Bagaimana Pandemi Covid-19 Bisa Menjadi Kesempatan Bagi Wanita Kristen untuk Bertumbuh dalam Krisis?

Jika kita memakai kaca mata minus atau plus, kita memakainya dengan tujuan supaya kita bisa semakin melihat dengan jelas. Kalau kacamata itu baik, maka objek yang kita lihat bisa terlihat dengan jelas. Sebaliknya, jika suatu saat kacamata itu jatuh dan retak dan kita nekat memakainya, mungkin Anda tetap dapat  melihat objek tertentu, misalnya objek itu adalah wajah saya.  Mungkin wajah saya itu masih kelihatan, tetapi tidak utuh lagi karena wajah saya terlihat jadi ikut retak.

Jadi, makna dari suatu peristiwa itu tergantung bagaimana cara pandang kita. Kalau kacamata tadi baik dan berfungsi dengan baik, kita bisa melihat objek itu dengan jelas, dengan tepat. Akan tetapi, ketika kacamata itu retak, maka kita melihat objek itu seperti retak juga. Bagaimana kita memaknai suatu peristiwa akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara pandang kita terhadap peristiwa itu.

Satu contoh yang jelas adalah peristiwa pada waktu Musa dan bangsa Israel akan masuk ke tanah Kanaan, kemudian Musa mengutus dua belas  pengintai. Mungkin Anda semua sudah tahu cerita ini. Dua belas pengintai itu berangkat sama-sama. Kemudian, mereka berada di tempat itu selama 40 hari. Mereka melihat hal yang sama dan situasi yang sama. Kemudian, mereka sama-sama membawa hasil pertanian dari tanah Kanaan itu kembali ke kepada Musa. Mereka memberi laporan kepada Musa dan bangsa Israel.

Kedua belas pengintai ini kembali pada waktu yang sama juga, tetapi kita lihat bahwa kesepuluh pengintai orang itu mengatakan kepada Musa dan di depan bangsa Israel seperti ini: "Kita tidak dapat maju menyerang bangsa itu karena manusianya lebih kuat daripada kita." Kemudian mereka berkata lagi, "Negeri yang telah kami lalui untuk diintai itu adalah suatu bangsa yang memakan penduduknya dan semua orang yang kita lihat di sana adalah orang-orang yang tinggi perawakannya. Juga, kami lihat di sana, orang-orang raksasa (orang Enak itu berasal dari orang-orang raksana), dan kami melihat diri kami seperti belalang dan demikian juga mereka terhadap kami."

Kesepuluh pengintai ini melihat dan membawa hasil pengintaian dari tanah Kanaan. Mereka berkata tanah Kanaan itu kaya dengan susu, kaya dengan madu kemudian mereka juga membawa hasilnya. Akan tetapi, yang terfokus di dalam pandangan mereka adalah orang-orang yang besar itu. Dan, mereka melihat orang-orang itu adalah orang-orang yang menakutkan, yang memakan penduduk. Kemudian, mereka melihat seperti yang dikatakan tadi bahwa, "kami lihat diri kami seperti belalang dan demikian juga mereka terhadap kami." Walaupun mereka melihat hasilnya, tetapi yang menjadi fokus mereka adalah orang-orang yang besar itu dan mereka merasa seperti belalang. Ya, itu yang membuat mereka takut. Sehingga, mereka berkata untuk tidak usah masuk ke tanah Kanaan karena itu berbahaya.

Kemudian, kita akan melihat bagaimana kedua orang lainnya, yaitu Yosua dan Kaleb. Yosua dan Kaleb berkata, "Negeri yang kami lalui untuk diintai adalah luar biasa. Jika Tuhan berkenan kepada kita, maka Ia akan membawa kita masuk itu dan akan memberikannya kepada kita suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya ...," dan seterusnya. Jadi, di sini menarik sekali bahwa Yosua dan Kaleb itu melihat negeri itu luar biasa. Kemudian, mereka melihat juga bahwa, "Jika Tuhan berkenan maka ia akan membawa kita masuk ke negeri kita akan masuk ke negeri itu." Jadi, Yosua dan Kaleb bukan melihat orangn-orangnya yang besar dan mereka yang kecil seperti belalang. Yosua dan Kaleb berpandangan bahwa orang-orangnya itu memang besar, orang-orang itu memang menakutkan, dan itu juga yang dilihat oleh mereka, tetapi fokus mereka adalah kepada Tuhan. Jika Tuhan berkenan, Ia akan membawa kita masuk ke negeri itu. Meskipun memang orang-orangnya menakutkan, tetapi Yosua dan Kaleb melihat ini justru sebagai kesempatan. Kesempatan untuk mengalami bahwa Tuhan itu secara ajaib akan membawa mereka dan akan memberikan negeri itu kepada mereka. Nah, menarik sekali bahwa kedua belas orang itu melihat perkara yang sama, tetapi karena cara pandang yang berbeda maka keputusan yang diambil dan bagaimana cara menjalaninya pun berbeda.

