Saat ini, banyak anak muda menggunakan aplikasi media sosial Tik Tok untuk mencari kebenaran, contoh mencari pengajaran tentang Trinitas atau Tritunggal, perpuluhan, pemahaman Alkitab, dan hal-hal praktis yang mereka butuhkan.

Mari kita bersama-sama melihat firman Tuhan yang sudah sering kita dengar dari Matius 9:14-17, yaitu tentang kantong anggur yang baru. Firman Tuhan berkata, "Kemudian, murid-murid Yohanes datang kepada Yesus dan bertanya, 'Mengapa kami dan orang-orang Farisi melakukan puasa, tetapi murid-murid-Mu tidak berpuasa?' Dan, Yesus berkata kepada mereka, “Dapatkah para pengiring pengantin berdukacita selama pengantin laki-laki masih bersama-sama dengan mereka? Akan tetapi, akan tiba waktunya ketika pengantin laki-laki itu diambil dari mereka, dan kemudian mereka akan berpuasa. Tidak ada seorang pun yang menambalkan kain yang baru pada pakaian yang lama, karena tambalan itu akan merobek pakaian yang lama dan makin besarlah robeknya. Juga, tidak ada orang yang menuang anggur baru ke dalam kantong kulit yang lama. Jika demikian, kantong kulit itu akan robek, dan anggurnya akan tumpah, dan kantong kulitnya hancur. Akan tetapi, mereka menyimpan anggur yang baru ke kantong kulit yang baru pula sehingga keduanya terpelihara.”

Berbeda dengan wadah anggur fermentasi di Eropa pada zaman ini yang terbuat dari tong-tong besar. Pada zaman Tuhan Yesus melayani, umumnya orang-orang menyimpan sari buah anggur, yang kemudian difermentasi, ke dalam kantong kulit binatang. Biasanya, kantong yang dipakai terbuat dari kulit kambing. Ketika anggur itu disimpan di kantong kulit, proses fermentasi itu terjadi. Jadi, sari buah anggur itu lambat laun akan menjadi wine atau anggur yang terfermentasi. Ketika proses fermentasi terjadi, kantong kulit itu meregang dan lambat laun itu akan mengeras atau kehilangan elastisitasnya untuk meregang.

Ketika kantong anggur itu sudah kehilangan elastisitasnya dan sudah tidak dapat meregang lagi, jika kemudian diisi lagi dengan anggur yang masih baru, kantong tersebut akan sobek dan anggurnya akan tumpah dan terbuang percuma. Kantong itu pun tidak dapat digunakan kembali. Intinya, wadah yang digunakan sudah sobek dan tidak layak pakai.

Anggur baru ini sebenarnya melambangkan sesuatu yang ilahi dari Tuhan, yang belum pernah kita terima atau alami sebelumnya. Contohnya, mungkin berupa hikmat atau pengertian yang Tuhan bukakan, berkat-berkat yang mungkin tidak terpikirkan, sistem yang baru, strategi yang baru, dan lain sebagainya. Kemudian, kantong kulit yang tua itu dapat melambangkan sistem keagamaan yang sudah diikuti oleh orang-orang Yahudi dalam waktu yang sudah sangat lama, bahkan sudah bercampur menjadi tradisi manusia. Jadi, orang yang sudah terikat dengan sistem, kebiasaan, atau tradisi yang sudah lama, pada umumnya sulit diubah. Dengan kata lain, mengubah kebiasaan itu tidak mudah dilakukan.

Pada zaman Tuhan Yesus, banyak orang Yahudi dan orang-orang Farisi yang sudah terbiasa dengan tradisi mereka sehingga sulit bagi mereka untuk menerima sebuah keadaan yang berbeda. Fleksibilitasnya mereka kurang ketika terbiasa dengan suatu tradisi, termasuk murid-murid Yohanes Pembaptis, mereka sudah terbiasa berdoa puasa. Mereka melihat Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya tidak berpuasa dan tidak melakukan tradisi yang sama dengan yang mereka lakukan. Padahal, mereka tidak mengerti situasi berbeda akan dihadapi ketika Tuhan yang telah mereka nantikan saat itu sudah datang dan membawa situasi yang berbeda.
 
