Apa yang menjadi formasi dari pembentukan rohani anak? Artikel ini akan menjelaskan kepada kita betapa pentingnya peran Alkitab dalam membentuk kerohanian anak.

Jika kita ingin memahami Alkitab, kita harus mengetahui dengan pasti apa yang Alkitab bicarakan dari awal. Dari kitab Kejadian, Tuhan menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Dan, Tuhan menciptakan manusia (Adam dan Hawa) untuk memerintah bersama-sama dengan Allah di muka bumi ini. Jadi, manusia diberi mandat untuk memerintah atau mengelola bumi ini atas nama Tuhan di dalam ketundukkan mereka pada Firman. Maksudnya adalah, mengenai hal yang baik, buruk, benar, Tuhanlah yang menentukan. Ketika Tuhan memberikan peraturan mengenai makanan, binatang-binatang itu memakan semua tumbuhan hijau, tetapi manusia makan tumbuh-tumbuhan yang berbiji. Tuhan juga memberi perintah kepada manusia bahwa semua buah dalam taman bisa dimakan buahnya kecuali buah yang ada di tengah-tengah taman, yaitu buah pengetahuan. Jadi, kita mengetahui bahwa Tuhanlah yang menentukan baik, buruk, benar, dan salah, sehingga manusia hidup dalam nilai-nilai kerajaan Allah.

Namun, manusia kemudian memilih memberontak melawan Tuhan. Kejadian 3:4-5 berkata demikian, "Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: 'Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.'" Perempuan itu lalu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu, ia mengambil dari buahnya dan memakannya, kemudian diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya itu juga memakannya. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.

Awalnya, yang baik, buruk, benar, jahat, ditentukan oleh Tuhan. Akan tetapi, Setan kemudian berkata, "Kalau kamu makan buah pohon pengetahuan ini, kamu akan seperti Tuhan." Dalam bahasa sehari-hari, itu artinya kita bisa menentukan sendiri mana hal yang baik, yang buruk, dan yang salah, sehingga kita tidak memerlukan Tuhan. Dengan perkataan lain, Tuhan disingkirkan dari takhta kerajaan-Nya. Manusia tidak ingin hidup dalam nilai-nilai kerajaan-Nya, manusia ingin hidup dengan nilai-nilainya sendiri. Itulah sebabnya, ketika manusia diciptakan dalam keadaan telanjang, manusia tidak merasa malu. Ketelanjangan bukan sesuatu yang memalukan pada waktu itu. Akan tetapi, setelah mereka menganggap ketelanjangan menjadi sesuatu yang kotor, mereka pun menjadi malu. Mereka kemudian mengambil pohon-pohon ara untuk membuat pakaian. Manusia yang tadinya diciptakan untuk memerintah dalam ketundukan pada nilai-nilai kerajaan Allah kemudian memberontak dan hidup dalam nilai mereka sendiri.

Apa yang diperbuat manusia ini menyimpang dari tujuan yang semula, atau bahasa Ibraninya "hamatia" -- menyimpang dari tujuan atau salah sasaran. Tadinya mereka memerintah bersama Allah, tetapi kemudian mereka memerintah sendiri tanpa Allah. Nah, oleh sebab itu, baik, buruk, benar, salah akhirnya ditentukan oleh manusia sendiri. Ketika manusia jatuh dalam dosa, sebenarnya mereka hidup di luar kebenaran nilai-nilai Allah. Mereka hidup menurut kebenaran nilai-nilai mereka sendiri. Apa akibatnya kalau manusia hidup menurut nilai-nilai kebenaran mereka sendiri? Kita melihat, Adam memiliki anak bernama Kain dan Habel. Kain membunuh Habel, lalu Kain meninggalkan Tuhan dan tidak bertobat. Namun, Tuhan bertanya baik-baik kepadanya, "Di mana adikmu?" Kain menjawab, "Tidak tahu. Apakah aku pengasuh adikku?" Padahal dialah yang membunuh Habel. Tuhan memberi kesempatan Kain untuk bertobat, tetapi dia tidak bertobat. Akhirnya, Tuhan mengutuk Kain, sehingga Kain menjadi manusia pertama yang dikutuk Tuhan. Ini berarti Tuhan menghukum Kain.

