Kita akan mencoba menelaah atau menekuni lebih jauh apa sebenarnya panggilan kita.

Untuk itu, saya mengajak Anda untuk melihat kaitan antara tiga hal.

Yang pertama adalah Kristus. Yang kedua adalah negara. Dan, yang ketiga adalah COVID.

Ini rasanya mengherankan. Apakah ada kaitan antara ketiga C ini: Christ, Country, dan COVID?

Kita akan mencoba melihat hubungan dari ketiganya, dan bagaimana Anda dan saya bisa berperan.

Untuk itu, garis besarnya adalah double 3C. Ini untuk memudahkan saja. Kalau misalnya nanti Anda selesai membaca, maka bisa memahami garis besarnya seperti apa double 3C itu.

Yang pertama kita akan melihat sebuah dasar, sebuah wawasan tentang panggilan untuk Kristus dan negara (The calling for Christ and Country). Kemudian, nanti sesuatu yang sifatnya besar dan abstrak. Itu kita coba daratkan wujudnya seperti apa. Pendaratannya dalam bentuk kita sebut belas kasihan atau compassion, dan juga komitmen di dalam COVID, situasi yang sulit pada masa sekarang ini. Jadi, ini adalah garis besar yang akan disampaikan.

Pertama adalah landasan berpikirnya. Kedua adalah kita mencoba mengimplementasikannya dalam kehidupan kita.

Mari kita masuk ke bagian pertama. Kalau kita melihat dua lingkaran ini, maka kita melihat bahwa Tuhan tidak dengan kebetulan menempatkan Anda dan saya terlahir sebagai warga negara Indonesia. Namun, tidaklah kebetulan juga bahwa Anda dan saya mengenal Kristus. Yang satu menyebabkan kita menjadi WNI. Yang satu lagi menyebabkan kita mengenal Kristus. Yang mana dahulu kita hitam, artinya kita berada dalam kerajaan Iblis. Namun, kemudian karena merah yang melambangkan darah Kristus, kita menjadi putih, kita dikuduskan. Nah, karena status inilah yang menyebabkan kita menjadi warga dari kerajaan surga.

Kalau tadi pagi Bapak, Ibu, saudara-saudara, minum teh dicampur gula. Kemudian teh dan gulanya diaduk ke dalamnya. Bisakah Anda memisahkan gula dan teh?

Tentu tidak bisa. Nah, ilustrasi ini juga menggambarkan status Anda dan saya dalam dwi kewarganegaraan itu. Jadi, kita tidak memisahkan kedua status ini. Apakah Anda senang atau tidak? Apakah Anda terpanggil atau tidak? Tetap, kedua status ini tidak dapat dipisahkan.

Dalam kaitannya itu, kadang-kadang kita sebagai orang Kristen suka kritis. Kita katakan, "Wah, korupsi merajalela, intoleransi ada di mana-mana, kekerasan tidak ada hentinya, ketidakadilan sosial ada di mana-mana, hoaks melanda media sosial dan banyak orang." Kita mungkin berpikir, "Aduh, mengapa sih negara ini brengsek sekali."

Untuk itu, kita harus ingat akan panggilan kita. Matius 5:13 mengingatkan bahwa kamu adalah garam dunia. Tidak dikatakan mudah-mudahan kamu adalah garam dunia, tetapi dikatakan kamu adalah garam dunia. Kalau kita lihat garam ini, seharusnya dampak dari garam itu membawa masyarakat atau lingkungan sekitarnya tidak busuk. Artinya, berguna, membawa pengaruh yang baik. Itulah semestinya fungsi garam.

Saya mempunyai satu buku yang judulnya "The Living Church" karya John Stott. Halaman 103 dari buku itu memberikan sebuah ilustrasi yang menarik. Beliau mengatakan kira-kira begini: "Jika daging membusuk, jangan salahkan dagingnya ... ke mana garamnya?" Pada waktu saya membaca bagian ini, saya tergelitik. Kadang-kadang kita itu mengutuki kegelapan, tetapi kita tidak membawa terang. Ini sebuah tantangan bagi kita semua. Ini seharusnya menjadi visi sosial kemasyarakatan bagi kita sebagai orang percaya.

Kemudian, saya berpikir, "Mengapa garam tidak membawa dampak?"

