Artikel ini akan terbagi menjadi empat bagian. Di bagian pertama artikel ini, kita akan membahas tentang starting point dari seluruh pembahasan kita, yaitu  pertanyaan "Quo vadis?", kemana kita akan pergi? Karena kita harus tahu, kita dari mana, di mana kita sekarang ini, dan akan ke mana kita nantinya. Kita juga akan membahas tentang generasi-generasi digital dalam gereja dan tentang tujuan kita, apakah kita akan menuju status quo yang baru atau bagaimana. Di akhir artikel ini, kita akan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dengan gereja kita.


DI MANAKAH KITA?

Untuk memulai perjalanan kita, mari kita lihat Matius 3:1-2 yang berbicara tentang seorang nabi yang datang sebelum Kristus, dan sang nabi ini menyerukan sebuah kata, tidak hanya kepada orang-orang tua tetapi juga kepada anak-anak muda. Dan kata itu adalah, "Bertobatlah!".

Seruan itu ditujukan kepada para pemimpin agama, kepada orang-orang biasa, kepada anak-anak muda, bahkan kepada anak-anak kecil. Bagi konteks gereja kita saat ini, seruan ini ditujukan kepada mereka yang memangku jabatan gerejani, baik pendeta, majelis, maupun diaken, sekaligus kepada jemaat biasa, baik yang dewasa, pemuda, remaja, maupun kepada anak-anak. Seruan ini juga ditujukan kepada mereka yang kini berada di luar gereja, generasi-generasi yang mungkin merasa tidak diterima dalam gereja, atau tidak diakomodasi dengan baik dalam gereja. Hari ini, panggilan ini diserukan kepada kita bukan untuk menunjuk-nunjuk siapa yang salah, tetapi untuk melihat apa yang sudah terjadi pada gereja kita dan menyadarkan kita bahwa kita semua turut mengambil bagian atas apa yang telah terjadi pada gereja hari ini.

Di bagian pertama ini, saya akan bicara tentang dari mana kondisi gereja yang tertinggal ini dimulai. Dunia ini sudah mengalami sebuah revolusi komunikasi yang terjadi sekitar 20 tahun yang lalu. Dalam revolusi itu kita melihat ada begitu banyak perubahan yang terjadi akibat kemajuan teknologi komunikasi. Hal ini bahkan sudah diramalkan atau diprediksi jauh-jauh hari.

Sekarang mari kita lihat, di mana posisi kita sekarang. Riset oleh HootSuite dan We Are social, yaitu platform manajemen media sosial terhadap orang-orang Indonesia menunjukkan bahwa per Januari 2020 ada 64% penduduk Indonesia yaitu sekitar 175,4 juta orang, dengan rentang usia 16-64 tahun sudah terkoneksi dengan internet dan rata-rata menghabiskan 7-8 jam per hari untuk mengakses internet. Durasi ini mungkin tidak dalam sekali duduk, tetapi akumulasi dari sekitar 15, 10, 30 menit yang kita gunakan untuk mengakses ini-itu di dunia maya. Dan itu cukup membuat apa yang ada di dalam internet itu terpapar ke dalam diri kita.

Pada tahun 2018, pemerintah Indonesia mencanangkan Gerakan Indonesia Go Digital. Tujuannya adalah menjadikan Indonesia sebagai titik ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2020. Memang, bulan Maret yang lalu kita tiba-tiba dihantam oleh pandemi COVID ini, tetapi bukan berarti pencanangan itu tidak tercapai. Sebaliknya, ketika pandemi ini terjadi, ada semakin banyak orang yang terkoneksi dengan internet. Tidak hanya orang-orang di kota saja sebab pada awalnya, Gerakan Indonesia Go Digital justru menyasar para petani, pedagang, dan para nelayan sehingga kini masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok Indonesia pun sudah terkoneksi dengan internet.