Kain akhirnya menetap di tanah penggembaraan, di Tanah Lot. Dia pergi dari hadapan Tuhan dan meninggalkan Tuhan. Dengan perkataan lain, Kain ini hidup sekuler terpisah dari Allah. Dari sana dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Allah itu benar. Perihal baik, buruk, benar, salah dalam pemerintahan Allah sangat jelas, berbeda dengan baik, buruk, benar, dan salah yang ditentukan manusia. Pemerintahan Allah standarnya jelas, sementara pemerintahan manusia standarnya pasti tidak jelas. Standar kesopanan dalam berbagai macam budaya, contohnya, sangat berbeda-beda. Kita bisa melihat, ketika orang hidup dalam pemerintahan Allah, ia hidup dalam kebenaran Allah. Sedangkan,ketika manusia memerintah, ia hidup dalam kebenaran yang dibuatnya sendiri. Apa hasilnya? Ketika manusia hidup dalam kebenaran Allah, mereka akan menghasilkan keteraturan, kesejahteraan, dan kedamaian. Sementara, ketika manusia ingin memerintah sendiri tanpa Allah, hal itu justru menghasilkan kekacauan dan bumi dihancurkan oleh air bah.

Lalu, ketika Habel mati, Adam kembali memiliki anak yang lain bernama Set, lalu Set melahirkan Enos. Kain, pada lain pihak, sudah hidup sekuler sesuai nilai kebenarannya sendiri. Dia kehilangan gelar sebagai anak Adam, dia kemudian disebut sebagai anak manusia. Mulai pada saat itulah manusia -- keturunan Set dan Enos -- memanggil nama Tuhan. Kita bisa melihat perbedaan tema pada kisah Alkitab di sini.  Pada saat Kejadian 1 dan 2, kisahnya berfokus pada manusia dan binatang, lalu tentang garis keturunan Set dan Kain. Anak-anak Allah yang hidup dalam garis kebenaran Allah berbeda dengan mereka yang berada pada garis sekuler, yaitu keturunan Kain.

Lalu, ketika anak-anak Allah melihat anak manusia itu cantik-cantik, maka mereka mengambil siapa pun dari mereka menjadi isterinya. Perkawinan dari dua garis keturunan, yaitu garis keturunan rohani dan garis keturunan sekuler mengakibatkan rusaknya moral manusia.  99,9% manusia menjadi rusak. Lalu, Tuhan berkata, "Bumi ini sungguh rusak." Maka, Tuhan menemui seorang Nabi bernama Nuh. Dia memerintahkan Nuh untuk membuat sebuah bahtera untuk menyelamatkan manusia yang mau bertobat. Maka, Nuh pun berkhotbah selama 120 tahun agar manusia bertobat dan kembali kepada nilai kebenaran Allah. Yang akan menjadi bukti pertobatan mereka adalah dengan mereka bersedia naik ke atas kapal itu. Namun, ternyata yang bersedia naik ke dalam bahtera itu hanya 8 orang, yaitu, Nuh, isterinya, 3 anaknya, dan 3 menantunya. Pertanyaannya adalah, di manakah keturunan Adam dan Set yang lain? Mengapa mereka menolak masuk ke dalam bahtera yang dibangun oleh Nabi Nuh?  Hal tersebut menunjukkan kepada kita bahwa manusia dari garis kebenaran Allah terlanjur terpengaruh dengan kebanyakan anak manusia yang hidup di luar dari kebenaran Allah. Manusia hidup dalam nilai kebenaran mereka sendiri di luar dari nilai kebenaran Allah. Jadi, itulah sebabnya yang berada di dalam kapal itu hanya 8 orang.

