Institut Leimena: Responsible Citizenship in Religious Society

Institut Leimena adalah sebuah lembaga nonprofit yang mengaji kebijakan dan permasalahan publik untuk ikut mendorong kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, memberikan pendidikan kewarganegaraan, serta memfasilitasi program-program strategis yang relevan di tengah masyarakat. Nama institut ini berdasarkan nama salah satu pahlawan Indonesia, yaitu Johannes Leimena. Institut Leimena dinamai untuk mengenang Dr. Johannes Leimena (1905 - 1977), negarawan dan gerejawan Indonesia, serta berupaya meneladani kepemimpinan beliau yang mengedepankan kasih dan melayani semua kalangan.

Adapun yang menjadi misi dari Institut Leimena adalah "Mengembangkan peradaban Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan peradaban dunia yang menjunjung tinggi harkat manusia, melalui kerja sama dalam masyarakat yang majemuk". Berdiri pada 2005, Institut Leimena dibentuk sebagai respons atas perkembangan situasi bangsa dan negara, serta harapan para pemimpin lembaga gereja aras nasional, dengan sangat memercayai bahwa nilai-nilai keagamaan merupakan bagian integral sebagai landasan moral, etik, dan spiritual untuk membangun bangsa dan negara Indonesia serta dunia yang lebih baik. Hal ini dilakukan dengan senantiasa menghormati dan menjaga keberagaman dan kesetaraan dalam masyarakat. Untuk melanjutkan cita-cita Dr. Johannes Leimena atau yang sering dipanggil “Om Yo”, Institut Leimena mengembangkan diri menjadi “Think Thank” dan fasilitator program strategis bagi bangsa.

Gagasan berdirinya institut ini adalah pada sidang Raya X DGI/PGI 1984 di Ambon dengan keputusan, PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) membentuk lembaga kajian yang dinamakan Akademi Leimena dengan Letjen. T.B. Simatupang sebagai ketua pertama. Pada tahun 2004, atas masukan dan harapan dari para pemimpin lembaga gereja aras nasional, beberapa pengurus Akademi Leimena sepakat untuk mendirikan institut Leimena sebagai lembaga kajian independen yang mencerminkan perkembangan keberagaman gereja dewasa ini. Para pendiri, sekaligus anggota Board of Trustees yang pertama adalah Jakob Tobing, Mangara Tambunan, Matius Ho, Radja Kami Sembiring Meliala, dan Viveka Nanda Leimena. Beberapa diskusi dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi pun dimulai. Jakob Tobing yang saat itu sedang bertugas sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea Selatan diangkat sebagai Executive Director dan Matius Ho sebagai Deputy Director. Berbagai aktivitas Institut Leimena semakin meningkat setelah Jakob Tobing menyelesaikan tugasnya di Korea Selatan pada Februari 2008. Kemudian, pertengahan September 2008 untuk pertama kalinya Institut Leimena menggelar “Konsultasi Nasional” untuk membahas berbagai permasalahan bangsa yang dihadiri oleh para pakar, akademisi, pengusaha, pembuat kebijakan, serta tokoh agama dan masyarakat. Sementara itu, untuk mengantisipasi pertumbuhan ke depan, pada November 2008 dilakukan penyesuaian struktur organisasi di mana Jakob Tobing menjabat sebagai President Institut Leimena dan Matius Ho sebagai Executive Director. Pontas Nasution, dahulu Executive Director Akademi Leimena, telah diangkat sebagai Senior Program Advisor beberapa bulan sebelumnya. Anggota Board of Trustees Institut Leimena juga bertambah dengan bergabungnya Adrianus Mooy dan Edwin Soeryadjaya pada awal 2009, serta Junius Suhadi di akhir 2009. Itulah yang menjadi sejarah singkat dari Institut Leimena, yang akan terus dikembangkan untuk turut membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, guna mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan.

