Apa itu penginjilan kepada suku digital?

Kita akan bersama-sama melihat lebih jauh tentang topik ini agar kita memiliki pemahaman yang lebih lengkap dan dapat menggumulinya lebih jauh. Pertama, kita akan belajar kata-kata penginjilan kepada suku digital. Penggunaan kata penginjilan kepada suku digital mengandung unsur bergerak. Itu mengandung sesuatu yang aktif, sesuatu yang tidak pasif, serta memiliki unsur yang harus selalu bergerak, di mana itu memiliki titik mulai untuk kita bergerak atau melakukan sesuatu. Posisi kita sekarang menjadi permulaan untuk mulai memahami apa itu suku digital agar kita dapat melakukan penginjilan kepada suku digital.

Mari kita mulai dari tempat kita berada sekarang, yaitu negeri kita tercinta, Indonesia. Jika kita melihat dari peta, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau, dengan 700 lebih bahasa suku, dan 1.300 lebih budaya dari berbagai suku. Dari sana, kita bisa melihat betapa kayanya keanekaragaman yang Tuhan berikan bagi bangsa kita.

Namun, statistik tersebut bukan sekadar angka-angka yang membanggakan bagi kita. Di balik angka-angka ini, terdapat pekerjaan rumah bagi gereja Tuhan di Indonesia. Tuhan sudah bekerja selama berabad-abad dengan mengutus para pekerja-Nya ke Indonesia, dengan memakai berbagai cara demi menjangkau mereka yang masuk dalam statistik tersebut. Hasilnya, angka pengikut Tuhan di Indonesia juga terus bertambah. Nah, angka dalam statistik tersebut juga terus bertambah dengan meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Berdasarkan data dari sensus penduduk tahun 2000, Indonesia memiliki 270 juta penduduk. Menariknya, angka terbesar berdasarkan golongan usia dari penduduk Indonesia itu adalah mereka yang berusia 0 - 20 tahun. Siapakah mereka?

Mereka adalah kaum muda dan anak-anak yang lahir setelah tahun 2000. Golongan inilah yang memiliki budaya dan suku yang baru di Indonesia, yang menjadi PR besar bagi gereja dan orang-orang percaya pada abad ini. Mereka merupakan ladang pelayanan baru yang perlu digarap, dan menjadi ladang terbesar yang kita sebut sebagai suku digital. Mereka beraktivitas penuh dalam dunia digital dan kerap disebut sebagai penduduk digital.

Indonesia sendiri merupakan ladang hidup bagi 270 juta orang, yang memiliki angka pengguna internet terbesar di dunia, yaitu sekitar 170 juta orang lebih. Yang lebih menakjubkan lagi, terdapat pula penambahan jumlah populasi dari pengguna mobile di Indonesia. Dari data statistik, kita juga dapat melihat aktivitas internet atau waktu yang dihabiskan dengan teknologi digital, di mana menurut data, saat ini rata-rata orang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk beraktivitas dengan internet setiap hari. Mereka juga aktif menggunakan media sosial, rata-rata lebih dari 3 jam/hari melalui jalur Instagram, Tik Tok, dsb.. Lalu, waktu yang dihabiskan untuk melakukan game online dan belanja online adalah lebih dari 6 jam per hari. Ini tentu bukan angka yang main-main.

Untuk menyikapi data-data ini, maka kita juga perlu melihatnya dalam paradigma yang baru, dengan menyadari bahaya yang muncul dari kondisi tersebut, sekaligus pula kesadaran bahwa masih banyak gereja yang belum menyadari kondisi bahwa Indonesia sudah digital.

Kita perlu bersyukur dengan terjadinya pandemi, yang Tuhan izinkan untuk memaksa kita masuk dalam kondisi digital. Jika tidak dengan cara demikian, gereja atau tubuh Kristus tidak akan aware dengan kondisi digital. Dunia sudah berada pada era digital sehingga kita harus berhadapan dengan teknologi dan menggunakannya bagi kemuliaan Tuhan, bukan malah memusuhi keberadaannya. Angka statistik untuk penggunaan internet dari anak-anak hingga dewasa sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi.

