Benarkah Kita Sedang Mengkhotbahkan Alkitab? Jika pertanyaan ini ditanyakan secara langsung, akankah kita menjadi tersinggung?

Tidak ada hamba Tuhan yang ingin dikatakan bahwa dia tidak mengkhotbahkan Alkitab. Itu menyinggung perasaan. Mengapa? Sebab, itu seharusnya memang tugas dari hamba Tuhan. Itu yang mereka lakukan dalam tugas pelayanannya. Ini menyangkut integritas. Sepertinya kalau hamba Tuhan ditanya, "Benarkah kamu sedang mengkhotbahkan Alkitab?", maka integritasnya sedang tidak dipercaya. Seolah-olah mereka membohongi jemaat. Lalu, pertanyaan semacam itu juga bisa berarti meragukan kerohaniannya. Yang jelas, pertanyaan semacam ini akan tidak enak untuk diberikan kepada yang lain. Oleh karena itu, mari kita bertanya kepada diri sendiri. Benarkah kita sedang mengkhotbahkan Alkitab?

Mungkin, ada berbagai jawaban yang akan kita berikan. "Saya itu kalau memilih teks, akan berdoa lebih dahulu." Ada juga yang berkata, "Kalau saya berkhotbah, maka khotbah saya berisi ayat-ayat Alkitab semua." Atau, ada juga yang berkata, "Khotbah saya selalu dimulai dengan baca Alkitab, diakhiri juga dengan baca Alkitab. Apakah itu kurang alkitabiah? Apakah itu tidak mengkhotbahkan Alkitab?" Yang lain mungkin berkata, "Setiap kali saya selesai khotbah, banyak jemaat mengatakan mereka mendapat berkat dari khotbah saya. Jelas, itu berarti sudah mengkhotbahkan Alkitab."

Mari kita kritisi, apakah benar merupakan indikasi atau jaminan bahwa seorang pengkhotbah sudah mengkhotbahkan Alkitab jika saat memilih teks yang dikhotbahkan dia berdoa terlebih dahulu. Berdoanya bukan hanya satu atau dua hari, bahkan mungkin sampai hari Jumat yang bersangkutan masih ragu untuk menentukan teks mana yang akan digunakan. Sabtu paginya, dia meyakini bahwa Tuhan mengatakan dari ayat apa, baru kemudian dia menggalinya dari sana. Apakah itu indikasi seorang pengkhotbah mengkhotbahkan Alkitab? Atau, apakah benar merupakan jaminan bahwa seorang pengkhotbah mengkhotbahkan Alkitab jika pada awal khotbah dia memulai khotbahnya dengan membaca Alkitab? Atau, dalam khotbahnya dia banyak sekali mengutip ayat-ayat Alkitab? Sekarang, mari kita mengkritisi yang terakhir. Apakah benar seorang pengkhotbah mengkhotbahkan Alkitab kalau jemaat bilang, "Saya diberkati dari khotbah Anda." Apakah itu tandanya?

Semua jawaban itu bisa membuat kita kehilangan makna yang sebenarnya. Dan, semua jawaban dari pertanyaan itu juga belum tentu menjadi indikasi atau jaminan bahwa seseorang benar-benar mengkhotbahkan Alkitab. Belum tentu seorang pengkhotbah sedang mengkhotbahkan Alkitab kalau sebelumnya dia berdoa terlebih dahulu, melihat Alkitab dalam banyak khotbahnya, atau bahkan jika ada orang/jemaat yang berkata bahwa mereka terberkati dengan khotbahnya.

Lalu, mari kita maju lagi dengan pertanyaan berikut. Apa indikasinya kalau kita sedang mengkhotbahkan Alkitab? Ini yang perlu kita tahu. Apa standarnya bahwa kita sedang mengkhotbahkan Alkitab?