Bapak T.B. Simatupang pernah mengatakan bahwa umat kristiani membutuhkan sebuah lembaga kajian sebagai tempat untuk berpartisipasi bagi bangsa dan negara. Umat kristiani merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang tidak mungkin bisa hidup sendiri. Dan, umat kristiani juga tidak dipanggil untuk diri sendiri, tetapi diutus ke dunia untuk orang lain. Umat kristiani juga bagian dari bangsa Indonesia, bagian dari masyarakat yang majemuk. Dengan demikian, sebagai umat kristiani, kita harus terlibat dalam bangsa dan negara ini. Gereja perlu terlibat dalam masyarakat karena apabila gereja hanya sibuk dengan diri sendiri, pelan tetapi pasti, gereja nantinya tidak akan relevan bagi masyarakat sekitar. Ketika semakin tidak relevan, pertanyaan logis pun akan muncul, "Untuk apa umat kristiani ada di dunia ini?" Inilah yang menjadi pemicu berdirinya institut ini. Seperti yang disampaikan oleh Dr. Johannes Leimena pada pidatonya pada 1955, menjelang pemilu, dalam suatu komunitas Kristen. Judul pidatonya saat itu adalah, "Kewarganegaraan yang bertanggung jawab".

Inti dari pidato tersebut adalah umat kristiani memiliki dwi-kewarganegaraan, warga Kerajaan Allah dan juga warga negara Indonesia. Kedua kewarganegaraan ini memiliki ekspektasi, harapan, dan kewajiban yang harus kita lakukan. Dan, kedua kewarganegaraan ini tidak bisa dibatasi. Kalau hari minggu, menjadi warga Kerajaan Allah dan kalau hari biasa menjadi warga negara Indonesia, itu tidak bisa dan tidak benar, keduanya harus sama tanpa adanya perbedaan. Karena kalau tidak, kita akan hidup seperti orang munafik yang tidak punya integritas. Sebagai umat kristiani, kita harus bijak dalam mempersatukan kedua hal ini.

Dengan tujuan untuk membangun NKRI bersama seluruh rakyat Indonesia, khususnya umat kristiani, Institut Leimena memberi sumbangan pemikiran, kajian, dan program-program lainnya. Sumbangan pemikiran dan program-program tersebut ditujukan untuk pejabat pemerintahan terkait (legislatif, eksekutif, yudikatif) baik pusat maupun daerah, media, akademis, gereja dan lembaga keagamaan lainnya, serta berbagai kalangan yang ikut memengaruhi permasalahan publik yang dihadapi. Institut Leimena mengembangkan program-program yang sesuai panggilan misinya dan sebagai respons atas perkembangan situasi global dan nasional. Adapun program-program tersebut adalah:
- Mengadakan Johannes Leimena School of Public Leadership yang bertujuan untuk memperlengkapi pemimpin publik yang berintegritas dan berwawasan kebangsaan, serta mengembangkan kemampuan peserta untuk memperjuangkan cita-cita bangsa dalam komunitas masyarakat, melalui jalur kebijakan publik dan instrumen negara yang tersedia, dari tingkat lokal hingga nasional.
- Kerja sama dengan berbagai pihak dalam topik-topik kebangsaan untuk mendorong kehidupan berbangsa yang lebih baik yang berdasar kepada Pancasila dan UUD 1945.
- Mengadakan seminar lintas agama yang bertujuan untuk memahami gerakan radikal keagamaan dalam konteks global, nasional, dan lokal, sehingga dapat menjadi modal untuk mengatasi radikalisasi agama.

Status umat kristiani sebagai garam dan terang harus mau memulai atau mengambil langkah awal untuk membuat sesuatu yang dapat memberkati umat kristiani lainnya yang belum mengenal firman Tuhan. Kita juga harus memahami apa yang menjadi kebutuhan karena situasi bisa saja berubah dan kita cepat mengambil tindakan akan perubahan tersebut. Apalagi kalau berbicara mengenai generasi milenial, generasi Z, dan Alfa, sebagai generasi yang ada di atas mereka, bukan hanya pemahaman yang harus berubah, tetapi diri Anda pun harus berubah. Tantangan yang kita hadapi sekarang ini, semakin besar. Kemajuan teknologi yang ada, menuntut kita untuk semakin cepat dan cekatan.