Karena itu, kita tentu bisa melihat bahwa tren digitalisasi dan segi-segi masyarakat yang terkoneksi dengan internet semakin hari semakin meningkat. Terlebih lagi di bidang pendidikan yang menterinya adalah salah satu pemimpin dari unicornnya Indonesia. Selain pendidikan, bidang kesehatan pun juga semakin terdorong oleh teknologi internet, hal ini terbukti dengan begitu banyaknya hal yang bisa di-share dan bisa kita ketahui terkait dengan COVID-19. Begitu banyak segi kehidupan yang semakin terkoneksi dengan internet dan teknologi komunikasi, tetapi bagaimana dengan gereja?

Inilah yang terjadi dengan gereja kita, sesuatu yang menurut saya, menjadi tanggung jawab kita semua. Yang pertama, gereja tertinggal, bahkan masih ada yang melarang penggunaan teknologi dalam ibadah. Tahun lalu, ketika SABDA mengadakan pelatihan Alkitab Suku, ada sebuah sharing dari seorang peserta yang menceritakan bahwa ada seorang pendeta di sebuah gereja yang melarang jemaatnya membawa HP ke dalam gereja, pendeta itu juga melarang jemaatnya membaca Alkitab lewat HP mereka. Menurut saya, ini adalah sesuatu yang menyedihkan. Sudah lebih dari 20 tahun yang lalu dikatakan bahwa akan terjadi pergeseran teknologi besar-besaran, tetapi masih ada saja gereja yang dengan bangga menolak teknologi. Karena itu tidak heran jika sekarang gereja tidak siap menghadapi lockdown dan teknologi yang baru.

Selain itu, minimnya kehadiran generasi muda di gereja juga menjadi masalah yang turut menambah beban gereja saat ini. Bagi Anda yang terlibat dalam pelayanan di gereja, atau mungkin sebagai jemaat, izinkan saya mengajukan 3 pertanyaan berikut:

1. Berapa banyak anak muda yang masih ada di dalam gereja?

2. Berapa banyak dari mereka yang diperlengkapi untuk turut melayani dengan cara mereka? Yaitu cara digital.

3. Berapa banyak dari mereka yang turut mengambil bagian dalam pengambilan keputusan, dalam langkah gereja? Ke mana Gereja akan pergi, Apakah mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusannya? Apakah suara mereka didengarkan? Atau Apakah gereja mau melihat kebutuhan mereka?

Dalam hal ini pun gereja juga sangat jauh tertinggal dari dunia. Sementara gereja masih berkutat dengan hal-hal remeh terkait boleh atau tidak menerapkan teknologi dalam ibadah, baik dalam khotbah maupun dalam pelayanan sakramen, dunia terus bergerak maju. Dunia terus menggarami generasi muda. Dunia mengenali kebutuhan generasi muda yakni aktualisasi diri, kesenangan, dan wadah untuk belajar sesuatu, sesuatu yang tidak mereka dapatkan di keluarga mereka, atau dari gereja. Dunia membuka kesempatan bagi generasi muda untuk mengaktualisasikan diri, bahkan sebebas-bebasnya. Apakah gereja menyadari hal ini? Apa yang sudah kita berikan kepada mereka? Di masa pandemi ini, gereja juga jarang memikirkan hal-hal yang tidak downloadble, kebanyakan hanya tentang konten, tentang apa saja yang bisa di-share secara online, tetapi melupakan hal-hal yang tidak bisa di-download yaitu kedekatan, penerimaan, dan ruang untuk bereksperimen dan melakukan kesalahan. Inilah yang membuat dunia semakin kuat mencengkeram anak-anak muda atau generasi digital yang ada di dalam gereja.