Tatanan normal yang ada di negara kita sendiri juga sudah dihancurkan oleh tsunami digital. Tsunami digital sendiri bukan istilah baru karena inilah kondisi yang sedang terjadi. Jika dahulu gereja menghindari penggunaan gawai yang berlebihan bagi tiap individu bahkan keluarga, sehingga gereja menghalangi penggunaan gawai di gereja, maka kekhawatiran tersebut sudah terjadi saat ini. Negara kita sendiri sejak bertahun-tahun yang lalu, bahkan sebelum pandemi terjadi, sudah memberi peringatan kepada masyarakat tentang tsunami digital ini.

Tahun 2019, Gubernur Khofifa berkata kepada warga Surabaya, "Ayo, tsunami digital sudah datang." Bahkan, Menkominfo juga sudah mengatakan pada tahun 2017 bahwa tsunami digital sudah memasuki berbagai sektor kehidupan. Namun, apakah peringatan itu membuat pemerintah Indonesia menghentikan atau membatasi kegiatan-kegiatan digital? Tidak, sebaliknya, pemerintah justru mengatakan bahwa negara kita harus mempercepat transformasi digital di Indonesia. Apa yang harus dilakukan? Apa yang harus dihindari? Nah, mari kita melakukan percepatan digital bersama-sama, sebab tsunami digital sudah datang dan sedang datang dan masih terjadi sampai saat ini.

Bagaimana gereja? Apakah gereja tenggelam atau bisa ikut berselancar di dalam ombak tsunami untuk memasuki era new normal? Tsunami tentunya membawa banyak dampak yang tidak bisa dihindari, bahkan memorakporandakan kondisi yang sudah stabil dan menciptakan kondisi-kondisi baru. Nah, salah satu dampak dari tsunami digital adalah mengubah kebutuhan dasar manusia.

Kita tentu sudah mengetahui tentang piramida kebutuhan manusia yang terdiri dari berbagai tingkat kebutuhan, mulai dari  kebutuhan dasar sampai kebutuhan tersier dsb. Tsunami digital menggantikan berbagai pola kebutuhan tersebut. Jika dahulu kebutuhan dasar kita adalah makan, akses udara dan air, maka sekarang kebutuhan mutlak bagi kebanyakan orang adalah wifi, charger, dan sambungan listrik. Itu sebabnya, saat ini hampir semua tempat makan, ruang publik, dan sarana transportasi publik sudah menyediakan wifi dan fasilitas sambungan listrik. Semua aktualisasi diri kita semua terkait dengan internet sehingga hal itu menyebabkan perubahan kebutuhan mendasar manusia saat ini.

Apakah gereja siap? Apakah gereja sudah siap memasuki dunia yang baru, masuk dalam budaya suku digital? Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa kita tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama. Dalam hal ini, beliau berbicara untuk konteks pendidikan, di mana pendidikan akan berhenti dalam masa pandemi jika menggunakan cara-cara lama. Demikian pula halnya dengan gereja. Kita tidak akan dapat berjalan jika masih menggunakan cara-cara yang lama.

Pendidikan Kristen di Indonesia pada era digital juga memerlukan cara-cara baru dengan menggunakan cara digital hybrid, atau perpaduan antara digital dan konvensional. Digital hybrid ini harus bersifat cepat, adaptif, kreatif, dan terus inovatif. Jika hybrid hanya menggunakan cara-cara yang lama, sementara dunia sudah berubah dengan cepat, maka gereja pasti akan tenggelam, musnah dalam era tsunami digital. Lalu, bagaimana cara agar kita dapat terus bertahan? Seperti Petrus, maka kita pun seharusnya juga "berjalan di atas air" bersama dengan Tuhan. Jangan kita menolak dan tidak percaya. Jangan kita takut sehingga tidak berbuat apa-apa. Kita akan tenggelam dalam era digital ini jika kita takut dan tidak melangkah dalam iman.