Kali ini, masalahnya adalah mereka terikat tradisi berpuasa. Tradisi tersebut tidaklah salah. Namun, menjadi salah ketika mereka memiliki niat untuk menghakimi orang yang tidak mengikuti tradisi yang mereka pandang sebagai sebuah kebenaran. Oleh karena itu, mereka mempertanyakan alasan murid-murid Yesus tidak berpuasa, sementara murid-murid orang Farisi berpuasa. Kita perlu mengingat bahwa aneka macam ritual dalam Taurat dan kitab para nabi itu melambangkan tentang pengorbanan Tuhan Yesus. Akan tetapi, mereka terlalu terpaku pada ritual dan tradisi. Jadi, ketika Tuhannya benar-benar datang, mereka gagal mengerti dan terlalu kaku dengan tradisi yang sudah berakar selama ratusan tahun. Ketika Tuhan Yesus yang mereka nantikan selama ribuan tahun itu benar-benar datang, mereka tidak siap. Mereka terhalang untuk menerima sebuah berkat yang sesungguhnya. Mereka tidak siap menerima kebenaran dan prinsip hidup yang Tuhan Yesus ajarkan. Dengan demikian, Tuhan menegur mereka dengan berkata bahwa anggur yang baru itu jangan diisikan di dalam kantong kulit yang tua.

Akan tetapi, mereka justru merasa terancam. Mereka memandang bahwa pelayanan Yesus itu sebagai ancaman bagi mereka. Kita melihat bahwa Tuhan Yesus ini sedang berurusan dengan kelompok-kelompok orang-orang yang sudah terlalu kaku. Kelompok orang dengan tradisi yang digambarkan seperti kantong anggur dan sudah kehilangan elastisitasnya, tidak dapat diberi pengertian yang baru, strategi yang baru, berkat yang baru, cara-cara yang baru, atau bahkan situasi atau keadaan yang baru.

Situasi serupa juga terjadi di gereja zaman modern yang bisa terikat dengan tradisi. Gereja zaman ini juga, jika tidak berhati-hati, terus mempertahankan cara-cara pelayanan dan bahasa-bahasa yang sama, enggan berbicara dengan bahasa-bahasa yang baru. Padahal, Tuhan juga dapat menyediakan bagi gereja-gereja pada zaman modern ini suatu anggur yang baru, berupa apa? Mungkin sistem pelayanan yang baru atau cara-cara pelayanan yang baru. Jika kita sudah terlalu terbiasa dengan sistem dan cara-cara yang lama, kemudian menolak mempergunakan berkat-berkat baru yang Tuhan sediakan, kita akan kehilangan berkat atau kesempatan itu karena sulit beradaptasi dengan perubahan.
 
Apa saja perubahan yang dihadapi? Dengan adanya perkembangan teknologi sekarang ini, cara-cara pelayanan yang baru juga disediakan Tuhan bagi kita. Bayangkan, zaman dahulu orang memberitakan kabar baik atau menginjili dengan bertemu secara langsung dan harus meluangkan banyak waktu untuk mengobrol dengan orang satu per satu. Namun, pada zaman sekarang ini, kita tidak harus berjumpa secara langsung atau fisik di lokasi dengan adanya teknologi atau dunia maya.
 
Kita akan melihat fakta-fakta perkembangan teknologi yang ada. Pertama, media sosial. Pada tahun 2020, akses masyarakat Indonesia ke media sosial ada direntang usia 16 sampai 64 tahun. Peringkat pertama akses adalah YouTube. Kedua, WhatsApp dan Instagram. Ketiga, Facebook dan Twitter, dan selanjutnya TikTok. Persentase YouTube bahkan hampir 94% orang Indonesia. Kemudian, 87,7% orang Indonesia di usia 16-64 tahun senang mengakses WhatsApp. Ini angka yang sangat besar.

Berikut deretan media sosial terpopuler pada awal 2023. Facebook ditonton oleh tiga miliar orang di seluruh dunia. YouTube oleh dua setengah miliar. Jika populasi dunia itu sekitar tujuh miliar orang, maka setengah populasi dunia memiliki Facebook, dan setengahnya mengakses Youtube. Kemudian, ada TikTok itu mengejar dengan cepat di 1,1 miliar. Jumlah pengguna media sosial di seluruh dunia pada Januari 2013 hingga Januari 2023, atau dalam kurun waktu 10 tahun, adalah dari di bawah dua miliar, kini sudah mencapai hampir lima miliar orang di dunia. Jumlah ini sangat besar.

Bagaimana dengan di Indonesia? Jika di Indonesia ada 212,9 juta orang dan mereka punya akses ke media sosial, apakah kita memandang hal ini sebagai kesempatan atau sebagai ancaman?