Ada sebuah cerita yang menyedihkan dari awal pandemi COVID ini, tetapi saya pikir bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Di minggu awal pandemi COVID-19, ada berita yang berseliweran di sosial media tentang respons cepat industri pornografi dan gaming terhadap lockdown yang diterapkan di Amerika maupun di Eropa. Saat itu, sebuah situs porno terkenal menggratiskan konten premium mereka bagi pengakses situs mereka dari kedua wilayah tersebut. Konten-kontent premium senilai ribuan dolar dan merupakan pemasukan bagi situs mereka itu mereka gratiskan, seolah-olah mengatakan kepada dunia bahwa, "Biarkan kami menemani Anda dalam lockdown, dijamin tidak akan bosan dengan ribuan konten kami!" Hal yang sama juga dilakukan oleh salah satu studio game. Banyak studio yang mengratiskan game mereka, bahkan ada satu studio yang menggratiskan beberapa judul game Triple A mereka, yang kalau di rupiahkan juga sangat besar. Itu adalah aset mereka, tapi mereka menggratiskannya untuk "menemani" orang-orang dalam lockdown mereka. Sementara itu, gereja baru dua sampai tiga minggu berikutnya baru membuat konten untuk merespons kondisi ini dan terkadang masing ragu-ragu "Bolehkah ini, bolehkan itu bijakkah seperti ini, bijakkah itu?" sehingga terlambat dalam memberi bantuan bagi orang-orang terkurung dalam keterasingan di rumah mereka.


GENERASI-GENERASI DIGITAL DALAM GEREJA

Nah kita sekarang beralih pada generasi-generasi digital di dalam gereja. Generasi-generasi ini tidak hanya generasi X, generasi Y, Z, tetapi juga generasi-generasi yang akan datang; generasi Alpha, Beta, dan seterusnya selama bumi ini masih ada. Namun, bisa dibilang bahwa generasi X adalah generasi digital yang pertama.

Secara singkat dan sederhana, generasi digital adalah mereka yang lahir, bekerja, berinteraksi, bahkan bergereja secara digital bahkan sebelum pandemi ini. Mereka bukanlah digital imigran. Sebaliknya, mereka fasih sekali dalam bahasa-bahsa teknologi, mereka tidak canggung atau kaget untuk berinteraksi dengan bot atau mesin, sembari membangun relasi yang real dan tulus melalui teknologi. Mereka bisa disebut sebagai pemilik dunia digital ini.

Salah satu karakter yang dimiliki oleh generasi digital adalah keterbukaan untuk berkolaborasi. Ini adalah salah satu sifat yang cukup menonjol, tetapi sering disalah mengerti oleh generasi sebelumnya. Di mata generasi digital, kolaborasi adalah kerjasama yang sejajar, sementara generasi yang sebelumnya memiliki sistem yang hirarkis. Hal ini bukan berarti generasi digital memiliki pandangan yang benar, atau generasi sebelumnya salah, tetapi tampaknya ada semacam ketidaksinkronan antar kedua generasi, bahkan sama-sama tidak mau mengerti. Ini yang sering kali membuat clash atau friksi antargenerasi. Hal ini juga yang membuat anak-anak muda sering kali merasa bahwa mereka tidak diakomodasi dengan baik oleh para pemangku jabatan dari generasi sebelumnya.

Kemampuan untuk berkolaborasi ini membuat generasi digital memiliki sifat interpreneur, digipreneur, dan artprenuer yang sangat tinggi. Hal ini bisa kita perhatikan dari perusahaan-perusahaan unicorn yang dipimpin, dijalankan, dan beroperasi dengan cara pikir generasi digital. Mereka bukan hanya entrepreneur yang berani mengambil resiko besar untuk mendapat hasil yang lebih besar, tetapi mereka juga adalah para digipreneur; orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memakai alat-alat dan resources digital, bahkan membuat perangkat atau program yang tailored untuk perusahaan mereka, agar dapat menjangkau lebih banyak orang demi meningkatkan omset mereka serta membangun perusahaan mereka.

Pernahkah kita berpikir bahwa di gereja kita, kita memiliki anak-anak muda, generasi-generasi digital yang memiliki sifat tidak hanya entreprenur dan digipreneur, tetapi juga churchpreneur? Yang dimaksud dengan istilah churchpreneur ini bukanlah gereja yang mengajarkan jemaatnya untuk berwirausaha, tetapi memiliki kemampuan atau keinginan besar untuk melakukan church planting, dengan cara yang digital. Mereka tidak hanya sekadar ingin eksis di dunia digital, tetapi membangun wadah kekristenan di sana.


QUO VADIS?