Kita harus memahami bahwa nilai kebenaran manusia itu berbeda-beda atau relatif sifatnya. Contohnya, nilai kesopanan dalam satu kebudayaan belum tentu sopan dalam kebudayaan yang lain. Pada satu tempat, makan dengan bersuara itu adalah hal yang sopan, karena bersifat menyenangkan tuan rumah atau orang yang mengundang. Dengan makan bersuara, artinya tamu bersemangat menikmati makanan yang disajikan, dan berarti makanannya memiliki cita rasa yang lezat. Dalam hal kebebasan, Indonesia dan Amerika, misalnya, juga memiliki perbedaan. Kebebasan di Indonesia itu bebas terkendali, di Amerika bebas itu berarti sebebas-bebasnya. Hidup sebebas-bebasnya itu sangat berbahaya dan mengerikan. Sebab, seperti layang-layang jika dia tetap berada pada talinya, dia tidak akan jatuh. Jika layang-layang dapat memutuskan talinya, dia justru akan jatuh, lalu diperebutkan anak-anak sehingga menjadi koyak dan rusak. Maka, bebas yang sebebas-bebasnya dengan bebas yang terkendali akan sangat jauh berbeda. Di sana kita bisa melihat, kebenaran yang memakai standar manusia akan menghasilkan kekacauan.

Saat ini, kita melihat manusia hampir musnah seperti pada zaman nabi Nuh. Seperti halnya Set dan Enos yang hanya memiliki satu garis keturunan yang hidup dengan benar, yaitu Nuh dan keluarganya, yang lain-lain terikut arus. Manusia tidak berhasil mengajar anak cucu mereka untuk hidup dalam nilai-nilai rohani kerajaan Allah.
 
Dari Nuh kemudian sampai kepada Abraham. Abram dipanggil ke luar dari Ur-Kasdim untuk dipanggil hidup dalam nilai kebenaran firman Tuhan. Abraham beserta seluruh keluarga dan keturunannya dipanggil untuk hidup di dalam kebenaran Allah. Lalu, dari keturunan Abraham hak kesulungan jatuh kepada bangsa Israel, dan Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk hidup dalam nilai Kerajaan Allah. Ulangan 6:6-7 menyatakannya, "Apa yang aku perintahkan kepadamu pada hari ini, haruslah engkau perhatikan. Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."

Bangsa Israel yang merupakan keterunan Set dan Enos mendapatkan tugas untuk mengajarkan hal itu terus-menerus dan berulang-ulang. Formasi kerohanian anak-anak mereka dibentuk dengan memakai dasar firman Tuhan. "Apa yang Kuperintahkan hari ini harus diajarkan berulang-ulang dan perkatakan dalam setiap kesempatan." Tujuan dari perintah itu adalah agar semua keturunan Israel hidup dalam berkat Tuhan dan nilai-nilai Tuhan.

Sebagai orangtua, tentu kita juga ingin anak cucu kita hidup di dalam kebahagiaan. Dalam Ulangan 4:24-25, dikatakan, " Sebab Tuhan, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu, apabila kamu beranak cucu dan kamu telah tua di negeri itu lalu kamu berlaku busuk dengan membuat patung yang menyerupai apa pun juga, dan melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, Allahmu, sehingga kamu menimbulkan sakit hati-Nya,"  Tuhan Allah kita memerintahkan kita untuk melakukan segala ketetapan itu dan untuk takut kepada-Nya senantiasa dan hidup dalam kebenaran. Jika kita melakukannya seperti yang Dia ajarkan kepada kita, hidup kita akan menjadi baik dan diberkati. Oleh sebab itu, Tuhan terus berkata, "Ajarkan ini hai bangsa Israel, kepada anak cucumu."

Selain itu, bangsa Israel juga dilarang melakukan pernikahan campur dengan bangsa-bangsa lain, terutama bangsa Kanaan yang tidak hidup menurut nilai-nilai Kerajaan Allah. Mengapa pernikahan campur itu dapat menghancurkan nilai kerohanian anak-anak Tuhan? Dalam Ulangan 7:3-4 dikatakan, "Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera."  

