keahlian. Gereja hanya sibuk dengan diri sendiri, dan akibatnya pelayanan penggembalaan menjadi terabaikan. Tentu tidak semua gereja, tetapi sebagian besar itu yang terjadi.

Setelah masa pandemi, apakah gereja akan meningkatkan variasi pelayanan dan meningkatkan kualitas pelayanannya sehingga menolong jemaat memberikan komitmen lebih kepada gereja pada New Normal nanti? Anda tentu masih ingin jemaat punya komitmen besar terhadap gereja. Akan tetapi, kalau gereja menjadi tidak cukup fleksibel bagi jemaat maka komitmen itu makin lama akan semakin luntur.
Nah, saya akan memberikan dua alternatif, dua hal yang sangat penting, yaitu variasi pelayanan dan kualitas pelayanan.
Setelah masa online, kebanyakan orang dipaksa mendengarkan khotbah online. Kalau seseorang tidak cocok dengan khotbah gerejanya, dia bisa langsung pindah chanel ke saluran streaming gereja lain. Dan, ternyata gereja lain khotbahnya jauh lebih bermutu, lebih bagus. Bukan hanya lebih bagus, kita juga bisa mencicipi pelayanan khotbah dengan kaliber internasional, seperti khotbah John Piper, Tim Keller, dan lain-lain. Kalau dibandingkan dengan pendeta kita, khotbahnya jauh lebih baik. Bukan menghina, tetapi ini fakta. Mengapa mereka jadi berkaliber internasional, karena memang bagus. Dan, sekarang kita bisa langsung mengakses mereka dengan gratis. Ada perang kualitas antara gereja lokal dengan gereja global.
Gereja tidak mungkin bisa menutup mata melihat jemaatnya bisa jajan ke mana-mana. Kalau gereja tidak meningkatkan kualitas, maka gereja seperti menjual sesuatu yang tidak berkualitas dan orang akan membeli di tempat lain. Jemaat memiliki hak, dan kita tidak bisa menghakimi jemaat bahwa mereka tidak bersikap loyal. Jemaat memiliki hak mendapat makanan rohani yang bermutu. Jika gereja tidak meningkatkan kualitas pelayanan, gereja akan kehilangan jemaat. Jadi, pilihan bijak bagi kita semua adalah membuka pelayanan online yang kreatif dan variatif supaya gereja dapat mengembangkan pelayanannya lebih fleksibel serta dapat menjangkau jemaat yang lebih luas. Jangan hanya puas dengan jemaat yang sudah ada di gereja. Gereja bahkan punya potensi untuk menjangkau lebih luas. Mari, kita pikirkan ini baik-baik.