Ketika seorang pengkhotbah mengkhotbahkan amanat teks dari amanat Alkitab yang sedang dikhotbahkan itulah tandanya dia sedang mengkhotbahkan Alkitab. Sekarang, kita bertemu dengan istilah amanat teks. Beberapa dari kita sudah biasa memahami bahwa amanat itu satu pesan yang penting dari orang yang sedang memesankan. Jelas, isi khotbah harus mengkhotbahkan pesan dari teks yang sedang dikhotbahkan, dari nats Alkitab yang sedang kita khotbahkan. Apakah ketika kita naik mimbar, kita tahu bahwa nats/perikop/teks yang akan kita khotbahkan, kita ketahui pesannya? Pesannya itu siapa yang membuat? Amanat teks adalah pesan utama dari suatu teks sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulis kepada pembaca pertamanya. Hal dasar ini menentukan, apakah seorang pengkhotbah waktu menyampaikan khotbah betul-betul mengkhotbahkan Alkitab atau bukan Alkitab. Jadi, amanat teks (pesan teks) adalah pesan utama dari banyak pesan yang minor (yang kecil-kecil). Dari sana kita mencari pesan utamanya, gagasan utamanya, ide besar dari suatu teks, yaitu teks yang sedang kita khotbahkan. Pesan utama menurut siapa? Tentu bukan menurut kita, tetapi menurut sang penulis ketika dia sedang menulis, yang lalu disampaikan kepada pembaca pertamanya.

Sebagai contoh, apa yang dimaksud Yohanes ketika menulis pasal Yohanes 2 tentang mukjizat pertama yang dibuat Yesus?

Yang pertama-tama harus dilakukan seorang pengkhotbah jika ingin dikatakan bahwa dia mengkhotbahkan Alkitab adalah bertanya. Saat Yohanes menulis kisah mukjizat pertama Yesus yang diadakan di Kana, apakah maksud Yohanes? Yohanes pasti mengetahui bahwa tulisannya akan dibaca, dan dia tahu siapa pembacanya. Dia memiliki tujuan, dia memiliki pesan bahwa sehabis membaca tulisannya pembacanya akan memahaminya. Itu dikatakan dalam ayat 11, "Tanda ajaib pertama ini Yesus lakukan di Kana.... " Untuk tujuan apa? Supaya murid-murid-Nya percaya. Jadi, tujuan peristiwa itu adalah supaya murid-murid-Nya percaya kepada Yesus. Saat itu, mereka baru mengikut Yesus. Saat itu, mereka tidak paham Pribadi macam apa guru mereka ini sesungguhnya, apalagi memahami bahwa Dia adalah terang yang datang dalam kegelapan. Dia adalah firman yang menjadi manusia. Dia adalah Allah yang turun untuk menyelamatkan sehingga Dia menjadi manusia. Para murid tidak memahaminya sama sekali. Ketika Tuhan mengadakan mukjizat itu, Dia sedang membuka tudung-Nya, membuka diri-Nya perlahan-lahan. Oleh karena itu, kita bisa bayangkan sekarang ketika seseorang berkata demikian ketika berkhotbah: "Saudara, haruslah kita menjadi seperti Maria. Orang Kristen seperti Maria itu adalah orang Kristen yang mengetahui persoalan orang lain. Poin yang kedua, dia bukan cuma mengetahui, tapi dia peduli. Yang ketiga, dia mencari pertolongan pada orang yang tepat."

Pertanyaannya, benarkah pasal itu (Yohanes 2) pesan utamanya adalah kita harus menjadi orang Kristen seperti Maria. Atau, kita melihat, kita senang sekali dengan iman para pelayan dalam kisah itu, yang diperintahkan oleh Yesus dengan kata, "isilah", yaitu untuk mengisi tempayan-tempayan itu. Tergantung tempayan yang disediakan para pelayan, kalau satu, maka anggurnya menjadi satu tempayan. Kalau enam, menjadi enam tempayan. Kalau tujuh puluh dua, ya menjadi tujuh puluh dua tempayan. Tergantung iman para pelayan. Nah, apakah kita diminta untuk mempunyai iman seperti pelayan? Tidak. Inilah yang disebut khotbah alkitabiah. Kita harus mengejar pesan utama dari sebuah teks yang ditulis oleh penulisnya kepada pembaca pertamanya. Kita bukan pembaca pertama. Kita pembaca kesekian juta atau kesekian milyar. Kita harus memahami seperti para pembaca pertama.

Mari kita lihat lagi. Kita lihat apa yang sebetulnya terjadi dengan khotbah-khotbah kebanyakan.