Kita sudah memahami situasi Covid-19, karena kita semua sudah mengalaminya selama 4 bulan (artikel ini dibuat 4 bulan semenjak pemberlakukan situasi PSBB di Indonesia - Red.). Pandemi Covid-19 sangat berdampak pada kesehatan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Sekarang, orang menjadi takut jika ingin pergi ke dokter. Takut kalau sakit gigi nanti akan ditahan. Ada beberapa orang yang kehilangan pekerjaan karena terkena PHK, tetapi ada juga yang gajinya dipotong menjadi 50%, dan lain sebagainya.
Di bidang pendidikan, bagi ibu-ibu yang anaknya masih kecil,  sangat merasakan dampaknya karena tidak tahu lagi kapan anak-anak akan sekolah lagi dan lain sebagainya. Relasi dalam keluarga juga banyak terpengaruh. Lalu, dalam hal ibadah, sekarang ibadah menjadi hal yang rumit sekali. Ada banyak yang pernikahannya diundur karena Covid-19, sementara yang lain harus menyelenggarakan pernikahan secara sederhana.

Itulah gambaran dampak dari pandemi ini. Dan, yang istimewa dari pandemi ini adalah karena dampaknya itu dialami oleh semua orang, termasuk oleh orang Kristen. Tidak membedakan apakah itu orang Kristen palsu atau orang Kristen sejati. Kristen KTP atau Kristen yang hidupnya sungguh-sungguh. Pandemi tidak membedakan-bedakan, karena semua mengalami dampaknya. Ini sesuatu yang istimewa juga karena biasanya dampaknya hanya kepada kelompok tertentu. Akan tetapi, dalam krisis ini, para pendeta serta gereja-gereja dibuat pusing.

Jadi, bagaimana kita harus memandang pandemi Covid-19 ini?

Kita bisa memiliki dua pandangan dalam memandang situasi pandemi Covid-19 ini.

Yang pertama, kita bisa memandang itu sebagai petaka, bencana. Mengapa bencana? Sebab, contohnya saja penghasilan suami sekarang dipotong, sementara anak masuk sekolah harus ada biaya dan lain sebagainya. Ataukah, kita justru memandang situasi krisis ini sebagai kesempatan untuk memiliki pengalaman bertumbuh bersama Tuhan.

Poin kesempatan ini justru terdapat pada saat sulit ini, di mana kita bisa memiliki pengalaman bersama dengan Tuhan dan bertumbuh dengan-Nya. Namun, hal ini bergantung pada bagaimana kita memandang situasi krisis dan apa yang dihasilkan dari sana. Bagaimana cara kita memandang akan mempengaruhi dampaknya terhadap hidup kita. Apakah hidup kita menjadi hancur, remuk, putus asa? Atau sebaliknya, hidup kita justru semakin dekat dengan Tuhan. Hidup kita menjadi hidup yang berjuang dan kita menjadi tahan banting. Kemudian, semua potensi kita muncul, sehingga kita bisa memiliki daya tahan dan sebagainya. Semua hal itu bergantung pada bagaimana kita memandangnya.
 
Jika kita memandang masa pandemi ini sebagai satu kesempatan bertumbuh, kita bisa bertumbuh di dalam hal apa?

Kita bisa bertumbuh secara spiritual, psikis, fisik dan sosial. Lalu, bagaimana kita bisa bertumbuh dalam hal-hal ini?
 
Yang pertama, bertumbuh dalam hal spiritual.

Bertumbuh dalam hal spiritual meliputi apa saja?
 
1. Memercayai Allah

Saat ini kita sedang diuji, apakah kepercayaan kita kepada Allah itu hanya merupakan pengetahuan saja atau merupakan kepercayaan yang sesungguhnya? Apakah saya betul-betul mempercayai Allah?