Karena itu, mari kita bersama bersenang-senang berselancar digital seperti halnya digital native yang seperti ikan dalam gelombang digital. Dalam tsunami digital, ikan dan segala makhluk laut yang berada di dalamnya memang tidak akan terpengaruh dengan hempasan gelombang. Mereka sudah terbiasa berada dan hidup dengannya. Yang lebih terpengaruh adalah mereka yang tidak biasa "hidup" di dalamnya, yaitu generasi yang belum terbiasa hidup dan menggunakan teknologi, termasuk gereja. Untuk itu, kita harus masuk ke dunia mereka, untuk belajar berenang, berjalan di atas air bersama mereka, dan yang paling penting berjalan di atas air bersama dengan Tuhan untuk melayani suku digital ini.

Selanjutnya, mari kita mengerti gerakan hati Allah untuk suku digital. Ketika kita berbicara tentang suku digital, maka kita sedang berbicara tentang hati Tuhan bagi era digital saat ini. Karena itu, mari kita bertobat dan membawa hati kita kepada Tuhan, merendahkan hati kepada-Nya, agar kita mengerti hati dan gerakan Tuhan pada era digital ini.

Era digital adalah era berkolaborasi dan bermitra. Tidak ada ruang bagi egoisme dalam era ini. Kita perlu bekerja bersama-sama untuk melakukan pelayanan dalam bidang ini. Kita harus terus belajar meningkatkan keterampilan dan kemampuan dengan digital skill dan mindset digital. Kita juga perlu berkomunitas, dan aktif berinisiatif untuk terus menerus belajar. Yang paling penting, kita harus semakin memperdalam keintiman kita dengan Tuhan melalui firman-Nya dan senantiasa melibatkan Roh Kudus. Jangan terlena dengan segala kemudahan yang ditawarkan kepada kita pada era digital ini, melainkan pergunakan semuanya agar kita bisa terlibat main dalam dengan firman Tuhan. Kita perlu terus melihat dan melakukan cara-cara baru dan makin bertumbuh sehingga kita bisa bersama-sama menjangkau suku digital. Siapkan kita?

Apa yang harus kita lakukan untuk menjangkau suku digital sebagai generasi kunci gereja?

Untuk mengetahui jawabannya, kita harus mengetahui lebih dahulu siapa yang dimaksud dengan generasi ini. Siapa suku digital ini? Apa yang mereka lakukan pada hari-hari ini? Dan, bagaimana mereka hidup sebagai suku digital yang baru, yang berdampingan dengan kita sampai saat ini?

Suku digital adalah kelompok tertentu dalam satu budaya yang memiliki ciri-ciri tertentu. Suku digital ini berkembang terkait dengan kemunculan internet dan komputer. Mereka disebut suku digital karena mereka adalah kelompok populasi yang lahir dalam era perkembangan teknologi dan informasi. Mereka sudah terbiasa dengan penggunaan teknologi, dan dengan demikian mudah beradaptasi dengan internet, teknologi, dan alat-alat yang menyertainya.

Marc Prensky -- seorang penulis, pendidik, dan pengamat teknologi -- mengatakan bahwa semenjak lahir, digital native ini sudah mengenal internet dan gawai. Bagi kita yang memiliki anak pada masa-masa ini, maka anak-anak itu sudah pasti masuk dalam kategori digital native.

Itu adalah pandangan umum bagi digital native. Namun, bagi YLSA, hal ini bukan hanya berbicara tentang suku digital native saja. Keberadaan mereka juga sangat terkait dengan misi, sebagai kelompok populasi dunia yang berada dalam satu lokasi, dalam satu budaya, dalam satu bahasa, dan lain-lain. Kita akan melihat di mana posisi mereka pada saat ini dalam tingkat generasi yang ada di dunia dari masa ke masa.