Setelah mengetahui posisi kita saat ini, sekarang saatnya menentukan ke manakah kita akan pergi? Kita tentu tidak akan pergi untuk membangun status quo yang baru karena segala sesuatu yang berada dalam dunia digital sekarang ini tidak hanya berhenti pada satu titik atau stagnan, sebab jika demikian orang atau institusi tersebut sedang menyiapkan kuburannya sendiri. Generasi digital memiliki cara berpikir yang tidak hanya inovatif, tapi juga mereka memiliki siklus; tidak hanya berhenti pada satu titik, tetapi terus-menerus mengalami pembaruan. Hal ini agar mereka bisa menjawab tantangan-tantangan berikutnya karena teknologi berkembang begitu cepat.

Memberi ruang bagi generasi digital dalam gereja, berarti memberi kesempatan bagi gereja untuk terus berkembang dalam skill, sifat, serta pola melayani yang baru agar tetap relevan dengan zaman ini. Ini bukan berarti kita mengejar standar zaman, sekadar mengikuti tren, tetapi memiliki pemikiran yang inovatif agar bisa menjangkau dan memenuhi kebutuhan orang yang mencari Tuhan pada zaman ini. Dengan pemikiran seperti itu, kita mencegah gereja untuk menjadi sekadar penyedia konten, tetapi menjadi pemberita Kabar Baik dan pembawa terang Kristus di tengah-tengah zaman ini.

Sekarang, bagaimana respons kita? Kita sudah melihat, mendengar, dan mengetahui ada banyak orang yang membahas tentang arah kemajuan teknologi melalui publikasi-publikasi, video, dan begitu banyak seminar teknologi. Saya masih ingat salah satu video tentang pemaparan Mark McClendon dari CBN tentang teknologi 5G. Di era %G, kita tidak bicara lagi tentang download karena kecepatan internet pada era itu memungkinkan manusia untuk "tinggal" di dalamnya. Sekarang ini ada banyak orang yang dengan memakai perangkat VR (virtual reality), misalnya Oculus, menjalani hampir sepanjang hari mereka di internet. Mereka hanya berhenti untuk makan dan buang air, kemudian kembali lagi. Inilah mengapa kita perlu belajar menilai zaman. Bagaimana gereja akan menjawab tantangan seperti itu. Hal ini tidak berarti kita akan meninggalkan pelayanan terhadap orang-orang tua, teapi kita juga perlu memikirkan bagaimana kita akan menyiapkan anak-anak muda untuk melayani generasi mereka di masa depan. Saya rasa, kita perlu mengakui bahwa kita telah mengabaikan semua tanda ini sejak dua dekade yang lalu, pengabaian yang membuat gereja kita tidak siap untuk menghadapi pandemi ini. Kita semua sedang membayar harga dari sikap kita sendiri.

Izinkan saya bertanya kembali kepada Anda, para pendeta dan generasi digital yang mungkin saat ini tidak mau kembali ke gereja: Apakah kini Anda menyadari pentingnya generasi digital bagi pelayanan gereja Tuhan?

Perlu adanya rekonsiliasi dan pertobatan bersama dalam gereja, agar nilai-nilai kekristenan dapat diteruskan ke generasi berikutnya. Hanya ini yang bisa membuka sambung rasa antara generasi lama yang dulu dengan generasi digital. Generasi tua harus mencari cara untuk menyampaikan wisdom kepada generasi muda, sementara dengan rendah hati generasi muda harus mencari cara untuk membuka wawasan generasi tua sehingga kedua generasi bisa bersinergi untuk kemajuan pelayanan, bukan demi generasi masing-masing. Mari kita memandang kepada Tuhan, bukan kepada kepentingan kita sendiri.