Anda mungkin pernah mendengar berita pada saat krisis ini baru berlangsung.  Ada seorang dokter muda, namanya dokter Michael Robert. Dia merencanakan akan menikah tanggal 11 April. Akan tetapi, karena dia menangani Covid, dia memutuskan bahwa dia akan melayani para pasien dulu. Maka, pernikahannya diundur dari 11 April menjadi 12 Desember, kalau tidak salah. Kemudian, di tengah-tengah peristiwa itu, sebelum akhirnya dapat menikah, dokter ini malah meninggal. Dokter ini adalah dokter yang sungguh-sungguh mencintai Tuhan, hidupnya sungguh-sungguh fokus kepada Tuhan (Anda bisa mencari informasinya di Youtube, dengan judul Mencintai Tuhan).  

Pada hari ke-8, ketika dia diopname, dia membuat video untuk memberikan semangat kepada dokter-dokter lain, "Ayo tetap semangat!" Dokter ini mencintai Tuhan dengan luar biasa, tetapi Tuhan justru memanggil dia. Ini tentu mengguncang keluarganya. Demikian juga kita. Kita mungkin juga mengalami kegoncangan-kegoncangan ini. "Saya takut akan Tuhan, saya berdoa, saya hidup dengan sungguh-sungguh, tetapi kenapa saya di-PHK ? Kenapa suami saya di-PHK?" Ini tentu akan menggoncangkan kita. Di mana Allah? Kok, Allah tidak mendengarkan saya? Mengapa Allah diam saja ?

Situasi ini justru merupakan kesempatan bagi kita. Jika berada di zona nyaman kita, mungkin Allah itu hanya jadi pengetahuan. Namun, menghadapi situasi semacam ini sesungguhnya bisa menjadi tantangan bagi kita untuk belajar. Saya akan belajar mempercayai Allah di dalam situasi ini. Walaupun tampaknya Allah diam. Walaupun tampaknya Allah bersembunyi. Walaupun tampaknya Allah cuek-cuek saja, saya akan belajar percaya kepada Allah.

Kita sudah hampir 4 bulan berada dalam situasi pandemi Covid-19. Apakah kita sudah semakin memercayai Allah atau semakin ragu-ragu? Ini merupakan kesempatan bagi kita untuk mengalami sendiri bahwa Allah itu nyata. Allah itu tidak diam. Allah itu ada. Mari kita mengalami ini supaya sungguh-sungguh kepercayaan kita bukan hanya sekadar pengetahuan, melainkan sungguh-sungguh berasal dari hati kita. Allah itu adalah Allah yang bisa dipercaya.

 2. Pengalaman Mengandalkan Allah
 
Dalam waktu-waktu seperti ini, kita semua tidak bisa mengandalkan segala sesuatu. Uang tidak bisa diandalkan. Banyak pengusaha gulung tikar dan lain sebagainya. Kemudian, profesi-profesi banyak yang menjadi terlantar. Ini kesempatan kita mengandalkan Allah.

Sebelumnya, mungkin kita bisa mengandalkan gaji yang rutin setiap bulan. Tanpa sadar, selama ini kita sudah mengandalkan hidup pada gaji. Namun, kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Kita mungkin masih dalam keadaan baik-baik saja saat ini, tetapi pandemi ini masih terus berlangsung. Artinya, kasus positif masih terus bertambah, dan kita tidak tahu kapan situasi ini akan berakhir. Saat ini, kita mungkin tidak bisa mengandalkan gaji kita, mengandalkan kemampuan kita sendiri. Ini adalah kesempatan di mana kita belajar mengandalkan Allah, betul-betul mengandalkan Allah. Mari pakai kesempatan ini untuk semakin bersandar kepada Allah.

3. Belajar untuk Berdiam dan Mendengarkan Suara Allah
 
Jika kita membaca berbagai berita, kita menjadi khawatir dan sebagainya. Apakah selama ini dengan banyaknya berita, dengan banyaknya cerita orang, kita lebih banyak mendengar suara-suara yang terdengar, atau justru ini menjadi kesempatan bagi kita untuk berdiam, mendengarkan suara Allah? Dulu, waktu kita banyak disibukkan dengan pekerjaan. Sekarang, kita memiliki banyak waktu di rumah, mungkin karena bekerja di rumah atau bekerja setengah hari dari yang biasanya. Ini justru menjadi kesempatan yang baik untuk berdiam dan mendengar suara Allah.