Barangkali, ada tiga kemungkinan garam itu tidak membawa dampak.

Kemungkinan pertama. Kalau misalnya lingkaran yang di dalam ini adalah seharusnya garam dan sekitarnya itu adalah masyarakatnya atau dagingnya. Mungkin pada dasarnya itu bukanlah garam. Jadi, karena bukan garam, maka akan membawa kebusukan pada sekitarnya. Oleh sebab itu, kemungkinan pertama itu dasarnya memang bukan garam. Dalam perumpamaan Tuhan Yesus, ini adalah pasir. Kalau pasir, tentu saja sekitarnya masih membusuk.

Apa maksud bukan garam? Kalau dalam konsep pemikiran kita sebagai orang Kristen, ada tiga warna yang sangat penting yang harus kita ingat. Yang pertama adalah hitam. Yang kedua adalah merah. Yang ketiga adalah putih. Dan, kita ingat bahwa hitam menggambarkan situasi, latar belakang kita yaitu dosa. Merah menggambarkan darah, salib Kristus. Putih menggambarkan bagaimana orang yang telah dikuduskan atau disucikan. Jadi, seharusnya, bila seorang itu menjadi putih, itu adalah hanya karena merah. Hitam bisa menjadi putih hanya karena warna merah. Oleh sebab itu, bila kita berada di daerah hitam, maka statusnya kita bukan murid Kristus. Jadi, wajar kalau kita tidak mencegah pembusukan. (bagian ini lebih baik diberi gambar ilustrasi dari PPTnya, supaya lebih jelas.)*************

Lalu, kemungkinan yang kedua. Kalau lingkaran yang di dalam adalah garam, dan lingkaran di luar adalah masyarakat, bisa jadi yang di dalamnya itu berlagak garam. Berlagak garam artinya mungkin dia mengaku sebagai orang percaya, KTP menunjukkan begitu, tetapi kenyataannya dia tidak hidup sebagai garam. Bahkan, dia malah digarami oleh dunia.

Nah, jadi bukannya sang garam itu membawa pengaruh keluar, dia malah dipengaruhi sekitarnya. Gengsi dan keangkuhan hidup. Pokoknya duit, materialisme. Kemudian keinginan daging, kompromistis, sinkretisme, keinginan mata, maunya yang nikmat-nikmat saja, hedonisme. Ini adalah beberapa hal yang menunjukkan bagaimana kita itu begitu dirasuk dan dirusak oleh sekitar kita, sehingga kita tidak menjadi garam dunia lagi.

Kemungkinan yang ketiga adalah yang di tengah ini adalah benar-benar garam. Yang disebut dengan orang percaya yang sungguh-sungguh, tetapi pertanyaannya adalah: mengapa masyarakat di sekitar tetap busuk? Garamnya ada, benar-benar garam, tidak diragukan lagi, imannya benar, tetapi mengapa tetap membusuk?

Jangan-jangan, kemungkinan yang ketiga ini. Apa yang Anda lihat di sini? Kita melihat bahwa garam ini masih ada di dalam plastik. Jadi, walau di sekitarnya itu daging, didekatkan dengan garam ini, maka daging akan tetap membusuk. Nah, plastiknya apa? Mungkin salah satunya berupa pandangan: "Ngapain ikut-ikutan politik? Politik itu kotor. Kalau nanti kita terjun ke sana, kita akan ikut kotor juga." Jadi, dengan demikian, itu akan menghalangi.

Kemudian yang kedua adalah takut tercemar. "Aduh kalau kita ikut-ikutan ke sana, nanti kita malah akan tercemar."  Atau, cuek? Peduli amat. Atau, kita kemudian takut, "Wah nanti kita kenapa-kenapa." Atau kita terlalu sibuk melayani sehingga malah kita lupa fungsi kita sebagai garam. Bahkan, kesibukan di dalam gereja itu bisa menyedot banyak perhatian kita sehingga kita tidak punya waktu lagi untuk berkiprah keluar. Atau sindrom minoritas? Karena merasa minoritas, janganlah kita macam-macam nanti malah cari perkara. Atau, sibuk kerja? Banyak hal yang membungkus sang garam sehingga sang garam tidak berani keluar.