1. Pengkhotbah menafsir Alkitab sekenanya.

Perhatikan ini. Gambarannya, ada pengkhotbah, lalu ada pendengar. Apa yang dilakukan oleh pengkhotbah? Dia memeriksa Alkitab. Waktu dia memeriksa Alkitab, dia tidak melakukan studi dengan baik. Dia tidak menyelidiki benar-benar. Dia tidak menggali informasi-informasi yang ada, baik dari buku maupun dari berbagai situs. Dia merasa hal-hal itu memakan waktu. Lalu, apa yang terjadi? Dia mengarang-ngarang maksud teks itu, menafsir sekenanya, seadanya, dan seenaknya. Lalu, dia merasa dipimpin oleh Roh Kudus. Hampir bisa dipastikan itu adalah mengarang indah tentang satu teks yang mau dikhotbahkan. Tidak akurat, tidak mengerti amanat teksnya, mengenai apa yang benar dengan tepat. Lalu, ayat-ayat yang ditafsir seadanya, seenaknya, dan menurut dia sendiri. Lalu, itu dikatakan kepada jemaat, dikhotbahkan. Apa yang dikhotbahkan? Jelas tafsiran seenaknya dan seadanya. Lalu, apakah jemaat mendengarkan firman? Jawabnya TIDAK. Yang benar adalah pendengar mendengar tafsiran yang seenaknya dari pengkhotbah. Harus kita akui, berapa banyak pengkhotbah yang memiliki konsep seperti ini, bahwa Tuhan akan memimpin kita beberapa menit sebelum naik mimbar, di dalam perjalanan, nanti saja Minggu pagi tinggal doa dua tiga menit, merasa pasti bisa karena sudah terbiasa puluhan tahun seperti itu. Dan, saya boleh katakan, ini bukan mengabarkan mengkhotbahkan Alkitab, tetapi mengkhotbahkan reka-rekaan kita tentang teks itu.

2. Memanipulasi pesannya.

Sayang sekali jika harus menggunakan kata manipulasi. Akan tetapi, maksudnya begini: sebelum mendapat teks Alkitab, pengkhotbah memiliki gagasan di kepalanya. Katakan, X sampai Z. Nah, sekarang gagasan itu akan dikatakan pada khotbah minggu pagi. Dia mulai mencari teksnya, teks Alkitab mana yang cocok untuk boleh menjadi sarana, tools atau wadah menuangkan pikirannya. Setelah dapat, dia mulai mencocok-cocokkan cara masuknya, bagaimana pendahuluannya, bagaimana kalimat-kalimatnya, seolah-olah Tuhan yang mengatakan. Kemudian, dia sampaikan kepada jemaat pada minggu pagi itu. Apa yang dia sampaikan? Pikirannya. Sebelum dia menemukan teks, dia sudah memiliki pikiran harus mengatakan apa kepada jemaat. Misalnya, "Kalau saudara-saudara ingin diberkati Tuhan, jangan ngeluh soal kekurangan saat pandemi. Beri persembahanmu lebih banyak, lalu biarkan Tuhan utang padamu. Nah, tepat pada waktunya, saudara akan berkelimpahan." Nah, Tuhan pada prinsipnya adalah pribadi yang tidak berhutang, itu idenya. Tinggal mencari teks apa yang ingin diambil. Lalu, ada satu teks yang cocok, misalnya 2 Kor.8:9, "Dia yang kaya jadi miskin supaya kamu yang miskin jadi kaya." Dipakailah ayat itu, dicocokan dengan ketrampilan berbicara. Jemaat lalu berkata, "Aduh, Pak, saya merasa sangat tertegur.", "Aduh, dapat berkat saya, Pak." Kita tidak tahu apa sebenarnya kriteria untuk terminologi berkat dari jemaat. Namun, kita bisa mengatakan bahwa pendeta itu, hamba Tuhan itu, sebetulnya tidak mengkhotbahkan Alkitab, tetapi sedang mengkhotbahkan pikirannya melalui atau menggunakan ayat Alkitab. Apa ini bukan manipulasi? Mengerikan sebenarnya kalau dikatakan manipulasi. Kiranya bukan kita yang menghakimi, tetapi Tuhan sendiri nanti di dalam kekekalan ketika setiap hamba Tuhan sendiri harus bertanggung jawab terhadap khotbahnya.