Ada sekitar 4 atau 5 generasi yang kita kenal selama ini. Yang pertama, generasi baby boomers. Generasi ini adalah mereka yang saat ini berusia sekitar 60 tahunan ke atas atau lahir sekitar tahun 1940 -- 1960-an. Lalu, ada generasi X, yang lahir antara tahun 1961 -- 1980an, sehingga umur mereka saat ini sekitar 40 tahunan ke atas. Kedua generasi ini belum mengenal dunia internet atau kecanggihan teknologi. Di atas generasi X, ada generasi Y, yang lahir antara tahun 1981 sampai 1994, dan saat ini berkisaran usia 25 tahunan ke atas. Generasi Y juga disebut sebagai generasi milenial, yaitu transisi analog antargenerasi X kepada generasi digital sebenarnya. Generasi Y sudah mulai mengenal teknologi dan cukup sukses dalam memanfaatkan teknologi. Setelah generasi Y, ada generasi Z yang lahir antara tahun 1995 -- 2010. Sekarang ini, mereka berusia antara 12-20 tahun.

Dari sana, kita kemudian melihat bahwa semakin ke sini, generasi itu semakin bergantung kepada teknologi, pada gawai, dan internet. Mereka aktif "hidup" dan beraktivitas dalam media sosial, dan tak jarang beberapa dari mereka sangat memprioritaskan follower, jumlah like, komentar, dsb.. Sekitar 44% dari generasi Z setiap jam akan mengecek media sosial mereka karena itulah dunia mereka pada saat ini.

Yang terakhir dan terbaru, adalah generasi Alpha, yang lahir tahun 2011 sampai saat ini. Semakin ke sini, semakin mereka lebih berdampingan dengan teknologi. Bahkan, mereka tidak malu lagi mengatakan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa alat digital yang mereka miliki. Data juga menyatakan bahwa ke depan, jumlah generasi Alpha akan semakin membengkak. Saat ini terdapat hampir 2,5 juta bayi yang lahir setiap minggu, dan diprediksi pada 2024, generasi Alpha akan semakin membengkak jumlahnya. Di sinilah, kita memiliki peran yang besar untuk mendidik mereka berdampingan dengan alat-alat dan kemajuan teknologi sehingga mereka tetap bisa bertanggung jawab dalam menggunakannya.

Dari sana, kita bisa melihat bahwa generasi Y sampai generasi Alpha bisa disebut sebagai suku digital, sebab mereka berada dalam dunia digital yang sangat berkembang dibanding generasi-generasi sebelumnya. Selanjutnya, apa yang menjadi pekerjaan rumah kita sekarang? Suku digital ini adalah ladang pelayanan kita. Mereka adalah tuaian yang sangat besar, dan mereka adalah pusat misi yang dekat dengan kita saat ini, yang harus kita garap.

Ya, suku digital adalah suku yang besar, yang hidup di sekitar kita dan di dalam gereja kita. Akan tetapi, kita justru sering mengabaikan mereka, dan tidak menjangkau mereka. Padahal, mereka hidup dalam dunia digital yang berkembang pesat, mulai dari belajar, bersosialisasi, berinteraksi, bermain, berkomunikasi, dsb. Mereka adalah makhluk digital. Akan menjadi bahaya jika kita tidak menolong mereka untuk hidup bijak dalam dunia digital. Mereka bisa kecanduan teknologi dan hal-hal yang dibawanya, seperti game, pornografi, belanja online, dan pengakuan, karena menghabiskan sebagian besar waktu mereka dengan teknologi. Tidak sedikit dari mereka juga mengalami gangguan mental seperti stres dan depresi, gangguan kesehatan mata dan tubuh karena terforsir pada gawai dan kurang bergerak, serta gangguan sosial dan perilaku karena tidak pandai bersosialisasi dengan sesamanya.