Oleh sebab itu, tantangan bagi kita semua adalah untuk keluar dari plastik. Beranilah menyobek plastik itu dan berlakulah sebagai garam.

Oleh sebab itu, beranikah kita keluar dari plastik itu dan mengatasi tantangan, setiap ketakutan, dan berkiprah secara luas di dalam tempat di mana Tuhan menempatkan kita?

Bagian kedua 3C berikutnya berkaitan dengan The Compassion dan The Commitment.
 
Sekarang, kita tahu kalau kita percaya bahwa seharusnya kita berani menyobek plastik garam itu, maka salah satu wujud yang sangat penting yang harus terungkap adalah dalam bentuk belas kasihan. Belas kasihan ini harus disertai dengan tekad untuk melakukannya. Artinya begini: belas kasihan itu tidak cuma untuk sehari, tidak cuma untuk satu minggu, tetapi disertai tekad untuk dilakukan dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun. Belas kasihan itu menjadi sebuah kebiasaan untuk berbuat baik. Kemudian, memiliki dasar dari hati yang baik. Kalau hatinya baik, maka dia akan meluap pada tindakan baik. Jadi, bukan berpura-pura baik, bukan untuk pencitraan. Bukan untuk seperti orang mau pilkada, satu bulan sebelumnya melakukan tindakan baik demi supaya terpilih. Bukan seperti itu. Jadi, kalau kita memang asin, ya memang berlakulah sebagai garam yang asin, tanpa berpura-pura asin.

Untuk itu, agar bisa menerapkan belas kasihan itu. Mari kita mencoba kaitkan iman kita dalam kaitannya dengan Pancasila. Mengapa ini penting? Karena pada zaman Romawi dulu, ada ideologi negara atau ideologi kerajaan yang tidak sejalan dengan iman Kristen. Sebagai contoh, ideologi kerajaan Roma mengatakan bahwa kaisar adalah tuhan (Caesar is lord). Orang-orang Kristen tidak mau menerima itu karena mereka percaya bahwa Kristus adalah Tuhan. Ini adalah sebuah contoh bagaimana ideologi bertentangan dengan iman Kristen. Pertanyaan kita,  Bagaimana posisi Pancasila dalam kaitannya dengan iman Kristen? Apakah ini sejalan?

Dalam Matius 22:37-39,  ada hukum yann terutama. Yang pertama adalah kasihilah Tuhan Allahmu. Bersifat eksklusif, tunggal, tidak kompromi. Akan tetapi, sebaliknya, kasihilah sesamamu manusia sifatnya inklusif dan merangkul semua. Bahkan, musuh pun harus dikasihi, apalagi teman sebangsa, apalagi teman sesama warga negara.

Bagaimana kalau begitu kita menempatkan Pancasila dalam kerangka hukum utama tadi? Maka kita harus melihatnya begini: Kasihilah Tuhan Allahmu tentu saja kalau kita melihat secara vertikal, maka kasihilah sesamamu secara horisontal. Kita harus menempatkan Pancasila sebagai hukum kemanusiaan dan melihat Pancasila sebagai anugerah yang besar untuk kita bisa mengasihi sesama. Jadi, sebenarnya Tuhan memberikan sebuah alat, sebuah sarana, yang dinamakan Pancasila untuk kita mengasihi sesama. Jadi, orang Kristen harus melihat Pancasila dalam kerangka untuk mengasihi sesama, dan bukan semata-mata untuk mengarahkan kita dalam kehidupan yang horisontal.

Nah, sekarang ada permasalahannya. Kenyataannya, dalam kehidupan bermasyarakat ada cangkang-cangkang. Cangkang-cangkang ini bisa namanya sekolah berbasis agama, klub sepak bola, penganut agama, penganut kepercayaan, partai politik, kelompok suku, bermacam-macam cangkang yang ada. Dan, sering kali cangkang-cangkang itu begitu keras sehingga orang yang berada di dalamnya tidak bisa bergaul lagi dengan orang di luar cangkang. Artinya, ini kelompok kami (di dalam cangkang) dan kelompok yang lebih luas dinamakan kita. Kita sering kali terjebak dalam kelompok kami. MiSALNYA, "Kami orang-orang GKI". "Kami orang-orang HKBP." "Kami orang-orang GKP." Akibatnya adalah kita seperti katak dalam tempurung, kuper (kurang pergaulan), fanatik, egois cuma memperhatikan kelompok kita sendiri. Ini sebenarnya tantangan dalam menerapkan belas kasihan.