Banyak orang percaya atau orang Kristen dan yang belum Kristen melihat siaran ibadah agamanya masing-masing melalui internet. Misal, seseorang merasa malas menghadiri pertemuan ibadah karena mungkin belum mengerti pentingnya persekutuan, apalagi sudah terbiasa karena pandemi dan batasan pemerintah pada waktu itu, orang-orang sudah terbiasa beribadah secara daring. Kedua, ada orang-orang percaya yang terluka karena perlakuan sesama orang percaya lainnya atau pemimpin gereja mereka sehingga mereka menghindari pertemuan luring. Namun, mereka menyadari perlunya firman Tuhan sehingga tetap beribadah secara daring melalui internet.

Ketiga, mungkin ada orang-orang yang memiliki halangan atau keterbatasan fisik. Misal, orang-orang yang mungkin kesehatannya kurang baik, beberapa jemaat yang usianya sudah sangat tua, mereka yang terbaring di rumah sakit, dan lain sebagainya. Keempat, orang yang bekerja di daerah-daerah yang mungkin jauh dari gedung gereja sehingga mereka tidak dapat datang secara fisik ke gereja itu. Ada pun halangan-halangan yang lain, misalnya ada orang yang memiliki aktivitas-aktivitas yang sudah mereka upayakan untuk pergi ke gereja, tetapi tidak bisa, sehingga mereka juga bisa beribadah secara daring. Atau, ada orang-orang non-Kristen yang mencari tahu tentang kekristenan, kemudian mereka membuka laman gereja dan mencari tahu dari YouTube, TikTok, atau Instagram.

Ada banyak sekali orang yang melihat siaran ibadah atau renungan firman Tuhan untuk mencari tahu informasi tentang kekristenan menggunakan teknologi. Kita mengerti bahwa zaman dahulu, terkadang tidak semua orang mau menerima berita Injil. Lantas, dengan adanya perkembangan teknologi, bagaimana kita memandangnya saat ini? Apakah ini peluang atau ancaman? Ini bergantung dengan cara kita memandangnya. Jika kita memandangnya sebagai ancaman, misalnya tersebarnya berbagai macam pengajaran yang mungkin secara doktrinal tidak sehat di internet, kita akan terus melihat dari sisi negatifnya. Ketika kita melihatnya sebagai ancaman, sebetulnya hal ini dapat dimanfaatkan oleh orang lain yang memahaminya sebagai peluang. Contohnya, selama ini kita melihat konten Tik Tok diisi oleh orang-orang yang menari-nari di depan kamera HP. Padahal, beberapa tahun terakhir, banyak anak muda mencari kebenaran itu di situ. Mereka mencari-cari pengajaran tentang Trinitas atau Tritunggal, tentang perpuluhan, tentang pemahaman Alkitab, tentang hal-hal praktis yang mereka butuhkan. Bahkan, ada generasi anak-anak muda berusia belasan tahun melihat Tik Tok sebagai sebuah hal yang benar. Bayangkan, jika orang-orang Kristen yang memiliki doktrin yang benar tidak memanfaatkan teknologi, anak-anak muda akan mencari kebenaran di Tik Tok. Mereka telah menganggap hal-hal yang mereka dengar sudah benar tanpa memiliki informasi yang berimbang. Padahal, mereka bertemu dengan orang-orang dengan doktrin yang tidak sehat. Tentu, ini sangat berbahaya.
 
Banyak orang yang mulai menyerang kekristenan dengan media-media sosial tersebut. Jika hamba-hamba Tuhan terus memandang semua ini sebagai ancaman, mereka akan mengabaikan peluang yang Tuhan berikan. Hal ini terutama karena media tersebut dapat merusak generasi muda pada khususnya, dan orang-orang Kristen pada umumnya.

Walaupun demikian, tetap ada hamba-hamba Tuhan yang memiliki pola pikir bahwa media sosial sebagai peluang penginjilan. Contohnya ada satu riset yang dilakukan oleh Bilangan Research. Data dari lamannya menunjukkan bahwa dari kalangan hamba Tuhan di aliran gereja-gereja 'mainstream' sebanyak 33,1% mengaku tidak peduli atau abai, bahkan tidak mengerti dengan pelayanan media sosial. Sementara itu, sebanyak 49,7% reaktif atau mulai bereaksi dengan teknologi, tetapi mereka belum melakukan apa-apa. Sementara itu, hanya 14,4% 'climber' artinya mereka mulai belajar menggunakan media sosial. Terakhir, hanya 3,1% dari kalangan hamba Tuhan di gereja-gereja 'mainstream' sudah terbiasa atau sudah ahli menggunakan media sosial.