Ada data dari Bilangan Center yang sempat meng-interview 4000 anak terkait dengan hal-hal di atas. Hasilnya, dari 4000 anak, hanya 3% anak yang orang tuanya dianggap baik dalam membimbing secara spiritual dan memperkenalkan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Hanya ada 800 anak yang terbimbing. Lalu, sisanya ke mana?

Masih dari hasil survei sebuah gereja Baptis, diketahui bahwa pada masa awal-awal pandemi banyak anak sekolah minggu dan orang muda gereja yang tidak terlayani. Mengapa? Sebab, gereja sibuk berupaya melakukan ibadah online dengan menggunakan teknologi yang terfokus hanya pada ibadah umum dan pada target jemaat dewasa. Namun, gereja kurang mengurus pelayanan sekolah minggu dan remaja, sehingga mereka menjadi terbengkalai bahkan tidak terlayani.

Lalu, sepuluh tahun belakangan ini, kita juga bisa melihat angka anak muda di berbagai gereja Indonesia mengalami penurunan secara drastis. Jika hal ini terjadi sampai saat ini, berarti gereja punya masalah dengan regenerasi gereja ke depan.
Itu secara kuantitas, belum lagi secara kualitas. Ketika anak-anak muda ini beribadah, mungkin secara fisik mereka ada di dalam gereja, tetapi siapa yang bisa mengetahui ke mana pikiran dan hati mereka dengan banyaknya distraksi yang diakibatkan oleh gawai dan teknologi.

Lalu, apa yang membuat mereka hilang? Mereka hilang dari komunitas gereja karena mereka sudah memiliki dunia yang sangat berbeda dari dunia jemaat, yang kebanyakan masih berasal dari generasi baby boomers dan generasi X. Mereka sudah jauh lebih berkembang dan bertransformasi dalam era digital ini. Untuk itulah, kita perlu menyadari bahwa mesti ada yang berubah dari cara kita melayani. Jika tidak, gereja akan semakin kehilangan generasi mudanya. Kita harus memiliki cara yang efektif untuk menjangkau suku digital yang jumlahnya sangat besar. Bagaimana caranya?

Jangan bawa mereka keluar dari dunia mereka yang sudah digital. Itu cara yang tidak alkitabiah, sebab ketika Tuhan menjangkau manusia, Dia sendiri hadir sebagai manusia. Zaman tidak surut ke belakang, sehingga kita juga tidak bisa menarik suku digital dengan cara-cara lama yang kuno dan tidak mereka kenal. Sebagaimana Tuhan bersedia menjangkau manusia, karena kita tidak mampu menjangkau-Nya, maka kita juga perlu menjangkau suku digital ini dengan cara-cara yang mereka ketahui.

Ada 4 cara yang bisa kita gunakan dalam menjangkau suku digital. Kita akan membahas satu per satu caranya di bawah ini.

1. Missiological of Foundations, atau fondasi dasar dalam misiologi.
Dalam dunia penginjilan, missiological of foundation ini adalah penginjilan yang berdasarkan misiologi terhadap suku digital pada era digital saat ini, yang terdiri dari esensi penginjilan dalam 4 lintas, yaitu yaitu lintas budaya, lintas geografis, lintas bahasa, dan lintas sosial. Ini adalah landasan misi di dalam Tuhan.