Bangsa Israel dilarang untuk melakukan pernikahan campur dengan bangsa lain bukan karena alasan ras, melainkan agar bangsa Israel tidak hidup di luar nilai-nilai rohani kerajaan Allah. Mereka harus hidup berdasarkan nilai-nilai rohani mereka sendiri, hidup di dalam nilai-nilai kebenaran mereka yang berbeda dari bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Tuhan. Analoginya seperti ini: benih baik yang ditanam di tengah-tengah semak duri tidak akan bisa bertumbuh dengan baik. Demikian pula dengan bangsa Israel. Jika mereka melakukan perkawinan campur, maka "benih" mereka yang baik itu akan sulit sekali bertumbuh. Lalu, analogi yang lain lagi adalah jika air yang bersih dicampur dengan air kotor, maka air itu akan jadi kotor. Namun, jika air yang kotor disiram dengan banyak air bersih, maka air kotor itu akan menjadi bersih. Itulah dasar mengapa bangsa Israel dilarang melakukan pernikahan campur dengan bangsa-bangsa lain.

Mari perhatikan di dalam Markus 4:18-19 ketika Tuhan Yesus berkata, "... dan yang lain ialah yang ditaburkan di tengah semak duri, itulah yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah." Firman itu mau menyatakan bahwa ketika seseorang bertumbuh di tengah-tengah pengaruh negatif, akan sulit sekali bagi firman Tuhan untuk mengubahkan hidupnya. Dalam hal ini, kita bisa melihat banyak sekali keturunan biologis Abraham yang hidup di luar nilai-nilai kebenaran firman Allah. Dalam masa Hakim-Hakim serta masa Raja-Raja Yehuda, bangsa Israel hidup dalam nilai bangsa-bangsa lain yang ada di luar nilai-nilai Kerajaan Allah. Kerajaan mereka akhirnya hancur dan terbuang ke negeri Babel, Aram dan Persia, serta Siria karena gagal mengajar anak-anak atau keturunan mereka hidup dalam nilai-nilai Kerajaan Allah. Inilah yang terjadi pada bangsa Israel.

Lalu, apa pentingnya hal ini sekarang bagi gereja Tuhan?

Kita tahu bahwa gereja merupakan keturunan rohani dari Abraham. Dalam Galatia 3:29 dikatakan, “Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.” Yang dimaksudkan di sini tentu bukan keturunan biologis Abraham, tetapi kita secara iman disebut sebagai keturunan Abraham karena kita milik Kristus. Atau dengan perkataan lain, kita adalah keturunan yang sejenis dengan Abraham karena sama-sama beriman. Dari situ, kita tahu bahwa gereja juga mempunyai tugas formasi untuk membentuk anak-anak kita, supaya mereka hidup dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsip kerajaan Allah. Dan, ketika mereka dewasa, mereka juga bisa mengajarkan nilai-nilai tersebut kepada anak-anak mereka agar hidup sesuai nilai kerajaan Allah.

Gereja adalah milik Kristus, gereja adalah keturunan Abraham, dan gereja dipanggil untuk memperlengkapi tubuh Kristus. Dan, kita tahu adalah kebutuhan manusia bukan makanan jasmani semata, tetapi juga makanan rohani. Matius 4:4 menyatakan, "Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah."  Manusia jelas bukan hanya membutuhkan hal-hal jasmani saja, tetapi juga membutuhkan firman Tuhan, agar dari firman itu orang-orang percaya hidup dalam kebenaran. Sebagai contoh, Alkitab mengajarkan agar dalam berpakaian kita mempermuliakan nama Tuhan, karena segala sesuatu yang kita lakukan harus bertujuan untuk mempermuliakan nama Tuhan. Dengan mendapat asupan rohani dari firman Tuhan, kita akan memiliki pemikiran untuk berpakaian yang tidak akan mempermalukan nama Tuhan, yaitu berpakaian dengan sopan dan pantas. Di situlah Alkitab berperan dalam membangun kerohanian anak untuk membentuk tanggung jawab dalam apa pun yang ia lakukan.