Dari sini, kita mengenal adanya "digital mindset", khususnya untuk pelayanan perkabaran Injil. 'Digital mindset ini diukur dalam empat segmen hamba Tuhan. Pertama, kelompok 'ignorer' atau mengabaikan sama sekali ada 28,3%, dan yang reaktif sebanyak 47,2%. Sementara itu, hanya sekitar 17,1% dan 7,3% yang sudah mulai belajar atau sudah ahli menggunakan platform media sosial di 'digital ministry'. Dengan demikian, hanya sekitar 20% hamba-hamba Tuhan yang sudah mulai menggunakan pelayanan digital. Dengan demikian, jika hanya sedikit pekerja-Nya yang menggunakan pelayanan digital, bagaimana jemaat Tuhan atau orang-orang percaya di seluruh Indonesia mencari kebenaran? Di gereja, mereka mungkin sungkan untuk bertanya secara langsung kepada pemimpin atau pendeta-pendetanya. Atau, mungkin mereka melihat pemimpin-pemimpinnya begitu sibuk. Kemudian, mereka mulai mencari jawaban di media sosial dan bertemu dengan pengajaran yang salah yang malah menyesatkan mereka. Ini menjadi sebuah masalah nyata di dunia pelayanan.

Banyak jemaat, yang sekalipun sudah Kristen, tetapi masih bingung soal doktrin keselamatan, persembahan, atau mungkin ada orang yang terbeban dengan dunia roh, dan lain sebagainya. Jika mereka tidak menemukan akses informasi berimbang, dan kita hanya berdiam diri, kita pun sebenarnya sedang mencelakai mereka. Oleh karena itu, sebaiknya kita melihat kedua sudut pandang, baik sebagai peluang maupun sebagai ancaman. Kita tidak harus menjauhi karena melihatnya sebagai ancaman. Akan tetapi, marilah kita melihatnya dengan cara yang berimbang, yaitu sebagai peluang. Mengapa? Karena ini akan menjadi kemajuan bagi pekerjaan Tuhan. Mereka mungkin pada awalnya menjadikan media sosial sebagai ancaman, tetapi kemudian mereka mau bergerak dan kemudian mulai menyediakan informasi yang berimbang. Media sosial sebenarnya bukan sekadar memiliki ancaman ajaran sesat dan berbahaya, tetapi juga dapat menjadi peluang bagi kita untuk mengajar mereka menemukan informasi yang baik.

Lantas, bagaimana sikap kita? Kita menjauhi atau memanfaatkannya dengan bijaksana? Mari kita lihat di kitab Kisah Para Rasul pasal 17. Sikap Rasul Paulus dalam memanfaatkan peluang dengan pergi berdiri ke atas Areopagus dan berkata, "Hai orang-orang Atena, aku mengamati bahwa dalam segala hal kamu sangat religius. Sebab, ketika aku sedang berkeliling dan memperhatikan benda-benda yang kamu sembah, aku juga menjumpai sebuah altar dengan tulisan ini, ‘KEPADA ALLAH YANG TIDAK DIKENAL.’ Karena itu, apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang aku beritakan kepadamu (Kisah Para Rasul 17:22-23, AYT). Jika ada orang Kristen yang melihat patung tersebut sebagai berhala dan memintanya untuk segera dibakar atau dimusnahkan, orang-orang yang berjumpa dengannya akan merasa bahwa orang Kristen ini kolot dan memantik kebencian. Akan tetapi, sikap Rasul Paulus ketika ia pergi ke sebuah kota bernama Athena di mana ada banyak sekali patung adalah melihat sebuah kesempatan. Paulus justru memanfaatkan peluang dengan bijaksana dan tidak menyerang budaya politeismenya orang-orang Athena. Akan tetapi, ia memanfaatkan peluang untuk memberitakan Kabar Baik. Singkat cerita, Paulus memiliki kesempatan memberitakan Tuhan Yesus Kristus di sidang itu. Dijelaskan bahwa orang-orang di sana tidak memiliki waktu untuk mendengar hal-hal yang bagi mereka tidak menarik. Mereka lebih senang mengobrol tentang hal-hal yang baru. Paulus memahami hal ini, maka ia memakai peluang ini, tanpa mempermasalahkan budaya politik mereka. Hasilnya adalah sebagian di antara mereka akhirnya percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan. Jadi, memanfaatkan teknologi dengan bijaksana. Ada gereja-gereja yang bersedia menggunakan perkembangan teknologi dengan bijak, tetapi masih ada yang masih memandangnya sebagai ancaman.
 
