Sebelumnya, sudah dibahas topik tentang spiritual wellness dalam konteks pandemi yang sudah berlangsung selama satu tahun lebih dan juga tsunami digital yang melanda. Dari sana, muncul beberapa kesimpulan, yaitu:

  1. Adanya kesadaran akan spiritual wellness yang sangat penting pada era digital ini sebagai bentuk tanggung jawab kita sebagai tubuh Kristus yang peduli pada kondisi sesama anggota tubuh Kristus lain yang sedang tidak well.
  2. Spiritual wellness sangat dipengaruhi digital wellness. Ada banyak orang yang tidak bisa masuk ke dalam dunia digital sehingga berpengaruh pada banyak wilayah kehidupan mereka, termasuk dalam ibadah dan kehidupan rohani. Ternyata, spiritual wellness dan digital wellness merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, sebab keduanya saling memengaruhi. Jadi, ketika kita berbicara tentang kondisi secara rohani atau secara digital, maka saat ini keduanya berpengaruh satu dengan yang lain.
  3. Perlu dipikirkan tentang kebutuhan spiritual wellness dari gereja untuk membentuk kolaborasi atau koordinasi antargereja, antarlembaga Kristen, atau bahkan antarindividu untuk saling menolong.
  4. Tidak dalam kondisi wellness sendiri bukan berarti sakit, tetapi dalam hal produktivitas menjadi kurang maksimal atau kurang memberikan yang terbaik dalam situasi pandemi dan situasi digital. Jadi, ini adalah wacana untuk mengungkap kondisi wellness.

Dalam kesempatan ini, Yayasan Lembaga SABDA ingin mengajukan proyek bersama atau mencoba membuat satu prototype spiritual wellness center yang dikerjakan bareng dengan berbagai lembaga/komunitas Kristen.

Sekarang, kita beranjak pada tsunami digital. Apa artinya?

Tsunami berasal dari bahasa Jepang, yang terdiri dua kata "tsu" dan "nami". Tsu berarti pelabuhan, sementara nami berarti gelombang, sehingga tsunami berarti gelombang yang sampai di pelabuhan atau yang menerpa pelabuhan. Tsunami bukan hanya gelombang-gelombang kecil, melainkan gelombang raksasa yang terjadi karena adanya pergerakan di dalam dasar laut. Mengapa mengambil nama Jepang? Sebab, Jepang adalah negara yang paling banyak mengalami tsunami karena wilayahnya yang berupa kepulauan, selain karena struktur pergerakan tanah dalam bumi yang mereka miliki.

Kata "digital" yang ditempelkan ke dalam kata "tsunami" itu merupakan simbolisme, seperti pada judul buku "The Digital Tsunami: Succeeding in a World Turned Upside-Down" karya Abhijit Bhaduri. Buku tersebut membicarakan tentang kekuatan raksasa yang dilepaskan oleh teknologi digital, yang menyerupai gelombang tsunami. Gelombang raksasa yang dilepaskan oleh teknologi digital dengan perubahan analog digital dengan variabel yang cepat.

Ada data statistik yang perlu kita ketahui dari Hootsuite, yang menunjukkan bahwa pada Januari 2021 pengguna mobile atau koneksi mobile melebihi populasi yang ada. Sebelumnya, jumlah koneksi mobile masih sekitar 200 jutaan, dan sekarang sudah mencapai 350 jutaan. Ini data yang luar biasa, ditambah penambahan yang terjadi selama pandemi ini sangat luar biasa. Internet user serta pengguna media juga melonjak banyak sekali hingga mencapai 60%.

Selain itu, penggunaan waktu dalam media juga luar biasa, di mana rata-rata kita memakai internet selama hampir 8 jam per hari. Meski tidak selalu negatif (untuk bermain game atau mengakses konten negatif), tetapi itu mengubah seluruh dunia kita dalam bekerja, dalam berelasi, dan dalam berkomunikasi. Dengan demikian, jika kita tidak berada dalam dunia internet, kita akan tidak well karena tidak bisa bekerja, tidak bisa melakukan banyak hal. Ini yang perlu kita waspadai.

Sama halnya dengan tsunami digital yang pasti memberikan suatu kehancuran serta meninggalkan korban, bagaimana dengan kita orang percaya saat ini. Apa yang kita inginkan, tenggelam atau hidup dalam new normal pada era digital ini?