Suku digital ini terkait erat dengan misi, karena memiliki kaitan yang erat dengan lintas sosial, budaya, lokasi, dan komunikasi Hal ini juga bergantung dalam Amanat Agung Tuhan Yesus yang dinyatakan dalam Matius ayat 28:19-20. Pada hari ini, dan sampai detik ini, Amanat Agung belum selesai dilakukan. Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita harus memuridkan semua bangsa menjadi murid Kristus. Untuk tugas ini, ada banyak sekali alat yang Tuhan pakai guna menjangkau orang secara lintas budaya, geografis, bahasa, dan sosial kepada Kristus jika kita lihat di dalam Alkitab. Salah satu contoh yang paling mudah untuk kita pahami adalah Paulus. Paulus adalah seorang Yahudi yang sangat fanatik dengan ajaran Taurat. Akan tetapi, ketika dia dipanggil oleh Tuhan untuk menjangkau orang-orang di luar bangsanya sendiri, dia bersedia dipakai sebagai alat Tuhan untuk menjangkau orang-orang di luar budayanya. Paulus bersedia masuk ke dalam budaya orang-orang yang dijangkaunya.

Dari sana, kita akan melihat terlebih dahulu beberapa pertanyaan dasar yang sering diajukan terhadap suku digital ini dan kaitannya dengan misi. Paling tidak, ada 4 pendekatan untuk menjawab ini dari sisi lintas geografis, lintas bahasa, lintas sosial, dan lintas budaya.

Mari kita lihat satu persatu. Pertama lintas geografi. Dalam konteks ini, kita berbicara tentang lokasi, penduduk, lingkungan dan seputarnya. Akan tetapi, dalam dunia digital, lintas geografi ini berbicara tentang lokasi suku digital yang tidak terbatas waktu, tempat, dan jarak, dengan adanya internet dan gawai pada era ini. Suku digital dapat menjangkau dunia tanpa batasan geografis serta mengelilingi dunia dalam hitungan detik karena mereka ada dalam dunia digital dengan alat yang mereka genggam.

a. Lintas bahasa.
Ini berbicara tentang komunikasi antara satu dengan yang lain. Dalam era ini, bahasa mengalami perubahan yang sangat signifikan. Suku digital tidak selalu membaca teks secara analog. Dengan kecanggihan teknologi yang tersedia, mereka dapat membaca dengan grafis, di mana mereka bisa menyimpulkan informasi dari grafis yang mereka lihat.

b. Lintas sosial.
Lintas sosial berbicara tentang pembentukan individu untuk menjadi makhluk sosial. Sebagai penduduk digital, mereka berelasi dan terkoneksi dengan yang lain melalui media sosial dan gawai yang mereka miliki. Mereka suka eksis dan mengekspos diri melalui media sosial, dan sangat membutuhkan follower, komentar, like, serta subscribers sebagai satu kebutuhan utama dalam konteks media sosial di dunia maya.

c. Lintas budaya.
Budaya ini sendiri berbicara tentang kultur, kebiasaan, dan cara hidup, atau media yang mereka pakai saat ini. Budaya mereka akan selalu berhubungan dengan gawai yang serba cepat dan bisa didapatkan secara instan. Ini merupakan salah satu ciri suku digital. Mereka tidak akan terpisahkan dari sana, sebab itulah dunia mereka. Kita tidak bisa memaksa mereka berubah dan mengikuti pola budaya kita yang lama, yang tidak mereka kenal dan kuasai, sehingga kitalah yang perlu masuk dalam dunia mereka, pada kebiasaan yang mereka pakai.

Kita sekarang tahu bahwa fokus kita bukan hanya untuk "pergi", melainkan juga mempersiapkan misi kita dengan berusaha mengetahui tentang lokasi, komunikasi, sosial, dan budaya yang mereka miliki. Kita perlu mengetahui dengan baik seluruh hal ini, sehingga kita benar-benar siap dan dapat terhubung dengan mereka ketika kita menjangkau mereka. Kita perlu memasuki dunia mereka agar Injil dapat mereka terima, pahami, dan lakukan.

