Oleh: Nikos
Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel "PA dan gereja". Artikel ini berfokus pada media sosial untuk studi Alkitab bagi digital native. Kita akan mendalami lebih lagi terkait media sosial dan bagaimana fungsinya untuk membantu digital native agar kembali bergairah untuk mendalami firman Tuhan.
Gambaran dan Karakteristik Digital Native
Pertama, kita harus mengerti dengan siapa kita berurusan. Sekarang, kita berurusan dengan digital native sehingga kita perlu mengetahui apa itu digital native. Digital native menurut Marc Prensky, pencetus dari digital native, adalah para penutur asli bahasa digital dari komputer, video game, dan internet. Mereka terbiasa menerima informasi dengan sangat cepat atau instan. Mereka menyukai proses yang paralel dan multitasking. Mereka lebih memilih atau menyukai gambar daripada teks, dalam hal mengakses informasi, dan bukan sebaliknya. Inilah gambaran dan karakteristik dari digital native.
Secara umum, kondisi digital native:
1. Mengenal dunia internet sejak dini.
Mereka mengenal dunia internet sejak dini. Seperti yang diungkapkan oleh Marc Prensky bahwa digital native itu sejak lahir sudah dikelilingi dengan kemajuan teknologi, dengan internet, gadget, komputer, dan sebagainya. Dengan begitu, mereka mengenal hal-hal itu sejak usia dini. Berbeda dengan generasi di atas mereka, generasi orangtua mereka, yang mengenal dunia internet atau mengenal dunia digital setelah mereka beranjak dewasa. Ini perbedaannya.
2. Peduli dengan identitas dan keberadaan mereka.
Mereka sangat peduli dengan identitas dan eksistensi diri di tengah-tengah masyarakat dunia. Mereka ingin menunjukkan atau mengekspresikan diri dan identitas mereka dalam masyarakat. Salah satunya melalui platform-platform media sosial sehingga mereka banyak membuat akun media sosial. Kemudian, mereka memposting karya mereka, baik berupa gambar, aransemen musik, dsb..
3. Memiliki keterbukaan pikiran.
Digital native lebih terbuka untuk wawasan baru, lebih terbuka untuk sudut pandang yang berbeda dari apa yang mereka percaya, melalui ilmu-ilmu baru yang mereka dapat dari hasil belajar atau sharing mereka dengan teman-teman atau orang lain. Mereka lebih cenderung terbuka dan merespons sesuatu dengan jujur, apa adanya. Mereka adalah orang-orang yang cukup berterus terang.
4. Suka kebebasan dan tidak suka diatur.
Digital native kebanyakan suka kebebasan dan tidak terlalu suka diatur-atur. Ketika kebebasan itu dibenturkan dengan kondisi yang lain, misalnya dalam dunia kerja, yang memiliki aturan-aturan, digital native akan menjadi mengalami "struggle" dan harus berusaha keras menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang ada. Kebanyakan dari mereka akhirnya memutuskan untuk resign dan pindah pekerjaan. Pada akhirnya, mereka akan berpindah-pindah kantor, berpindah-pindah tempat kerja, karena kebebasan mereka terancam dengan adanya aturan-aturan di tempat kerja.
5. Kemampuan belajar lebih cepat.
Kemampuan belajar digital native lebih cepat, yang tentunya disebabkan oleh kemajuan teknologi dan akses informasi yang mendukung generasi digital native untuk bisa belajar. Kemampuan belajar menjadi lebih cepat dan mereka punya akses informasi lebih banyak ke materi apa pun. Dengan satu jari, lewat gadget, HP, laptop, mereka bisa mengakses informasi apa pun di dunia internet. Itu sebabnya, proses belajar generasi ini menjadi lebih cepat dan lebih variatif.
Itulah kondisi digital native secara umum. Sekarang, bagaimana dengan kondisi digital native di gereja? Namun, terlebih dahulu ada disclaimer ya. Ini tidak mewakili seluruh digital native di gereja-gereja di Indonesia atau di mana pun mereka berada. Ada empat hal yang menunjukkan bagaimana kondisi digital native di gereja.