Mari, kita gunakan satu kesempatan untuk berdiam dan mendengar suara Allah, supaya suara Allah itu lebih terdengar daripada suara kita sendiri. Supaya suara Allah itu lebih terdengar daripada suara orang-orang lain. Mari kita berkata, "Tuhan saya berada  dalam situasi yang tidak menentu, di dalam situasi yang tidak jelas. Saya ingin mendengar suara-MU yang jelas, suara-Mu yang pasti.  Saya ingin mendengar itu dan saya ingin mengalami suara-Mu itu."

4. Kesempatan Belajar Memaknai Segala Peristiwa dan Segala Sesuatu

Ketika kita mendengar suara Tuhan. kita akan dimampukan memaknai segala sesuatu yang terjadi. Biasanya kita mungkin menganggap semua peristiwa berlalu begitu saja, mengalir begitu saja. Mari kita gunakan kesempatan ini untuk belajar memaknai setiap peristiwa. Kalau Anda terkena PHK, mari maknai peristiwa itu dengan mendengar suara Tuhan. "Tuhan mengapa ini boleh terjadi? Saya diPHK saat ini." Dengarlah suara Tuhan. Dari suara Tuhan yang terdengar, mari kita memaknai kembali hal-hal dalam hidup kita. Apa makna kita bekerja?  Berangkat pagi, pulang malam, dan pada tanggal tertentu kita menerima gaji. Akan tetapi, kita belajar memaknai mengapa saya harus terkena PHK sekarang? Mari kita memaknai apa makna pekerjaan itu buat kita?

Lalu, jika kita sekarang sedang berada di rumah dan sedang ribut dengan suami/istri, mari kita memaknai, apa sih sebetulnya makna dari relasi suami istri? Apa yang Tuhan inginkan di dalam relasi suami istri ini? Mari kita temukan makna-makna itu sehingga setiap proses kehidupan kita memiliki makna dan bukan hanya mengalir begitu saja. Jika kita dapat memaknai setiap peristiwa, maka ada monumen-monumen di dalam kehidupan kita dan monumen-monumen itu menjadi sesuatu yang indah buat hidup kita.

5. Belajar Bersyukur

Dengan segala sesuatu yang terjadi, mari kita menggunakan kesempatan ini untuk belajar bersyukur atas perkara-perkara kecil maupun perkara- perkara besar.

6. Belajar Membangun Mazbah Keluarga

Ketika pergi ke gereja itu dilarang, mari gunakan kesempatan ini untuk membangun mazbah keluarga di mana kita bisa beribadah bersama dengan keluarga.

7. Keluarga Sebagai Gereja Kecil

Ini juga kesempatan agar gereja menjadi gereja kecil. Sesungguhnya, jika masing-masing keluarga bisa membangun mezbah keluarga, maka keluarga-keluarga Kristen ini bisa menjadi gereja-gereja kecil. Oleh karena itu, ketika pandemi ini sudah selesai, ketika gereja kembali dibuka, maka gereja yang besar ini bisa menjadi kuat karena di dalamnya terdiri dari gereja-gereja kecil.
Mari kita gunakan masa pandemi ini, kesempatan krisis ini untuk membangun spiritualitas kita untuk menjadi semakin kokoh dan kuat, sebab kita mendengar suara Tuhan, memercayai Tuhan, dan mengandalkan Tuhan.

Bagian yang lain adalah secara psikis, yaitu untuk membangun karakter kita serupa dengan Kristus.
 
Jadi, jika kita membiarkan situasi krisis ini begitu saja, itu justru akan merusak karakter kita. Kita mudah marah, kita mudah berpikir negatif dan lain sebagainya. Namun, mari kita gunakan kesempatan ini, masa sulit ini untuk menemukan karakter kita supaya kita menjadi serupa dengan Kristus.

Apa saja yang perlu dibangun?

1. Cara berpikir

Jika kita melihat cara berpikir orang dalam situasi saat ini, ada sebagian orang yang sudah cuek. Mereka piknik ke mana-mana, makan ke mana-mana, bergerombol ke mana-mana tanpa peduli. Akan tetapi, di sisi lain, ada orang yang demikian paranoid, demikian takutnya. Ini adalah tentang cara berpikir. Mari, kita coba berpikir secara tepat. Bagaimana situasi yang sesunggunya? Bagaimana saya harus menempatkan diri?