Peran firman Tuhan dalam membentuk formasi kerohanian anak

1. Alkitab menunjukkan nilai penting dalam hidup kerajaan Allah.

Ketika manusia hidup dengan nilai-nilainya sendiri, bumi peradaban manusia itu hampir musnah saat garis keturunan rohani kawin dengan garis keturunan sekuler. Hanya ada 8 keturunan Adam yang naik ke dalam bahtera. Puluhan, ratusan ribu bahkan mungkin jutaan keturunan Adam yang lain hidupnya di luar Tuhan. Jadi, Alkitab sudah memberikan bukti penting yang mengajarkan nilai-nilai kerajaan Allah kepada anak-anak kita. Namun, dalam Alkitab juga terdapat contoh orang yang taat pada firman Tuhan, yang keturunannya diberkati, yaitu Yonatan bin Rekab. Yeremia 35:18-19 mengatakan demikian, "Tetapi berkatalah Yeremia kepada kaum orang Rekhab: "Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel: Oleh karena kamu telah mendengarkan perintah Yonadab, bapa leluhurmu, telah berpegang pada segala perintahnya dan telah melakukan tepat seperti yang diperintahkannya kepadamu, maka beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel: Keturunan Yonadab bin Rekhab takkan terputus melayani Aku sepanjang masa." Jadi, orang-orang Rekab ini hidup dalam ketaatan kepada leluhur mereka, Yonadab bin Rekab. Mereka tetap setia pada hukum Tuhan saat suku-suku lain memilih untuk hidup di luar hukum-hukum Tuhan. Dan, ketika Yonadab bin Rekab berhasil mendidik keturunannya untuk hidup dalam prinsip-prinsip Alkitab, maka keturunannya diberkati oleh Tuhan, tidak dihancurkan atau dimusnahkan serta terus diizinkan untuk melayani. Sebaliknya, mereka yang tidak taat, keturunannya hancur. Contoh akan hal ini bisa dilihat dalam kisah keluarga imam Eli.  Anak-anak Imam Eli hidup di luar firman, dan Eli tidak mengajar atau memberi teguran kepada anak-anaknya sehingga imam Eli ditegor oleh Tuhan dan keluarganya pada akhirnya dimusnahkan. Jadi, dalam hal ini Alkitab akan menunjukkan nilai-nilai penting dalam kerajaan Allah untuk membentuk atau memberi formasi dalam kerohanian anak.

2. Alkitab adalah pedoman hidup dalam nilai-nilai kerajaan Allah.

Alkitab adalah pedoman hidup, dan anak-anak kita harus mengetahui hal ini.  Anak-anak mempelajari sumber nilai-nilai kerajaan Allah dari Alkitab sebagai sumbernya. Itulah sebabnya Yosua 1:8 menyatakan, "Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung." Jadi, melalui Yosua, Tuhan sudah menyatakan tentang hal yang baik, buruk, benar, salah melalui standar yang jelas, yaitu Alkitab atau firman Tuhan. Jika manusia mau menentukan sendiri hal-hal yang baik, buruk, benar dan salah itu, maka tidak akan ada standar yang baku dan akan menghasilkan kekacauan. Dengan demikian dalam praktiknya berlaku sebagai berikut: jika budaya yang manusia hasilkan sama dengan prinsip-prinsip firman Tuhan, maka budaya itu salah untuk dilakukan. Namun, jika budaya itu menentang atau melawan firman Tuhan, maka kita harus melawan budaya tersebut.

3. Alkitab menuntun orangtua, termasuk hamba Tuhan, untuk menjalankan tugas kerohanian dalam membentuk kerohanian anak.

Alkitab adalah pedoman yang jelas, yang darinya kita akan bisa menjalankan tugas sebagai orangtua dan hamba Tuhan dalam membentuk kerohanian anak dengan baik. Hal ini dinyatakan secara jelas dalam Amsal 22:6, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu."  Jadi, Alkitab memberi pedoman untuk mendidik anak sejak masa muda mereka. Jangan menunggu hingga anak-anak paham baru menanamkan nilai-nilai tersebut. Untuk itu, kita bisa memakai analogi anak sebagai sebuah kertas putih, di mana kita bisa menuliskan apa pun pada kertas putih itu, atau dengan perkataan lain, kita bisa menanamkan nilai-nilai kebenaran firman Tuhan dari Alkitab kepada anak-anak semenjak usia dini. Amsal 23: 14 menyatakan, "Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati."