2. Digital Word for Digital World, atau firman Allah digital untuk dunia yang digital.
Mengapa? Sebab kita berbicara dalam konteks digital. Ketika kita masuk dalam dunia suku digital, maka kita harus membawa satu bekal terpenting, yaitu firman Tuhan. Itu merupakan standar misi paling mutlak, sehingga firman Tuhan harus masuk dalam dunia mereka yang digital. Meski metode yang dipakai untuk bermisi berubah-ubah, tetapi firman Tuhan itu kekal selama-lamanya. Tidak ada yang membatasi firman Allah untuk bekerja bagi tiap generasi, termasuk bagi suku digital. Kita juga tahu bahwa media, format, dan metodenya selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Nah, dalam hal ini, teknologi telah berkembang dengan cepat sehingga memungkinkan firman Tuhan untuk bisa diakses oleh suku digital. Pertanyaannya kemudian, apakah firman Tuhan yang digital itu sudah ada dalam dunia mereka saat ini? Alkitab harus masuk dalam dunia digital karena itu adalah modal utama dalam bermisi. Karena itu, kita tidak boleh anti dalam membawa firman Allah yang digital kepada dunia yang digital. Kita perlu mengubah paradigma lama, untuk hanya mengakses firman Tuhan dalam cara-cara lama, agar suku digital pun dapat semakin mengenal dan mengasihi firman Tuhan.

3. Pemuridan.
Pemuridan ini dilakukan Yesus saat Dia berkarya dalam dunia. Dialah yang memulai pelayanan pemuridan ini, dan hingga saat ini pelayanan ini masih harus dijalankan oleh orang-orang percaya. Sayangnya, banyak orang percaya yang tidak melihat tugas ini sebagai panggilan yang mulia dan perlu mendapat prioritas. Proses pemuridan dengan firman Tuhan adalah demikian: firman Tuhan akan tertanam dalam pikiran kita setelah kita mendengarkan firman Tuhan, sebab kita tahu bahwa iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran akan firman Tuhan. Setelah itu, firman Tuhan akan membersihkan hati kita untuk hidup sesuai dengan firman-Nya. Setelah hati kita bersih, kita akan semakin diubahkan dari hari ke hari. Tangan kita pun akan bekerja bagi Tuhan. Tidak cukup firman itu hanya sampai di kepala dan hati saja, sebab jika tidak ada aplikasi nyata, itu berarti firman Tuhan belum sepenuhnya bekerja dalam hidup kita. Jika kepala sudah mendengar dan hati kita sudah dibersihkan, tangan kita pun akan siap bekerja. Itulah aplikasi dari firman Tuhan yang nyata. Itulah konsep pemuridan berdasarkan firman Tuhan.

Jadi, ada tiga hal dalam proses pemuridan: head, heart, hands. Namun, dalam era digital ini, ketiga hal tsb sudah usang dan kurang. Masih ada satu hal lagi yang dapat dilakukan dalam pemuridan, yaitu dengan menggunakan Hp. Ya, kita perlu juga menggunakan Hp kita untuk membagikan firman Tuhan kepada suku digital. Mengapa? Sebab, cara suku digital dalam belajar, berteman, dan berinteraksi semua dilakukan melalui Hp. Akan tetapi, apakah yang ada di Hp mereka saat ini? Apakah Hp tersebut sudah diisi dengan firman Tuhan, yang akan membuat mereka mencintai firman-Nya dan menjadi pelaku firman? Dengan Hp yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup suku digital, maka Hp itu perlu diisi dengan terang firman yang menerangi kehidupan mereka. Dengan itu, identitas mereka pun diubahkan menjadi baru. Mereka akan menjadi milik Allah dan diterangi sepenuhnya oleh firman Allah. Mereka akan bertobat dan memiliki hidup yang baru.