Kebutuhan dasar kita pada era digital ini juga menjadi berubah. Apa saja itu? Yang utama adalah kebutuhan untuk mendapat signal dan paket internet. Dahulu, paket data tidak penting, sebab dulu yang menjadi kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan sandang, pangan, papan, rasa aman, perasaan berharga, serta aktualisasi diri, seperti yang disampaikan oleh Abraham Maslow ketika dia mencetuskan pemikirannya tentang kebutuhan dasar manusia. Sekarang, kebutuhan yang paling dasar dan harus kita penuhi adalah internet, paket data, wifi, charger baterai. Itu menjadi kebutuhan penting bagi setiap orang, di mana saja, kapan saja.

Kebutuhan akan rasa aman sekarang mengalami pergeseran. Jika dahulu kita memiliki kebutuhan untuk merasa aman dari penjahat atau kejahatan, sekarang rasa aman itu berasal dari akun-akun kita di internet, dari serangan hack, dan data apa pun yang kita miliki dan dapat terpapar dan digunakan untuk kepentingan tertentu. Kebutuhan kasih sayang sekarang dilakukan dengan memberikan perhatian lewat Whatsapp, Facebook, Instagram, dengan menerima atau memberikan tanda like, komentar, atau apresiasi dalam fitur media sosial.

Begitu pula dengan belajar, bekerja, dan beribadah, yang sekarang dapat kita lakukan secara daring dengan menggunakan gawai. Teknologi mengubah cara kita belajar, bekerja, dan beribadah, yang sekarang dapat dilakukan di mana pun. Hal ini juga ternyata mengubah cara pemerintah menjalankan lima langkah percepatan digital yang didengungkan oleh Presiden Jokowi. Tentu saja, percepatan yang terkait dengan teknologi harus diwaspadai. Sebab, terjadi perubahan, di mana hal-hal yang berubah bukan hanya hal-hal yang baik, tetapi juga yang buruk. Sebagai contoh, Pemerintah Cina sekarang membatasi penduduknya dalam bermain game daring karena kegiatan itu dinilai menjadi opium yang menjadi racun dengan banyaknya waktu terbuang untuk hal-hal yang tidak bernilai. Dalam konteks gereja, kesempatan mengabarkan Injil menjadi terbuang karena orang percaya banyak menggunakan waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna dengan menggunakan kemajuan teknologi.

Keadaan tsunami digital memang sudah menerpa karena sebenarnya kita sudah diterjang tsunami meski tidak/belum merasakannya. Dalam menghadapi bencana alam tsunami, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Apa saja itu?

Cara pertama untuk mengurangi dampak dari tsunami sebenarnya bukan dengan mencegahnya datang karena itu dipastikan sudah datang. Caranya adalah dengan mempersiapkan diri untuk meminimalisasi kerusakan atau korban. Seperti dalam menghadapi bencana tsunami alam, ada langkah-langkah untuk membuat masyarakat siaga dan tanggap terhadap tsunami.

Cara yang kedua adalah dengan memberikan edukasi tentang apa dan bagaimana tsunami sehingga ketika tsunami datang, mereka dapat menghadapinya. Cara ketiga adalah dengan memberi peringatan melalui alat-alat yang membantu orang untuk cepat mengetahui kedatangan tsunami. Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan berbagai simulasi untuk melatih orang menyiapkan diri sehingga jika tsunami datang, mereka tahu harus bagaimana dan ke mana.

Nah, bagaimana dengan tsunami digital, apakah kita bisa melakukan hal-hal ini? Jepang yang sering mengalami tsunami telah memiliki mitigasi yang sangat bagus dalam hal ini. Mereka sudah membangun pantai-pantai yang luar biasa, yang dapat mengantisipasi datangnya air gelombangnya yang besar tanpa merusak lingkungan dan lain-lain. Untuk penanganan tsunami digital, tentu kita perlu kesiagaan ini. Gereja tentu saja harus tanggap akan dampak dari tsunami digital bagi spiritual wellness, sebab digital sangat memengaruhi spiritual wellness atau keadaan spiritual kita.

Gereja juga perlu memberi edukasi dan dampak digital bagi spiritual wellness. Perlu dilakukan tes untuk kesehatan rohani. Dalam hal ini, kita berbicara bagaimana mengukur kesehatan rohani jemaat. Perlu pula diadakan pelatihan tentang cara menangani jemaat yang tidak well, baik secara digital maupun secara spiritual.