4. Sebelum masa Corona, internet berjanji menyajikan berbagai kemajuan teknologi dengan media yang canggih luar biasa. Kita bisa heran bila melihat kemajuan teknologi yang luar biasa, inovatif, dengan variasi yang luar biasa, sangat kreatif luar, dan menonjolkan performance yang hebat. Dan, teknologi sudah menyajikan begitu banyak kepada kita. Namun, dengan begitu banyak hal yang tersedia bagi kita di internet, apakah akibatnya?
Akibatnya, orang mulai muak dengan begitu banyaknya konten dan persaingan yang ada. Ada segala macam atraksi dan kreativitas yang bisa kita lihat melalui internet. Lama-kelamaan, pemirsa menjadi muak. Mengapa? Sebab, kita sebenarnya sadar bahwa yang kita lihat semua itu superficial. Itu hanya dibuat dengan keahlian teknologi, tidak real, tidak asli. Sehingga, sekarang, khususnya orang-orang milenial, justru malah senang pergi ke tempat yang asri-asri. Bahkan, tempat wisata yang sudah didandani sedemikan rupa kadang-kadang malas kita kunjungi. Kita mulai kembali mencari yang belum terjamah oleh tangan manusia, untuk melihat keagungan Tuhan yang luar biasa. Nah, karena itu, orang mulai merindukan relasi yang nyata, keterlibatan yang autentik. Sebab, yang ada di internet itu biasanya superficial atau buatan. Kesaksian orang-orang bahkan cerita-cerita di internet biasanya dibuat-buat. Kita ingin melihat yang real.
Nah, bagaimana dengan gereja?
Ini satu hal yang mungkin tidak saya ketahui. Mungkin, saya bahkan akan menyinggung banyak gereja. Gereja-gereja yang menonjolkan performance gedung yang besar, yang mewah, memiliki fasilitas hebat, dekorasi yang hebat, tim worship yang lengkap, justru sekarang tidak lagi diminati kaum milenial. Kaum milenial lebih senang kelompok-kelompok yang lebih kecil, yang lebih asri, yang lebih real, yang biasa dengan keterlibatan dan memberikan pelayanan yang autentik. Uang yang dihabiskan gereja untuk semua yang bersifat performing, entertainment, apakah itu sungguh berharga? Sebab, itu akan ditinggalkan. Itu tidak akan menjadi tren 2020. Pertemuan berkapasitas besar, ribuan orang, saya yakin sudah tidak menarik banyak orang, bahkan sebelum pandemi terjadi.
Selama Corona, yang menjadi efek negatif dari social distancing adalah orang menjadi egois memikirkan sendiri, keluarga sendiri. Itu sebabnya ada panic buying. Anda bisa membeli 5 dus masker. Jika ditanya, "Loh, anggota keluargamu dengan istri dan anak hanya berjumlah 4 orang. Kok beli sampai 5 dus, buat apa?" "Ya, untuk berjaga-jaga."  Yang artinya, membuat orang lain jadi tidak bisa membeli. Kita mementingkan diri sendiri, kepentingan sendiri. Mengapa itu terjadi?
Karena Orang kurang terkoneksi dengan sentuhan pribadi dari luar rumah. Mereka menjadi tidak lagi berbelas kasih melihat orang luar, karena mereka terus menerus berada di rumah. Atau, mereka melihat yang jauh, yang ada di luar negeri melalui sosial media. Media sosial sudah menjadi cara baru untuk bersosialisasi. Dulu, sudah dilakukan. Sekarang, menjadi lebih intens lagi.
Bagaimana dengan gereja? Gereja memang sudah menyuguhkan khotbah online atau khotbah streaming, dan mereka menganggap itu hebat. Gereja sekarang sudah up to date. Sudah punya khotbah streaming. Padahal, gereja online itu tidak identik dengan khotbah streaming. Mengapa? Sebab, gereja tidak bisa lepas tangan dalam penggembalaan. Khotbah itu hanya salah satu dari pelayanan gereja. Masih ada pelayanan pembinaan, konseling, kunjungan/visitasi, persekutuan, penginjilan, dan berbagai macam pelayanan, sekalipun masa pandemi. Itu pun sudah tidak lagi dikerjakan. Tidak sempat atau dilalaikan. Nah, bagaimana dengan jemaat-jemaat yang membutuhkan pelayanan yang terkoneksi ini? Dibutuhkan pelayanan dari gereja yang lebih real kepada mereka. Bukan hanya sekadar pengumuman lewat WA atau media apa pun.


Pertanyaannya adalah, jika pada masa old normal saja gereja sudah kurang melayani dalam hal relasi dengan jemaat, lalu pada masa Ab-normal gereja lebih lagi tidak dapat melayani jemaat secara personal karena pandemi, maka apakah gereja akan mendefinisikan ulang makna sebenarnya dari gereja?
Jika kita melihat gereja di Perjanjian Baru, mereka sangat terkoneksi, mereka sangat real, mereka sangat autentik, dan mereka sangat menolong satu dengan yang lain. Mereka mungkin tidak mengalami pandemi, tetapi mereka mengalami persekusi, penganiayaan. Itu sama dengan pandemi, tetapi mereka bisa saling terhubung, saling menolong satu sama lain dengan akrab. Bukan hanya itu, mereka juga melakukan penginjilan keluar, bukan hanya kepada orang-orang yang di dalam saja, tetapi juga keluar.
Jadi, gereja yang sederhana dan membangun relationship yang engage dan connected dengan jemaat akan lebih diminati ke depan. Maka, sekarang pertanyaan untuk Anda adalah, apakah fokus gereja? Fokus dari gereja harus jelas. Untuk siapa gereja ada? Bukankah untuk jemaat? Pertama, gereja untuk Tuhan, itu jelas. Dan, yang kedua gereja hadir bagi jemaat. Sudahkah kita memberikan yang terbaik bagi Tuhan? Dan, apakah kita juga sudah melayani jemaat dengan yang terbaik? Maukah kita kembali pada gereja masa Perjanjian Baru, yang menjadi model bagi kita semua?