1. Merasa kurang dihargai atau potensinya tidak terpakai di gereja.
Digital native merasa kurang dihargai dan potensinya tidak terpakai di gereja. Katakanlah, mereka punya potensi A, B, C, tetapi gereja tidak bisa mewadahi atau mengakomodasi potensi mereka. Karena itu, mereka merasa kalau mereka kurang berperan atau hanya jadi pengunjung gereja.
2. Ada anggapan bahwa gereja sering menyalahkan budaya masa kini.
Digital native menganggap gereja sering menyalahkan budaya masa kini. Sebab, beberapa gereja, atau malah banyak gereja, masih belum bisa mengikuti perkembangan teknologi dan budaya yang terjadi pada masa kini. Inilah yang kadang membuat ketidakcocokan antara pemahaman digital native tentang budaya masa kini dan gereja tentang perkembangan masa kini. Akhirnya, banyak digital native yang menganggap bahwa gereja itu kuno, gereja itu ketinggalan zaman, dan sebagainya. Lalu, hal-hal itu mengakibatkan tingkat kehadiran digital native di gereja cenderung mengalami penurunan.
Ada sebuah pernyataan dari Dirjen Bimas Kristen, Bapak Thomas Pentury, yang menyebutkan bahwa 50% generasi milenial penganut Kristen di Indonesia meninggalkan gereja. Lalu, menurut survei Bilangan Research Center tiga tahun yang lalu, yaitu pada tahun 2017, sebanyak 36,5% anak muda Kristen di Indonesia jarang membaca Alkitab. Bahkan, 4,6% nya sama sekali tidak pernah membaca Alkitab.
Apakah pernyataan dua penelitian dan survei ini benar-benar terjadi? Kita bisa cek di gereja, komunitas pemuda, serta komunitas remaja kita masing-masing. Apakah survei ini benar atau tidak benar terjadi di gereja kita masing-masing? Akan tetapi, berkaca dari hasil survei dan penelitian tersebut, apa yang harus dilakukan untuk membawa generasi digital native untuk kembali bersemangat dan memiliki gairah dalam mempelajari Alkitab? Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan dan sebenarnya sudah jamak untuk dimanfaatkan adalah menggunakan platform media sosial sebagai salah satu alat atau pendekatan untuk melakukan studi Alkitab. Pertanyaannya, mengapa memakai jalur media sosial? Lalu, bagaimana media sosial dapat menarik generasi digital native untuk kembali mempelajari firman Tuhan.
Mengapa memakai jalur media sosial? Karena media sosial dapat mewadahi kebutuhan sosial digital native. Beberapa kebutuhan di antaranya:
1. Kebutuhan berinteraksi dengan sesama.
Tentunya ini tanpa batasan tempat. Misalnya, kita di Indonesia bisa berinteraksi dengan orang di luar negeri, kita bisa berinteraksi di tempat yang lain, kita bisa berinteraksi dari kota lain tanpa kita harus bertemu atau bertatap muka di tempat yang sama.
2. Kebutuhan untuk menjadi bagian dalam komunitas yang lebih besar.
Misalnya kita memiliki teman, dan dia pandai menggambar. Biasanya, dia menggunakan pensil atau bolpoin untuk menggambar di kertas. Nah, dalam media sosial, dia dapat bergabung dengan komunitas menggambar yang lebih besar sehingga ketika ada sharing atau diskusi di komunitas tersebut, dia menjadi lebih mengerti bahwa ternyata ada hal-hal yang bisa dikembangkan lagi dalam hal keterampilan menggambar. Katakanlah dari sana kemudian dia bisa menjadi animator, belajar digital drawing, atau bisa menjadi komikus. Itu terjadi karena dia menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar, dan itu dimungkinkan karena media sosial mewadahi kebutuhan tersebut.