Beberapa waktu lalu terjadi panic buying. Ada berita-berita yang mengatakan bahwa situasi pandemi akan menyababkan kesulitan pangan dan bahan pokok, dan mencari barang-barang lainnya pun akan sulit. Lalu, terjadilah panic buying. Toko-toko diserbu, masker-masker diborong, dan lain sebagainya. Apa yang menyebabkan hal itu?

Itu adalah karena cara berpikir, karena tidak bisa menata cara berpikir. Sehingga, banyak orang hanya mengikuti apa kata orang lain. Filipi 4:8 ini menyatakan bahwa Tuhan ingin  bahwa pikiran kita itu tidak diisi dengan sampah-sampah, tetapi diisi dengan yang baik, yang mulia, yang adil dan lain sebagainya. Seperti yang ada dalam Filipi 4:8, mari dalam posisi saat ini kita mengatur cara berpikir kita. Jangan menerima semua berita begitu saja. Jangan langsung membagikan berita yang kita terima di media sosial.  Ini adalah salah satu cara mengatur pola pikir. Kalau kita terima berita, bacalah dahulu berita itu baik-baik. Apakah berita itu benar? Kalau sumbernya tidak jelas, jangan dibagikan. Ini termasuk cara praktis bagaimana mengatur pola berpikir.

2. Cara mengelola perasaan

Tentunya banyak perasaan muncul saat ini. Banyak ibu-ibu sekarang sudah bosan karena harus mengajari anak dan sudah tak tahu lagi bagaimana mengatur anak-anak. Mungkin ada perasaan marah, khawatir, atau perasaan apa pun yang muncul karena situasi saat ini. Karena itu, tidak heran kalau banyak webinar yang membahas tentang bagaimana mengelola stres dan lain sebagainya. Sesungguhnya, ini adalah kesempatan untuk menata perasaan kita. Apa yang dinyatakan dalam Filipi 4:6 menarik sekali, yaitu  bahwa perasaan apa pun yang muncul jangan dibiarkan, jangan dipendam. Perasaan apa pun yang muncul, jangan dibiarkan untuk menguasai diri kita, tetapi nyatakanlah itu kepada Tuhan, sampaikan kepada Tuhan. "Tuhan, aku marah karena diperlakukan tidak adil. Kenapa ya dia tidak kena PHK, sementara saya kena PHK?" " Tuhan saya sudah bosan karena harus di rumah terus." "Tuhan saya khawatir karena tidak tahu bagaimana untuk bisa hidup bulan depan, tabungan sudah mulai habis." Nyatakan semua perasaan itu, curahkan itu kepada Tuhan. "Tuhan inilah semua perasaan saya. Saya serahkan semua kepada Tuhan. Silakan Tuhan tata perasaan saya supaya semua perasaan itu tepat pada tempatnya, dan mari Tuhan tolong saya supaya saya bisa mengekspresikan dengan tepat semua perasaan saya."

Selama ini, bagaimana dengan perasaan kita? Perasan kita muncul dengan tidak karuan, atau selama ini kita sudah belajar mengelola perasaan kita? Mari gunakan kesempatan ini untuk belajar mengelola perasaan kita.
 
3. Mengelola keinginan

Ini sudah jelas. Sekarang, semua dibatasi tidak seperti dulu. Pergi ke gereja saja dibatasi. Mungkin kita protes "ke gereja saja kok sulit, aturannya banyak," tetapi, inilah kesempatan untuk bisa mengelola keinginan kita.

4. Menggali dan mengembangkan semua potensi

Bersyukur, sekarang sudah banyak perempuan-perempuan yang sadar bagaimana mengatasi rasa bosan dengan menggali potensinya. Ada yang mulai membuat masker yang dilukis dengan bagus. Itu sesuatu yang baik sekali. Mungkin, dulu tidak punya waktu atau tidak punya fasilitas. Sekarang, ada waktu ada fasilitas sehingga bisa dikembangkan. Ada juga yang mulai menanam tanaman yang sedang ngetren, ada yang masak-masak, ada yang mulai buat quotes, tulisan-tulisan yang dibagikan di IG, FB dan sebagainya. Ada yang juga mengembangkan potensinya dengan mengadakan seminar-seminar, webinar, dan lain sebagainya.