Terkait dengan itu, saya ingin mengingatkan kita tentang satu hal yang jarang kita perhatikan dalam pelayanan Yesus. Di tengah-tengah ke-12 murid-Nya, mungkin Tuhan Yesus adalah satu-satunya (atau mungkin bersama Petrus, karena Petrus telah menikah) orang yang berusia lebih dari 30 tahun dan secara umum dianggap telah memiliki pengalaman hidup. Namun, Guru yang bijaksana ini, mau mengajar murid-muridnya yang muda dan tidak berpengalaman itu dengan memberikan teladan. Dia bahkan membimbing mereka dan memberi ruang untuk melakukan kesalahan karena Dia tahu bahwa murid-muridnya ini suatu saat bisa dipakai-Nya untuk mengubah tatanan dunia. Budaya kekristenan adalah hasil dari keterbukaan Kristus kepada manusia-manusia yang tidak berpengalaman, tidak bijak, penakut, bahkan reckless, seperti Petrus.

Nah, apa yang mungkin terjadi saat gereja memberi ruang bagi generasi digital?

Dalam hal ini, kita perlu melihat dua hal, yang pertama adalah seperti apa masa depan yang diinginkan gereja? Dan yang kedua, mau dikemanakan generasi digital yang ada dalam gereja saat ini? Bicara tentang generasi digital, kita bisa menggali lebih dalam lagi untuk memahami mereka. Berikut ini ada dua sudut pandang yang mau saya bagikan untuk melihat generasi digital secara umum.

Saya memilih beberapa tokoh superhero dari DC Comics maupun dari Marvel untuk mewakili beberapa sifat yang dimiliki oleh teman-teman dari generasi  digital. Yang pertama adalah The Flash dari DC Comics yang dikenal dengan kecepatan supernya. Dalam hal ini, generasi digital memiliki kesamaan dengan Flash dalam hal kecepatan menanggapi sesuatu yang terjadi atau perubahan-perubahan. Mereka sangat luwes dan suka explore. Hal itu membuat mereka cepat sekali menyerap kemajuan-kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan zaman. Lalu yang kedua adalah Ironman. Saya memilih tokoh ini karena di film Marvel, Ironman sangat mewakili sifat kedua dari generasi digital yaitu technology literate sebab mereka lahir, tumbuh, hidup, dan mungkin nanti juga mati di dalam dunia yang juga digital; yang dikelilingi oleh  kemajuan-kemajuan teknologi. Sifat yang ketiga adalah openess atau sifat yang terbuka. Tokoh yang saya pilih untuk mewakili sifat ini adalah Peter Parker yang diperankan oleh Tom Holand dalam film Spider-Man. Menurut saya, Peter Parker sangat cocok untuk mewakili sifat ini karena dia sangat terbuka dengan hal-hal yang baru. Dia tidak hanya pintar dan cerdas, tetapi juga terbuka dengan cara-cara belajar yang baru, insights atau masukan-masukan baru terkait sepak terjangnya sebagai Spider-Man. Tokoh ini benar-benar mewakili keterbukaan teman-teman muda terhadap ilmu, pengetahuan, wawasan baru, yang tidak hanya datang dari penyelidikan mereka sendiri, tapi juga dari pihak lain. Kira-kira seperti itulah gambaran sifat generasi digital secara umum.

Namun, saya juga ingin menyoroti kondisi generasi digital Kristen. Yang pertama, mereka yang berada di gereja. Dari hasil riset Bilangan Research Center yang dicantumkan dalam Majalah Spektrum, tren anak-anak muda di gereja mengalami penurunan, baik dalam hal kehadiran, partisipasi, dan juga kontribusi. Coba Anda cek di lingkungan gereja Anda, apakah fenomena ini juga terjadi di komunitas pemuda gereja kita? Dan jika kita berangkat dari riset ini, kita bisa memperkirakan faktor-faktor yang memengaruhi turunnya kehadiran, partisipasi, dan kontribusi mereka dalam komunitas gereja kita.

Saya ingin mengusulkan dua faktor yang kemungkinan menjadi penyebab turunnya kehadiran generasi muda dalam gereja:

1. Generasi muda merasa bahwa gereja kurang mewadahi potensi mereka. Potensi yang dimaksud di sini bisa disebut sebagai bakat, skill, dan kemampuan yang dimiliki oleh teman-teman muda ini. Karena mereka merasa bahwa gereja tidak menyediakan wadah bagi potensi mereka, teman-teman muda ini pun keluar dan mencari komunitas di luar gereja. Ketika mereka sudah bertemu dengan komunitas yang bisa mewadahi potensi mereka tersebut, mereka pun berkembang di situ sebab mereka merasa diterima untuk mengasah skill dan potensi mereka di situ. Otomatis, teman-teman muda ini pun akan menghabiskan lebih banyak waktu di komunitas tersebut daripada di gereja.