3. Kebutuhan untuk eksistensi diri.
Digital native ingin menunjukkan ekspresi diri melalui karya-karya mereka. Mereka biasanya punya karya atau kreasi yang ingin ditampilkan kepada publik supaya mereka bisa diakui. Misalnya, ketika seorang digital native yang pandai menggambar berkarya, dengan menggambar tokoh, pemandangan, atau karakter tertentu, mereka akan memposting karya tersebut di media sosial mereka, bisa di Instagram, Facebook, Twitter, dan sebagainya. Dari sana, mereka akan mendapat reaksi atau respons berupa feedback, kritikan, atau masukan dari orang lain yang mengikuti media sosialnya. Itu yang penting. Akan tetapi, dari situ juga mereka bisa mengekspresikan diri, bisa menunjukkan bahwa dirinya eksis dan ada di dunia ini melalui media sosial.
4. Kebutuhan untuk bertukar informasi.
Bertukar informasi dari diri sendiri kepada orang lain, atau bertukar informasi dalam komunitas yang kita ikuti. Aktivitas ini akan menambah wawasan, ilmu, cara-cara untuk mengembangkan keterampilan, dan mengubah serta menambah pola pikir kita terhadap sesuatu. Media sosial juga memberi akses kepada teman-teman dan juga konten yang mereka sukai, seperti konten musik, konten rohani, berita, dan sebagainya. Berita menjadi salah satu kebutuhan bagi digital native karena mereka juga ingin mengetahui situasi atau apa yang sedang terjadi dalam tingkat daerah, nasional, maupun dunia. Digital native itu sangat peduli dan tetap peduli dengan berita-berita tersebut.
Berikutnya mengenai bagaimana media sosial dapat menarik generasi digital native untuk kembali mempelajari firman Tuhan. Bagaimana media sosial dapat mengakomodasi kebutuhan ini?
1. Media sosial sebagai wadah.
Media sosial berfungsi sebagai wadah untuk mendistribusikan konten-konten studi Alkitab. Selain itu, media sosial juga menyediakan ruang atau kelas-kelas diskusi, ruang konsultasi, serta menampung pertanyaan-pertanyaan seputar Alkitab atau iman Kristen dalam konteks studi Alkitab. Jadi, akun media sosial untuk studi Alkitab atau untuk studi rohani Kristen memiliki peran sebagai wadah. Namun, jika hanya berperan sebagai wadah, menurut saya masih kurang. Sebab, wadah itu statik yang hanya akan berhenti di situ, yaitu sebagai penyedia saja jika tidak ada penggeraknya. Jadi, diperlukan penggerak atau orang yang benar-benar hidup di balik layar untuk menggerakkan akun media sosial.
2. Media sosial Admin
Admin diperlukan untuk menjalankan "kehidupan" di media sosial, misalnya untuk menentukan konsep, memposting bahan, berinteraksi dan berelasi dengan pengikut (followers), atau subcribers, menjawab pertanyaan dan menanggapi komentar. Ini menunjukkan bahwa jika ada yang menggerakkan, media sosial akan menjadi hidup. Jika hidup, berarti dia bisa berinteraksi dan mewadahi pertanyaan atau konsultasi dari para followers atau subscribers. Mereka bisa membalas sehingga terjadi pembicaraan. Melalui pembicaraan serta interaksi tersebut, terjalinlah relasi yang akhirnya akan membentuk satu komunitas.
Berikut ini adalah beberapa contoh akun media sosial untuk studi Alkitab. Ada studi Biblika, SABDA PESTA, renungan Alkitab. Ini hanya beberapa contoh saja. Anda bisa mencari banyak sekali media sosial di luar sana yang berfokus dan benar-benar didedikasikan untuk membahas tentang Alkitab atau mendalami Alkitab.