Sekarang, banyak pengajaran yang bersumber dari psikologi yang menyatakan bahwa anak tidak boleh dipukul, tidak boleh ditegur keras. Akan tetapi, kita tidak melihat hal tersebut dinyatakan di dalam Alkitab. Alkitab mengatakan kalau anak tidak bisa ditegur baik-baik, maka ia harus ditegur dengan sedikit lebih keras. Jika tidak bisa juga, tegurlah dengan keras, yaitu dengan rotan. Seperti yang dinyatakan dalam Amsal, kita bisa memukul anak kita agar dia tidak terjerumus ke dalam dunia orang mati. Akan tetapi, jangan memukul mereka di wilayah tubuh yang berbahaya. Di sisi lain, ada hukum dalam suatu negara yang mengatur jika orangtua memukul anaknya, negara dapat mengambil anaknya sebab itu melanggar hukum child abuse (penyiksaan anak-anak). Dengan hukum ini, orangtua takut untuk memukul anaknya, sehingga anak tumbuh dengan jiwa yang rusak dan susah diatur. Memang, dalam pelaksanaannya harus dengan batasan dan berhati-hati, karena bertujuan untuk menghukum, bukan membunuh mereka. Ini adalah pedoman yang jelas.

4. Ulangan 6:7 menyatakan, "... haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." Mengajar secara berulang-ulang ini tidak mudah, sebab memang butuh kesabaran untuk mengajarkan anak yang tidak mudah untuk mengerti atau sulit untuk memahami. Namun, Alkitab sudah memberikan kita pedoman untuk mengajarkannya secara berulang kali. Yang memegang peranan utama dalam mendidik anak-anak adalah orangtua bukan guru sekolah minggu. Namun, ada orang tua yang menyatakan kenakalan anak-anaknya sebagai akibat karena guru sekolah minggu kurang cakap mengajar. Ini adalah pemahaman yang sangat salah. Peran utama mengajar anak-anak dipikul orangtua. Guru sekolah minggu bersifat sebagai tambahan, sebab gereja menjadi pihak yang bekerja sama dengan orangtua dalam mendidik anak-anaknya.

Efesus 6:4 berkata, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Jadi, dari sana kita mengetahui bahwa meskipun kita mendidik anak-anak dengan dengan tegas, tetapi kita tidak boleh membangkitkan amarah anak-anak. Amarah itu mungkin tidak terlihat oleh orangtua, tetapi disimpan dalam hati. Anak-anak ketika dididik terlalu keras oleh orangtuanya, mereka mungkin tidak akan berani melawan. Akan tetapi, bukan tidak mungkin mereka menyimpan dendam dalam hatinya. Untuk itu, sebagai orangtua, jangan sampai kita membangkitkan amarah semacam itu dalam diri anak-anak. Antara kasih dan keadilan, antara didikan dan kasih harus seimbang. Itulah dasar dari pendidikan anak, sehingga jangan sampai kita keluar dari batasan tersebut.

Dari semua uraian di atas, kita bisa melihat bahwa Alkitab memiliki formasi yang jelas untuk menjadi dasar kerohanian anak. Pertama, Alkitab menunjukkan bukti sebagai dasar dalam mendidik anak-anak serta dasar nilai hidup anak-anak. Kedua, kita mengetahui bahwa Alkitab adalah pedoman hidup, sehingga firman Tuhan tidak bisa disamakan dengan hal atau budaya yang lain. Hal atau budaya yang sesuai dapat kita pakai, tetapi jika tidak sesuai jangan kita pakai, sebab standarnya adalah Alkitab. Yang ketiga, Alkitab menuntun kita dalam mendidik anak-anak, yaitu dalam membentuk kerohanian anak-anak kita.