Dari sana, kita bisa membayangkan ada duta besar yang diangkat oleh Presiden Indonesia, yaitu Presiden Jokowi. Presiden kita memiliki pesan kepada duta besar tersebut untuk disampaikan. Jelas, itu adalah pesan dari seorang Presiden, yang mewakili kepentingan bangsa dan negara. Bolehkah seorang duta besar mengarang-ngarang maksud dari Bapak Presiden, karena si duta besar sudah memiliki ide untuk dikatakan kepada duta besar Jepang? Sementara, saat duta besar Indonesia datang kepada duta besar Jepang untuk menyampaikan pesan, bukan pesan Presiden yang disampaikan, tetapi pesannya sendiri. Jika demikian, tidak ada Presiden yang akan bersedia untuk memiliki duta besar seperti itu. Jangan harap Tuhan senang bekerja dalam khotbah dari pengkhotbah semacam ini, karena Tuhan tidak bermaksud seperti itu. Ini bisa disebut memanipulasi pesan. Berapa banyak pendengar jemaat yang sering dimanipulasi tiap-tiap minggu saat mendengarkan khotbah? Di dalam ketidakmengertian mereka, mereka mengatakan mendapat berkat. Namun, sebenarnya bukan firman Tuhan yang mereka dengar.

3. Ada pengkhotbah yang mengkhotbahkan pesan dari teks itu, atau amanat teks dari teks itu.

Jadi begini. Di dalam persiapannya, pengkhotbah mulai dengan menentukan teks Alkitab apa yang mau dikhotbahkan. Setelah dia menemukan teks Alkitab, dia menyelidikinya, mempelajarinya. Sungguh, dia seperti orang bodoh yang tidak mengetahui teks Alkitab itu artinya apa. Memang seharusnya begitu. Setiap teks itu merupakan pulau asing yang perlu kita jelajah. Ada apa di dalamnya. Buah apa yang tumbuh, hasilnya apa, tanahnya bagaimana. Semua harus digali sampai kita menarik satu kesimpulan. Hamba Tuhan yang baik selalu rendah hati dan memulai dari nol memahami sebuah teks. Dia mempelajarinya, dia membuka buku-buku tafsiran, mencari di google. Mirip seperti seorang siswa yang mendapatkan tugas yang dia belum mengerti. Tujuannya apa? Mencari maksud si penulis sesungguhnya di dalam teks ini. Misalnya, garam dan terang dunia. Memang mudah, semua orang sudah mengkhotbahkannya, pengkhotbah itu juga pasti sudah dengar. Akan tetapi, nanti dulu. Dia memutuskan perlu menyelidikinya benar-benar, bukan hanya mendengar dari orang. Setelah itu, dia mendapatkan pemahaman bahwa garam dan terang dunia itu pesannya adalah A, B, C.

Kalau kita berkata dari Matius 5:16, "Hendaklah terangmu juga bercahaya dengan cara yang sama, supaya mereka dapat melihat perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga." Setelah mendapatkan ide itu, seorang pengkhotbah yang mengkhotbahkan Alkitab lalu mulai berkhotbah, bukan setelah persiapannya selesai. Pesan khotbah yang disampaikan intinya adalah sama, yaitu A, B, C, dst. Itulah yang dikatakan oleh Alkitab. Dia tidak menyimpangkan, dia tidak membiaskan, dia tidak memanipulir. A dikatakan A, B dikatakan B, C dikatakan C. Inilah pengkhotbah yang mengkhotbahkan Alkitab. Dia hanya duta, bukan presidennya. Dia hanya hamba, bukan tuannya. Dia hanya mercusuar, bukan orang yang berkata-kata. Dia hanya penyampai, bukan sumber berita.

Mari kita mengukur diri sendiri. Seringnya kalau kita berkhotbah, kita menggunakan cara yang mana? Apakah kita pengkhotbah yang menafsir sekenanya padahal sebenarnya tidak memahami apa-apa. Atau type yang kedua, kita memanipulir teks itu. Tidak menyatakan maksud yang sesungguhnya, tetapi diputar-putar supaya tampak seperti itu. Itu berbahaya sekali. Terlebih lagi, jika kita memiliki motif tersendiri, kita lalu memelintir ayat Alkitab. Di dalam menafsir ayat Alkitab ada satu prinsip, sehingga setiap ayat Alkitab tidak bisa diputar ke mana pun tergantung penafsirnya. Lalu, yang ketiga, apakah selama ini kita dengan setia mengkhotbahkan Alkitab, pesannya, amanat teksnya?