Jika kita ingin memulai hal tersebut, berarti kita memerlukan bahan untuk studi Alkitab. Ada beberapa contoh penyedia bahan, yaitu The Bible Project, Alkitab SABDA, Bible Sudy Tool, dan Komik.app. Untuk The Bible Project, ada Youtube-nya juga. Itu adalah konten animasi yang membahas tentang Alkitab, konsep-konsep di Alkitab, dan konsep-konsep teologi. Lalu, ada Alkitab SABDA yang memiliki kelengkapan bahan guna mendukung kita dalam belajar Alkitab sehingga kita bisa mencari bahan dari sana. Ada juga Bible Study Tools dari Kingstone Indonesia atau Komik.app. Komik app ini berguna untuk belajar Alkitab melalui komik Kingstone. Mereka menyediakan bahan-bahan komik yang biblikal, bukan hanya sekadar komik biasa. Dari beberapa contoh penyedia bahan ini, kita bisa mengemas dan membuat konsep dari bahan-bahan yang ada untuk kemudian dikemas dan diposting di media sosial yang kita buat nantinya.
Berikut adalah beberapa contoh pengemasan konten studi Alkitab. Ada namanya FYI, misalnya For Your Information atau Tahukah Kamu. Melalui topik ini, kita bisa membahas tentang Ayub misalnya, atau tentang Omri, untuk menjelaskan bahwa dia adalah seorang raja Israel yang mendirikan kota bernama Samaria. Dari hal-hal sederhana seperti itu, kita akan mendalami materinya melalui kolom komentar. Di sana, kita mendalami tentang si tokoh, apa perannya di Alkitab, dan apa yang bisa kita pelajari darinya. Atau, Anda bisa menggunakan metode SABDA Komik challenge. Itu merupakan tantangan untuk menyelesaikan 22 buku komik yang dasarnya adalah Perjanjian Baru, dari Matius sampai Wahyu. Kita juga bisa melakukan studi Alkitab dengan cara seperti itu. Atau, jika tidak ingin repot, cukup follow akunnya saja. Kita bisa ikuti apa yang SABDA Komik jelaskan atau lakukan saat ini.
Dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, kita bisa melakukan studi Alkitab dengan alat atau platform apa pun, termasuk media sosial. Sebab, sudah tidak ada batasan atau pembatasan lagi bagi kita untuk melakukan studi Alkitab. Media sosial menjadi pendekatan atau salah satu cara guna menarik teman-teman digital native agar mereka bisa melakukan studi Alkitab. Mengapa? Sebab, digital native biasanya hidup di medsos. Mereka tinggal dan hidup di sana untuk menunjukkan eksistensi diri mereka. Itu sebabnya, kita perlu melakukan studi Alkitab di tempat mereka hidup atau tinggal, yaitu di media sosial.
Mari kita belajar dari Rasul Paulus yang menggunakan teknologi terkini pada masa itu, yaitu pena dan perkamen untuk menuliskan firman Tuhan. Kemudian, tulisan Rasul Paulus dibagikan kepada jemaat-jemaat di berbagai tempat untuk disalin kembali sehingga semakin tersebar ke banyak daerah dan tempat. Lalu, ada pula tokoh Billy Graham yang terkenal karena KKR penginjilannya melalui siaran TV. Saat itu, TV memang menjadi teknologi yang paling canggih sehingga Billy Graham menggunakan teknologi TV untuk melakukan KKR.
Sekarang, media sosial menjadi teknologi kita yang paling terkini. Jika kita biasa menggunakan WhatsApp, Instagram, Twitter, atau media sosial lainnya untuk bersosialisasi, itu baik. Akan tetapi, mengapa kita tidak menambahkan fungsinya sehingga menjadi lebih berguna dan memberi nilai tambah kepada media sosial? Sebab, kita adalah orang percaya, dan kita benar-benar ingin mendalami apa isi firman Tuhan. Untuk itu, kita harus memanfaatkan media sosial untuk mempelajari firman Tuhan lebih dalam lagi.
Media sosial hanya alat biasa. Jadi, jika media sosial itu hanya alat biasa, kita dapat memakainya untuk memuliakan nama Tuhan, termasuk dengan melakukan studi Alkitab.