5. Kesempatan mengembangkan kreativitas serta meng-update diri

Mungkin, saat ini ada berbagai webinar yang bisa kita kunjungi secara langsung dan murah. Ini kesempatan mengupdate diri, ini kesempatan untuk kita bisa mengembangkan diri dan bukan hanya tenggelam di dalam kemarahan dan kebosanan kita.
 
6. Mengembangkan kesehatan/kemampuan fisik

Saat ini, kita harus meningkatkan sistem imun kita. Sebab, imunitas tubuh yang kuat sangat berpengaruh agar kita tidak mudah tidak tertular Covid-19. Pakai kesempatan ini dengan hal-hal yang positif, contohnya makan makanan yang sehat. Sekarang, mari kita tidak jajan ke luar, tetapi memasak sendiri di rumah, dan lain sebagainya.  

Saat ini juga menjadi kesempatan kita untuk bisa berolahraga, kesempatan memperbaiki gaya hidup, kesempatan hidup dengan  menjaga kebersihan. Momen-momen ini sebetulnya kesempatan bagi kita semua untuk betul-betul memperhatikan fisik. Kalau selama ini karena kesibukan bekerja atau hal-hal yang, kita jadi tidak menjaga kesehatan fisik dan sebagainya, sekarang, kondisi fisik kita justru menentukan daya tahan tubuh kita terhadap serangan virus. Gunakan kesempatan ini untuk memperbaiki gaya hidup kita supaya tetap sehat.

7. Kesempatan untuk bertumbuh secara sosial

Relasi suami istri - kalau selama ini mungkin bertemu hanya pagi atau malam saja, tetapi sekarang karena lebih banyak ketemu, justru bisa terdeteksi bagaimana relasi antara suami istri. Komunikasi kita selama ini baik-baik atau tidak. Setelah kumpul bersama dengan waktu yang lama, apakah kita malah mudah marah-marah? Dari sana, kita mengerti, bahwa ternyata komunikasi kita bersama pasangan tidak baik. Ini merupakan kesempatan untuk memperbaiki komunikasi. Jangan dibiarkan menjadi konflik, marah-marah dan lain sebagainya. Kalau memang ada konflik disadari, bahwa ternyata itu dulu komunikasinya  yang tidak sehat, tetapi tidak diketahui karena hanya bertemu sebentar saja.
Dulu tinggal berjauhan dengan pasangan sehingga mungkin tidak terasa. Sekarang, harus ketemu terus-menerus. Kalau begitu, ini kesempatan untuk memperbaiki keintiman antara suami dan istri. Itu sebabnya kita mendengar berbagai penelitian yang menyebutkan bahwa dalam masa pandemi banyak terjadi KDRT, banyak terjadi keributan pasangan. Mari, kita pakai kesempatan ini untuk memperbaiki komunikasi pasangan suami istri, memperbaiki intimasi pasangan suami istri.

Karena kita berada di rumah terus bersama anak-anak, ini juga menjadi kesempatan untuk memperbaiki relasi orangtua dengan anak-anak.

Begitu juga dengan gereja - ini kesempatan yang baik untuk membangun. Mungkin, sekarang di gereja ada orang yang memiliki kesulitan. Ada orang yang terdampak PHK, ada lansia yang tidak bisa mengikuti ibadah online, dan lain sebagainya. Mari gunakan kesempatan ini. Apa yang bisa saya lakukan untuk menolong semua jemaat gereja ini? Apa yang bisa saya lakukan untuk para lansia yang supaya bisa menikmati ibadah? Bagaimana saya bisa menolong jemaat yang sedang mengalami PHK dan sebagainya?  Ini kesempatan untuk bisa terlibat lebih banyak bagi gereja, dan juga masyarakat, tetangga-tetangga kita.

Kita mungkin memiliki tetangga yang positif terkena Covid-19. Apakah kita membuat stigma, atau justru kita menjadi penggalang? Bagaimana kita menyediakan makanan bagi keluarga yang harus mengkarantina diri di rumah, yang tidak bisa keluar rumah?. Bagaimana kita dapat menyediakan makanan, memberikan sembako, dan sebagainya kepada mereka? Bagaimana kita bisa menopang yang lain dan sebagainya. Mari kita terlibat. Apa yang  selama ini kita pelajari tentang iman? Berbuat baik. Ini adalah kesempatan kita merealisasikan apa yang telah menjadi teori kita.