2. Buruknya kepemimpinan di dalam gereja dan kurangnya teladan dalam kepemimpinan gereja. Ini cukup mengejutkan saya, apakah ini juga terjadi di gereja kita masing-masing? Ini jelas terkait dengan leadership karena sebenarnya teman-teman muda ini butuh figur untuk diteladani yang bisa disentuh, dilihat, dan bisa benar-benar diajak berdiskusi sehingga sikap kepemimpinan dari pemimpin di gereja bisa menular kepada mereka. Karena itu, ketika temen-temen muda ini menganggap kepemimpinan di dalam gereja mereka buruk atau tidak memberi teladan, mereka pun undur dari gereja.

Kita juga perlu mengetahui kondisi pribadi dari masing-masing teman-teman muda ini. Dari yang saya lihat, dan yang saya pelajari, ada beberapa tipe kondisi pribadi dari temen-temen yang muda ini. Terkait iman Kristiani dan pemahaman mereka terhadap Alkitab.

1. Mereka yang kurang menguji ajaran yang mereka dapat. Mereka mungkin melek teknologi, tapi kurang melek dalam hal teologi. Mereka sadar bahwa mereka kurang dalam segi pemahaman Alkitab, tapi hanya sekadar sadar saja sehingga ketika mereka mendapatkan firman Tuhan dari khotbah atau dari YouTube, mereka tidak mengujinya, menerimanya mentah-mentah tanpa tanpa disaring, tanpa dikaji ulang, tanpa dipelajari lagi apakah khotbah itu benar-benar sesuai dengan pengajaran Alkitab atau menyimpang.

2. Mereka yang apatis terhadap gereja, bahkan sampai bisa mengabaikan iman dan mengabaikan keselamatan yang hanya di dalam Tuhan Yesus Kristus. Menurut saya, ini tipe yang berbahaya. Sebagai orang percaya, kita seharusnya bisa merangkul teman-teman ini untuk kembali mencintai Tuhan Yesus Kristus, bukan ikut apatis terhadap gereja.

3. Mereka yang kritis terhadap pengajaran. Ketika mendapat pengajaran melalui khotbah, teman-teman yang berada pada jenis ini memiliki kecenderungan untuk berpikir kritis, mereka mau menguji ulang khotbah itu, memelajari ulang di rumah, bahkan memiliki disiplin untuk melakukan pendalaman Alkitab. Mereka menguji dan memelajari lagi apakah khotbah yang mereka terima hari itu benar-benar sudah sangat biblikal. Mereka peduli terhadap gereja dan kebenaran firman Tuhan itu sendiri. Namun, dari ketiga tipe ini ada satu lagi yang agak sedikit berbeda.

4. Mereka yang tidak hanya kritis terhadap ajaran dan peduli terhadap kebenaran firman Tuhan, tetapi bergerak dan melakukan sesuatu. Bagaimana cara mereka bergerak? Mereka memanfaatkan tempat tinggal dari teman-teman segenerasi mereka yang memiliki keresahan yang sama, yakni dunia digital, di dunia internet, khususnya di media sosial.