Jadi, bagaimana sekarang dengan belas kasih dan komitmen tadi bisa diwujudkan dalam konteks kekristenan? Tentu saja pertama-tama, pengajaran di gereja harus ada yang namanya teologia damai. Harus ada orang-orang berpikir mengembangkan teologia damai dan mengajarkan kepada umat. Janganlah teologinya itu teologi yang memang tidak mendorong untuk kedamaian. Dengan cara itu, kita bisa memperlembut cangkang tadi. Kita ,memang harus berada di dalam kelompok kami. Kita ini memang orang percaya di dalam gereja. Namun, kita harus punya belas kasihan kepada hal-hal yang lebih luas, dan bahkan kita itu bisa bersahabat erat dengan siapa saja walaupun orang-orang itu berbeda dengan kita. Melalui persahabatan yang erat itu kita bisa bermain bersama, mendayung bersama, artinya bekerja sama, kolaborasi. Tidak akan menjadi masalah jika kita itu bergaul lebih luas. Jadi, ini saya pikir sesuatu hal yang harus dikembangkan dan menjadi tanggung jawab gereja bagaimana supaya gereja dindingnya tidak menjadi tebal dan orang tidak bisa keluar dari dinding itu.

Bagaimana untuk memperlembut cangkang?

Belas kasihan dalam penerapannya yakni kasihilah sesamamu manusia itu tentu berkaitan dengan kelompok marjinal. Kelompok marjinal ini adalah kelompok yang jika ingin berupaya sendiri, mereka tidak mampu. Maka perlu adanya affirmative action. Affirmative action ini bukan sikap diskriminasi. Affirmative action ini adalah sebuah action yang dilakukan untuk menolong mereka yang tidak mampu keluar sendiri dari keterbatasannya itu. Ini bisa berupa program-program pengentasan kemiskinan. Saling membantu. Jadi, dengan demikian, hal-hal sosial itu menjadi sesuatu yang sifatnya tidak injili. Justru hal-hal sosial ini merupakan pancaran dari Injil bagi lingkungan sekitar kita. Inilah garam yang berpengaruh bagi sekitar. Inilah action untuk merobek kantong garam itu dan kita membawa pengaruh. Kalau kemudian hal-hal sosial ini dicap sebagai liberal, itu tidak benar. Iman harus diwujudkan dalam tindakan, seperti yang dinyatakan dalam Yakobus.

Saya terkesan sekali dengan perumpamaan Tuhan Yesus dalam Lukas 10 tentang perumpamaan orang Samaria yang baik hati. Pada saat itu, Yesus ditanya oleh seorang ahli Taurat dan singkatnya ditanya "Siapakah sesamaku manusia itu?" Kemudian, Tuhan memberikan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati itu. Dan, kita tahu ceritanya bahwa orang Yahudi itu sudah babak belur, setengah mati. Kemudian, ada orang Lewi lewat, ada imam lewat, tetapi orang Samaria yang dianggap rendah oleh orang Yahudi, yang dianggap punya agama yang lain, yang dianggap punya strata yang rendah, justru dialah yang memiliki belas kasihan dan dia mau melintas batas. Dia mau menolong, bahkan membayar penginapan sampai orang itu sembuh. Kemudian, Tuhan Yesus di akhir perumpamaan itu menanyakan "Siapakah sesamaku manusia itu?" Lalu, orang yang ditanya itu menjawab, "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus, "Pergilah dan perbuatlah demikian."

Saya pikir pesan ini sangat penting bagi Anda dan saya. Kadang-kadang, kita merasa kehidupan kita begitu kudusnya sehingga kita tidak berelasi dengan orang-orang di sekitar kita. Tentu saja itu tidak tepat. Marilah kita belajar dari perumpamaan ini, untuk kita berani melompat batas, keluar dari cangkang, merobek plastik kita sehingga kita menaati apa yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, "Pergilah dan perbuatlah."

Nah, pertanyaannya bagi kita, "Maukah kita melakukannya?"