Jadi, ketika kita sedang masuk ke dunia new normal dalam hal mitigasi untuk tsunami digital ini, kita harus menyadari bahwa ini dunia sudah berubah. Jika dahulu yang akan menguasai segala sesuatunya itu akan melindas kecil, tetapi sekarang bukan lagi yang besar menggilas yang kecil, melainkan siapa yang cepat akan menggilas yang lambat. Ini disampaikan oleh Rupert Murdoch yang merupakan pemilik Fox grup. Perubahan ini kita imbangi dengan mengadakan mitigasi digital. Kita menyadari bahwa sekarang ini kita berada dalam dunia Internet of Things sehingga sekarang kita tidak bisa lagi menutup mata bahwa semua terhubung dengan kebutuhan dasar kita ketika kita berbicara tentang data yang terkumpul dengan internet. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dengan spiritual wellness kita? Apakah Internet of Things itu tetap terkontrol? Apakah kita menguasai teknologi, sebab itu adalah syarat supaya kita memiliki spiritual wellness yang baik pada era tsunami digital ini.

Ketika kita bicara tentang perubahan dunia yang begitu cepat, berbicara tentang tsunami digital yang mengubah dunia begitu cepat, maka ada kehancuran di sana. Akan tetapi, kehancuran ini bisa terjadi sebagai akibat dari sudut pandang dunia lama dengan tidak mengikuti gelombang yang ada. Saat kita memilih untuk bertahan dalam bahtera, maka kita akan hancur dan akan ada korban. Namun, ada pula konsekuensi saat kita memutuskan untuk mengikuti gelombang tsunami digital ini. Apakah kita akan dikuasai oleh teknologi dan penggunaan alat-alat digital yang kita punya, atau kita akan memanfaatkannya dalam kehidupan, terutama dalam kehidupan rohani kita? Keadaan yang sehat digital akan memengaruhi spiritual wellness. Itu sebabnya, kita perlu belajar lebih untuk meningkatkan digital quotient dan digital bible quotient kita agar dapat menjadi orang Kristen dengan kecerdasan digital dan hidup di tengah terang Tuhan untuk dunia yang sedang diguncang oleh keadaan tsunami ini.

Ada survei yang dilakukan oleh Bilangan Center pada tahun 2020 untuk membuktikan kaitan digitalisasi gereja dengan kerohanian jemaat pada saat pandemi. Dari hasil survei tersebut, terlihat bahwa gereja yang sudah siap membekali jemaat mereka dengan digital wellness -- memiliki komisi digital yang mengusahakan konten-konten digital serta mengusahakan engagement/interaksi melalui platform-platform media sosial --  akan menolong kerohanian jemaat ketika pandemi ini berlangsung. Jemaat akan lebih siap menikmati ibadah daring, lebih memiliki persekutuan yang terjaga karena ada engagement yang terjaga sekaligus ekosistemnya sejak sebelum pandemi. Dengan begitu, ketika tsunami sudah dan sedang datang, mereka mampu memanfaatkan berbagai platform digital untuk menjaga pertumbuhan rohani jemaat.

Berikut adalah beberapa pertanyaan refleksi untuk menghadapi tsunami digital.

  • Bagaimana kita bisa pulih dari tsunami digital ini (Pulih dalam arti tidak menghilangkan tsunaminya, melainkan bagaimana kita hidup dengan tsunami digital)?
  • Bagaimana kita tetap fit secara rohani, tidak tergilas pada era digital serta mampu berfokus kepada Tuhan meskipun menggunakan alat-alat digital?
  • Apa yang dilakukan oleh gereja untuk memelihara jemaatnya untuk tetap well dalam situasi tsunami digital ini?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat mewakili jawabannya:

  • Kita tidak seharusnya memikirkan hal ini secara dikotomi karena keseluruhan hidup kita harusnya spiritual. Mengusahakan wellness adalah dengan keterbukaan dan kejujuran. Keterbukaan menjadi kunci untuk memiliki kondisi well dan memudahkan orang lain untuk menolong juga.
  • PR gereja adalah menyatukan semua aspek "wellness" dan memastikan fondasi wellness jemaat pada firman Tuhan. Saat ini, jemaat bisa mengakses banyak sumber/bahan/alat rohani secara digital, tetapi semua itu terpencar-pencar. Perlu satu pusat untuk "kesehatan rohani". Gereja harus bisa menjadi tempat untuk ini.
  • Spiritual Wellness Kristen perlu dibedakan, yang "mature" dengan yang belum. Bagaimana relasi kita dengan Tuhan ditentukan oleh kedewasaan rohani kita sehingga kita dapat mengenal diri dengan sehat. Keadaan wellness seharusnya tidak tergantung kondisi, kita bisa "baik-baik" saja jika hubungan kita dengan Tuhan baik, meski keadaan kita atau sekitar kita sedang tidak baik.
  • Wellness adalah suatu proses untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wellness mencakup aspek internal dan eksternal. Ketika kondisi internal baik, pengaruh eksternal tidak terlalu berdampak banyak. Spiritual wellness dalam kondisi yang baik ketika Tuhan dan firman-Nya menjadi fokus. Spiritual wellness ditentukan "dari dalam". Menurut Alkitab, wellness berarti fokus untuk melihat ke atas (berdoa, baca firman Tuhan), memiliki iman, dan percaya bahwa Tuhan selalu beserta kita.
  • Ada faktor eksternal dan internal yang memengaruhi spiritual wellness. Banyak yang kurang well, tetapi ada juga yang tidak terlalu terpengaruh. Perlu mengukur spiritual wellness berdasarkan tolok ukur alkitabiah.
  • Spiritual Wellness itu adalah konsep agamawi mengenai keadaan spiritual yang sehat. Sebagai orang percaya, "wellness" kita ada dalam relasi bersama Tuhan. Saat ini, keadaan spiritual wellness gereja naik dan turun. Perlu adaptasi untuk new normal.
  • Spiritual Wellness adalah kondisi rohani yang baik dan sehat dalam kondisi apa pun. Kebergantungan kepada Tuhan menjadi kunci utamanya. Pada masa pandemi ini, gereja harus menjadi pusat bagi jemaat untuk bisa tetap "fit" dengan memanfaatkan teknologi dan perkembangan digital untuk mencapai spiritual wellness.(https://well.sabda.org/#documentation)

Lalu, Perlukah "Pusat Spiritual Wellness"? Bagaimana mewujudkannya?

Berikut adalah beberapa kesimpulan atas pertanyaan tersebut:

  • Pusat spiritual wellness harus dimulai dan kembali kepada gereja.
  • Wellness berpusat pada keintiman relasi dengan Tuhan.
  • Hidupkan persekutuan dalam tubuh Kristus secara intens.
  • Pusat Wellness membutuhkan persiapan yang lama, sementara ini merupakan kebutuhan darurat.
  • Bisa dibuka pendaftaran relawan atau bisa juga menyediakan modul-modul yang dapat dipakai gereja untuk merawat jemaat, bahkan jika perlu mengadakan Training of Trainers.
  • Pusat Spiritual Wellness harus dikembalikan kepada gereja.
  • Organisasi-organisasi Kristen membantu dengan menyediakan program-program berupa caring system.
  • Perlu persiapan, kolaborasi, dan komitmen.
  • Sebarkan awareness akan kebutuhan "spiritual wellness" itu sendiri.
  • Perlu ada tools untuk tes kesehatan rohani yang bisa digunakan oleh semua denominasi dan kalangan.
  • Pusat Spiritual Wellness perlu karena keterbatasan para hamba Tuhan untuk melayani semua jemaat.
  • Perlu sinergi seluruh lembaga Kristen untuk bahu-membahu menyikapi ini.
  • Harus ada bahan-bahan dan pelatihan-pelatihan berkualitas -- lakukan survei/cek spiritual dengan berkolaborasi dengan lembaga lain.
  • Pusat Spiritual Wellness tidak harus berupa organisasi, tetapi suatu kolaborasi/koordinasi antargereja dan lembaga-lembaga Kristen.
  • YLSA ingin menyediakan diri bersinergi dengan gereja dan lembaga-lembaga lain untuk bisa membentuk networking. (https://well.sabda.org/#documentation)

Sebagai penutup, berikut adalah ayat yang ditulis oleh Rasul Yohanes dalam 3 Yohanes 1:2, "Saudaraku yang kukasihi, aku berdoa semoga kamu baik-baik saja dalam segala hal, semoga tubuhmu sehat, sama seperti jiwamu juga sehat." Jadi, Yohanes yang menuliskan hal ini tahu betul bahwa tubuh jiwa kita benar-benar perlu dalam kondisi well sehingga dia berdoa bagi kita semua. Dengan demikian, kita bisa mengaminkan pernyataannya. Mari berharap, kiranya kondisi wellness bukan hanya sekadar formalitas, melainkan semakin berkembang agar kita menjadi lebih produktif dalam pekerjaan Tuhan dan mampu memenangkan banyak jiwa.