Beberapa gerakan yang anak muda Kristen yang bisa kita temukan di media sosial di antaranya adalah @studialkitab_biblika, @sharethistruth,  @renunganAlkitab, @quotesorgawi dan saya yakin masih ada banyak lagi di luar sana. Dalam komunitas-komunitas ini, mereka memberikan ruang untuk diskusi terkait firman Tuhan. Di Studi Alkitab biblika, misalnya, mereka sering melakukan bedah buku Kristen, di renungan Alkitab mereka kerap membagikan renungan dari ayat Alkitab setiap hari dan mengajak follower mereka untuk merenungkan bahan itu. Ada juga yang membuat quote dan podcast seperti yang dilakukan akun @reformedjawa. Mereka semua ada di berbagai platform, baik di media sosial (Instagram, Facebook, Twitter) maupun di platform Youtube, Spotify, dan Google Podcast. Mereka tahu cara kerjanya, mereka tahu bagaimana menggunakan serta memaksimalkannya, dan mereka mau memakai semua platform itu untuk menyebarkan firman Tuhan. Namun demikian, yang menarik dari gerakan teman-teman ini adalah bahwa (setahu saya, dan mohon koreksi jika saya salah) semua ini dilakukan di luar gereja, mungkin karena mereka merasa bahwa gereja kurang mengakomodasi potensi yang mereka miliki.

Saya juga ingin menyampaikan bahwa penduduk dunia digital, harus dan akan dijangkau oleh orang dari dunia yang sama juga. Jadi, teman-teman dari tipe keempat inilah yang berusaha untuk menjangkau teman-teman lain karena merekalah anggota atau penduduk dari dunia digital itu sendiri, sehingga Tuhan akan memakai mereka untuk melakukan penjangkauan atau penginjilan terhadap teman-teman yang tinggal didunia digital. Pertanyaannya, bagaimana sekarang respons gereja? Apakah setelah melihat potensi dan dampak yang sangat besar ini, kita tergerak untuk mengakomodasi mereka?

Nah, kira-kira apa yang terjadi jika gereja mendukung potensi generasi digital di dalam gereja? Seperti yang dipaparkan di atas terkait nature dan sifat generasi digital, mereka tidak hanya cepat, technology literate, terbuka, tetapi juga berani, nekat, tidak takut gagal, dan memiliki semangat yang berapi-api. Namun, mereka juga punya kebutuhan seperti ruang gerak dan support dari berbagai pihak. Jika gereja dan generasi digital bisa match dengan baik, dan ketika gereja mau menyadari akan dua kebutuhan tersebut, hal ini bisa menuntun kita kepada pembentukan churchpreneur yang gigih melakukan chruch planting di dunia digital, tempat teman-teman digital ini tinggal.

Ini beberapa contoh gerakan pemuda yang terinpirasi oleh gereja masing-masing.

Ignite
IgniteGKI.com

Youth4Peace GKMI

pemuda GMIM

Apa saja program-program mereka? Ada ibadah online misalnya, ada cover lagu kidung atau himne, melakukan seminar-seminar lokal, mereka membuka situs untuk menampung aspirasi dari teman-teman muda melalui tulisan dan karya mereka, lalu mereka juga aktif di medsos, mereka membuat podcast, webinar dan banyak lagi yang bisa dilakukan oleh teman-teman ini ketika mereka punya ruang dan punya akses. Yang menarik, teman-teman ini tidak menutup akses mereka hanya untuk kalangan sendiri. Misalnya kita lihat di Ignite GKI, mereka membuat ibadah online mereka terbuka dengan menggunakan platform YouTube sebagai sarana untu untuk membagikan ibadah mereka. Karena itu, meski saya bukan jemaat GKI, saya bisa beberapa kali mengikuti ibadah di Ignite GKI secara online di YouTube. Hal itu berarti Ignite GKI sudah menjangkau lebih luas dari komunitas mereka.

Ketika gereja menyediakan ruang untuk potensi anak-anak muda, saya yakin suatu perubahan (bahkan gerakan yang besar) akan terjadi dan itu  untuk memuliakan nama Tuhan.

Saya mau mengakhiri artikel ini dengan mengingatkan kita bahwa generasi digital bukanlah sekadar obyek pelayanan, tetapi sebuah pasukan yang siap membawa gereja ke era yang baru. Karena itu, gereja harus memikirkan ulang metode pelayanannya dan serius menjalankan pemuridan terhadap generasi digital. Generasi digital ini adalah harapan bagi masa depan gereja di seluruh dunia. Karena itu, pasanglah telinga kita dan dengarlah: Bertobatlah!, carilah kehendak Tuhan maka Dia akan menggunakan kita untuk memberi dampak kepada dunia!