Mengapa kita harus mengkhotbahkan amanat teks. Berikut adalah alasan-alasannya.

1. Amanat teks (pesan teks) itu diinspirasikan oleh Roh Kudus.

Para penulis itu diinspirasikan, diilhamkan, diwahyukan, dinafaskan oleh Roh Kudus, walaupun banyak di antara mereka tidak sadar bahwa mereka sedang digerakan Tuhan. Mereka hanya ingin memberikan kesaksian tentang perbuatan Tuhan, mereka ingin menyatakan tentang bagaimana seharusnya mereka di hadapan Tuhan. Akan tetapi, Tuhan sudah menggerakan mereka. Jadi, Alkitab itu double pengarangan. Yang pertama, pengarang aslinya, The grand one, The author adalah Roh Kudus. Roh Kudus menggunakan orang-orang dengan segala bakat, budaya, keterampilan, dan keadaan mereka untuk boleh dipakai menulis Alkitab. Oleh karena itu, mengapa kita harus mengkhotbahkan amanat teks? Sebab, amanat itu, pesan itulah yang ingin disampaikan Roh Kudus melalui kalimat-kalimat si pengarang. Dengan demikian, sebelum kita mengkhotbahkan sebuah bagian Alkitab, kita perlu mecari amanat yang pernah diinspirasikan oleh Roh Kudus pada zaman lalu untuk pembaca pertamanya itu. Amanat itu, pesan itu bersifat kekal, jelas, bahkan bagi kita dan bagi jemaat masa kini. "Segala tulisan yang diilhamkan Allah." Artinya, di mana Roh Kudus mengilhamkannya, memang pasti bermanfaat. Untuk apa? Untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Seluruh manfaatnya itu untuk menghasilkan perubahan yang terjadi pada pembaca yang membaca dan pendengar yang mendengar. Oleh karena itu, jika kita mengkhotbahkan firman, kita bisa mengharapkan bahwa itulah yang terjadi, bukan kata-kata manusia yang terjadi.

2. Karena dengan mengkhotbahkan amanat teks sesungguhnya kita sedang menyampaikan khotbah yang merupakan firman Tuhan.

Khotbah untuk menyampaikan firman Tuhan itu seharusnya bukan berasal dari pikiran kita. Kita tidak boleh mereka-reka teks dari firman Tuhan. Artinya begini, meski kita sudah menyelidikinya dibantu dengan pendapat para sarjana yang menguasai bidangnya, yaitu buku-buku tafsiran, tetapi kita perlu mempergunakan semua tools itu dengan rendah hati, untuk belajar. Seseorang pengkhotbah yang terus-menerus memiliki konsep, harus menyatakan amanat teks dalam khotbahnya. Dia akan menjadi murid sampai akhir hayatnya. Dia akan takut untuk mengarang. Dia takut kalau sampai harus mengkhotbahkan apa yang tidak dia pahami. Bagaimana mungkin dia yang tidak paham akan bisa menyampaikan pesan teksnya? Jelas pesannya akan menjadi pesan dari hasil mereka-reka. Kalau kita ingin mengkhotbahkan firman Tuhan, khobahkanlah amanat teksnya.

Pada abad ke-4 atau ke-5, Bapak gereja Augustin pernah berkata, "When the Bible speaks, God speaks." Kapan Allah mulai berkata-kata di dalam khotbah kita? Saat kita menyatakan Alkitab. Perkataan seorang filsuf, perkataan seorang ekonom, perkataan seorang motivator, tidak mungkin membuat Allah bekerja. Namun, ketika firman-Nya mulai dibahas, di situlah kesenangan Tuhan. Di situlah anstusiasme Tuhan untuk bekerja. "When the Bible speaks, God speaks". Firman Tuhan yang keluar dari mulut Tuhan itu penuh kuasa. Pribadi-Nya adalah pribadi yang berkuasa. Apa artinya seorang motivator? Kita boleh mengutip untuk mendukung firman Tuhan, tetapi bukan untuk menjadikan kutipan seorang motivator itu sebagai modal untuk pesan khotbah. Ada banyak pengkhotbah yang kehilangan kepercayaan kalau dia mengkhotbahkan firman. Harus menambahkan ini, tambah itu, harus berasal dari pendapat ahli ini itu. Padahal, mereka manusia yang fana, tidak berkuasa. Khotbahkanlah firman Tuhan.