4. CDQ
Kita bisa mendapatkan materi yang lengkap tentang CDQ dalam slideshare SABDA atau dalam situs SABDA. Ada banyak presentasi dari YLSA tentang CDQ ini. Namun, apa sih CDQ itu? Christian Digital Quotion adalah orang Kristen yang cerdas pada era digital. Sebagai orang yang ada dalam dunia digital, suku digital harus menjadi pengguna teknologi yang cerdas, yang menjadi terang, serta dewasa di dalam Kristus. Meski lebih paham, lebih cerdas, dan lebih pintar dalam menggunakan gawainya, tetapi apakah mereka memiliki tanggung jawab dan berhikmat dalam pemakaiannya?

Ada banyak di antara suku digital yang buta Alkitab. Mereka memandang dunia digital saat ini dengan cara pandang dunia, bukan dari kaca mata Alkitab. Mengapa? Sebab, mereka tidak lagi secara rutin membaca Alkitab. Mereka tidak melakukan disiplin rohani untuk membaca firman Tuhan. Atau, mungkin mereka membaca Alkitab, tetapi hanya sekadar dibaca. Ini bisa dikatakan sebagai buta terhadap Alkitab. Mereka melihat Alkitab sebagai literatur, sejarah, cerita belaka. Padahal, kita tahu Alkitab lebih dari semuanya itu. Alkitab adalah otoritas yang berkuasa untuk menuntun hidup kita. Itu sebabnya, dalam kehidupan ini, dalam dunia nyata maupun dalam dunia digital, kita harus menolong suku digital untuk cerdas secara digital. Sebelum mereka menjadi cerdas secara digital, kita juga mesti diperlengkapi agar menjadi cerdas terlebih dahulu. Selanjutnya, barulah kita bisa membawa suku digital yang cerdas pada era digital ini agar mereka menjadi dewasa dalam Kristus dan semakin serupa dengan Dia.

Sebagai kesimpulan, ada 4 bagian yang harus kita lakukan sejak hari ini untuk menjangkau suku digital, yaitu dengan:
1. Fondasi misiologis yang harus kita tanamkan dengan 4 lintas: geografis, budaya, bahasa, dan sosial.
2. Firman Allah yang digital bagi dunia yang digital.
3. Pemuridan dengan menggunakan 4 H: head, heart, hands, dan Hp.
4. CDQ atau kecerdasan digital untuk kecerdasan belajar firman Tuhan.
Keempatnya merupakan cara yang paling penting bagi kita untuk dapat berselancar dalam dunia digital, dunia penduduk suku digital, dengan berbekal firman Tuhan yang membawa terang Kristus, sehingga mereka boleh dimenangkan bagi Kristus.

Untuk bisa sampai ke sana, kita pertama-tema juga perlu bertobat terlebih dahulu. Sebab, bagaimana kita bisa membawa suku digital kepada Kristus jika kita sendiri tidak tunduk dalam otoritas Tuhan? Setelah kita bertobat dan mau taat kepada-Nya, barulah kita bisa melakukan kehendak Allah yang baik, yang berkenan kepada Allah yang sempurna. Lalu, kita juga perlu memiliki hati seperti Tuhan Yesus. Ini merupakan kualifikasi yang sangat dibutuhkan oleh orang percaya. Mari kita minta hati Yesus kepada Tuhan, sebagaimana Dia mengasihi semua manusia dan Yang memanggil kita untuk melayani bagi suku digital.

Yang terakhir, Indonesia sudah digital. Semua yang ada di negara kita sudah digital, dan semuanya itu demi kemuliaan nama Tuhan, Jadi, mari kita menangkan suku digital bagi Allah melalui dunia mereka saat ini. Mari kita belajar untuk menggunakan dan mengintegrasikan teknologi bagi kerajaan Tuhan. Tuhan mengundang kita saat ini untuk pergi kepada suku digital, sehingga kita perlu berdoa bagi panggilan itu. Dari sana, kiranya kita memiliki hati yang terbuka untuk melayani suku digital, sebagaimana Tuhan Yesus melayani kita.

Teknologi berasal dari Tuhan, dan karena itu harus dipakai untuk kemuliaan nama Tuhan. Amin.