Sekarang, mari kita belajar dari siklus hidup burung elang atau rajawali. Mungkin Anda pernah membaca, mendengar, atau melihat tentang rajawali. Ini menarik sekali bahwa rajawali ini bisa hidup 70 tahun. Jadi, masa hidupnya cukup lama, 70 tahun. Akan tetapi, pada waktu rajawali berumur 40 tahun, dia harus mengalami masa di mana paruhnya itu menjadi panjang, kemudian menjadi bengkok sehingga tidak tajam lagi. Kemudian, cakarnya mulai panjang sehingga menjadi tidak runcing. Juga bulunya menjadi tebal, sehingga ketika terbang menjadi berat sekali. Pada waktu berumur 40 tahun, dia dihadapkan pada dua pilihan. Pilihannya adalah apakah dia mau menjadi lemah kemudian mati, atau dia mau berproses sehingga bisa hidup kembali, bisa menambah umur hidupnya 30 tahun lagi?  

Apa yang dialami rajawali itu cukup menyakitkan. Burung rajawali ini harus terbang jauh, kemudian pergi ke gunung yang berbatu-batu. Di gunung yang berbatu-batu ini rajawali tadi akan memukul-mukulkan paruhnya agar paruhnya itu lepas. Dia harus menunggu selama beberapa waktu agar paruhnya tumbuh kembali. Setelah paruhnya tumbuh, paruh itu digunakan untuk melepas cakar-cakarnya yang panjang karena sudah tidak tajam. Setelah cakar ini lepas, dia akan menunggu lagi sampai cakarnya itu tumbuh. Setelah cakarnya kembali bertumbuh, dia akan menggunakannya untuk melepaskan bulu-bulunya. Jadi, masa-masa saat dia berproses mengalami perubahan ini membutuhkan waktu sekitar 150 hari. Selama 150 hari rajawali itu akan mengalami semua proses tersebut. Dan, setelah mengalami proses itu, maka dengan paruh yang baru, dengan cakar yang tajam, dan bulu yang baru, dia bisa memperpanjang umurnya 30 tahun lagi. Dan, rajawali itu bisa memiliki kemampuan terbang seperti semula.

Jadi, itu pilihan bagi rajawali ini. Ketika berusia 40 tahun, dia bisa memilih untuk pasrah saja , atau mau mengalami perubahan. Ketika rajawali itu mau berproses, mengalami perubahan dengan mengalami sakit, rasa sakit untuk berubah, maka dia menjadi sesuatu yang baru. Dia bisa kuat lagi, dia bisa terbang lagi, dia punya kemampuan hidup 30 tahun lagi.

Tuhan mengizinkan masa krisis ini terjadi, dan kita tidak tahu akan sampai berapa lama.  Sekarang, data untuk Indonesia sudah menembus 60.000 lebih kasus positif Covid-19, dan kita tidak tahu kapan ini akan berakhir. Kita bisa memandang bahwa ini bukan petaka, ini bukan bencana. Namun, ini adalah masa bagi  Tuhan untuk memakai situasi yang ada guna mentransformasi hidup kita untuk menjadi manusia yang tidak mudah menyerah, bertumbuh, dan menjadi serupa dengan Kristus. Tuhan sungguh ingin agar kita bertumbuh semakin serupa dengan Kristus dan  menjadi pemenang dalam setiap persoalan kehidupan kita.

Dengan pandemi ini, kita dapat berkata bahwa, "Tuhan, Engkaulah Allah yang bisa kupercaya. Engkaulah Allah yang bisa kuandalkan. Engkau adalah Allah yang tidak diam, tetapi Engkau adalah Allah yang suara-Nya mampu kudengar. Engkau Allah yang mampu menata hatiku, mampu menjaga tubuhku. Tuhan, Engkalulah  Allah yang mampu membangun relasiku dengan suami/istri, dengan keluarga, dengan masyarakat, dan dengan gereja."

Mari kita menjadi semakin serupa Kristus. Untuk tidak mudah pasrah dan menyerah. Mari bertekad bahwa kita akan memakai situasi krisis ini untuk mentransformasi diri, sehingga setelah pandemi ini kita menjadi pribadi yang kuat, pribadi pemenang, pribadi yang tahan banting, pribadi yang kreatif, pribadi yang potensinya sudah tergali. Mari, kita jalani masa pandemi yang belum kita ketahui kapan berakhirnya ini dengan cara pandanga yang benar. Dan, mari kita berkata, "Oke, Tuhan. Saya siap mentransformasi diri."