4. Hanya firman Tuhan yang mampu mengubahkan manusia.

Firman yang dikatakan Tuhan itu penuh kuasa. Dia berkata pada Yesaya, "Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku." Yesaya diharuskan menyampaikan kepada bangsa Israel yang tidak setia. "Firman-Ku tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang kukehendaki dan akan berhasil dalam apa yang aku suruh." Perhatikan, Allah akan rela melaksanakan perkataan, bukan perkataan kita, bukan perkataan para ahli motivator. Tidak. Perkataan-Nya sendiri. Janji-Nya akan berhasil. Apa yang dikatakan oleh Tuhan akan berhasil. Namun, berhasil bukan berarti "Yes". Kadang-kadang, justru maksud Tuhan adalah untuk mengeraskan hati para pendengarnya. Itu terjadi pada orang-orang Mesir pada zaman Musa. Sepuluh tulah mengeraskan hati Firaun. Itu sudah berhasil karena itulah kehendak Allah. Karena itu, kita jangan sampai kecewa kalau ketika kita berkhotbah dan setia pada firman Tuhan, pada amanat teksnya tetapi terjadi apa-apa. Memang sudah maksud Tuhan seperti itu. Membiarkan orang degil bertambah degil sehingga hukuman akan berjalan. Akan tetapi, firman Tuhan juga bisa membuat orang yang keras menjadi lembut hatinya. Orang yang keras bisa menjadi sadar ketika Tuhan bekerja, karena maksud Tuhan memang melembutkan mereka. Bagian kita adalah dengan setia mengabarkan firman-Nya. Hanya dengan firman kita bisa mengubah orang.

Mari kita lihat lagi pada satu ayat. Yeremia 23:29, "Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman Tuhan, seperti palu yang menghancurkan bukit." Kalau kita mau membakar hati seseorang, menghancurkannya seperti palu, mau menghancurkan bukit, khotbahkan firman Tuhan. Tidak ada cara yang lain. Bukan karena kepandaian kita dalam berbicara, bukan karena sentuhan ilustrasi yang luar biasa, bukan dari cara bercerita yang luar biasa. Semua itu, jika tanpa firman tidak akan ada artinya. Kita bisa membuat orang menangis, tetapi tidak bisa membuat orang berubah. Kita bisa membuat orang merasa terberkati, tetapi tidak mengubah apa-apa. Kita perlu menyadari, berapa banyak khotbah-khotbah semacam itu yang terjadi. Jemaat menanti, Allah Roh Kudus menanti agar hamba-hamba-Nya terus bekerja berdasarkan tuntunan Roh Kudus. Ketika Roh Kudus bekerja, Roh Kudus bekerja dengan sungguh-sungguh, jika yang dikhotbahkan adalah firman-Nya.

4. Karena itulah standar obyektif sebuah khotbah.

Bayangkan jika khotbah tidak tertuju pada amanat teks atau maksud sang penulis waktu menulis bagian itu kepada pembaca pertamanya. Kita masing-masing akan punya berita yang berbeda dari teks-teks yang sama. Akan jadi gado-gado. Seorang hamba Tuhan penah berkata, "Selama ini kita salah. Allah Kristen itu bukan Tri Tunggal, tapi mono tunggal." Sudah. Itu pemahamannya, berdasarkan pendalamannya. Nanti dulu. Bagaimana cara menafsirnya? Bagaimana dengan tradisi orang-orang pandai yang menafsir Alkitab dengan begitu ketat selama 21 abad? Apakah Allah baru membuka pikiran kepada seseorang pada zaman ini? Terlalu banyak orang yang disesatkan karena khotbah yang tidak sesuai dengan firman Allah. Namun, dengan memahami amanat teksnya kita akan tertuju pada pesan utamanya. Itulah yang diinspirasikan. Itulah firman Tuhan. Itulah yang mengubahkan orang.