Kita perlu mengingat satu fakta bahwa pada saat mesin cetak pertama kali diciptakan di Eropa, Alkitab adalah buku pertama yang dicetak dengan mesin tipe bergerak atau "moveable", yaitu Alkitab Latin Vulgata oleh percetakan Johannes Gutenberg pada 1455. Bukankah sejak itu akses masyarakat terhadap Alkitab menjadi cepat sekali? Ini menjadi satu contoh menggunakan teknologi dengan bijaksana. Gereja-gereja tahun 1400-an telah memanfaatkan teknologi percetakan, begitu juga dengan teknologi 'online' atau media sosial saat ini.
 
Bagaimana kita memanfaatkan teknologi dengan bijaksana?

1. Dengan menghormati undang-undang dan etika.

Kita dapat melihat prinsip Rasul Paulus yang ia ajarkan kepada Timotius, "Hindarilah perdebatan yang bodoh dan tidak berpengetahuan karena kamu tahu bahwa hal itu akan mendatangkan pertengkaran.Pelayan Tuhan haruslah tidak bertengkar, tetapi ramah dengan semua orang, terampil mengajar, dan sabar, dengan lembut mengoreksi lawannya. Semoga Allah menganugerahi mereka pertobatan yang menuntunnya kepada pengetahuan akan kebenaran supaya mereka menjadi sadar dan melepaskan diri dari jebakan Iblis yang telah menawan mereka untuk menjalankan keinginannya." (2 Timotius 2:23-26, AYT). Jadi, kita harus memanfaatkan teknologi dengan bijaksana ketika kita membuat konten-konten pengajaran. Misal, konten-konten renungan atau konten-konten yang berbicara soal doktrinal, dan lain sebagainya. Kita harus memperhatikan undang-undang yang berlaku agar tidak bertabrakan dengan hukum, contoh menyerang agama dan kepercayaan orang lain, atau melanggar etika-etika umum. Secara umum, etika harus kita hormati agar tidak bermasalah dengan hukum yang berlaku di negara kita.

2. Kita harus belajar untuk meningkatkan diri.

Sekalipun, kita pakar atau ahli dalam satu bidang tertentu, kita tetaplah murid yang bodoh dalam hal yang baru bagi kita. Misalnya, seorang dokter tahu soal kesehatan atau seorang pendeta soal teologi, tetapi bicara soal teknologi mobil terbaru atau teknologi untuk membuat karya seni yang bagus, sesuatu yang betul-betul baru diketahu, maka kita tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut. Jadi, kita harus belajar untuk meningkatkan diri dan belajar kepada ahlinya. Termasuk meminta pertolongan untuk menggunakan media-media teknologi yang ada.

Jadi kita harus belajar dengan rajin untuk memanfaatkan teknologi. Orang-orang terkesan dengan hikmat Salomo sewaktu ia menghadapi dua orang ibu yang memperebutkan anak. Dalam 1 Raja-raja 3 Salomo berkata, 'Berikanlah kepadanya bayi yang hidup itu jangan sekali-kali membunuh dia, dia itulah ibunya. Ketika seluruh orang Israel mendengar keputusan hukum yang diberikan raja, maka takutlah mereka kepada raja sebab mereka melihat bahwa hikmat daripada Allah ada dalam hati Salomo untuk melakukan keadilan." Zaman itu, tidak ada teknologi DNA untuk menentukan ibu bayi tersebut. Akan tetapi, Salomo mendapatkan hikmat Tuhan untuk menemukan ibu yang sebenarnya. Salomo memiliki hikmat yang hebat karena ia diberkati Tuhan dengan hikmat itu. Ia juga banyak belajar karena hikmat merupakan sebuah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan yang kita miliki dalam situasi yang tepat untuk menemukan solusi yang tepat. Jika kita malas belajar, kita tidak mau mencari pengetahuan yang baik dan kita menjauh dari hikmat. Namun, jika kita mau belajar sungguh-sungguh, Tuhan mendapatkan hikmat dan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan yang kita pelajari untuk menemukan solusi yang tepat. Jadi ada banyak cara untuk memberitakan Injil dan melakukan apologetika atau pembelaan iman kita.
 
Banyak orang Kristen yang mungkin tidak memiliki akses yang cukup kepada pendetanya. Satu pendeta mungkin melayani sekian banyak orang. Ada orang-orang yang mau mencari informasi dan mencoba menemukan pendeta lain yang memiliki cara bicara yang lebih komunikatif dan betul-betul dapat mereka pahami.
 
Sementara ini, orang-orang yang belum percaya juga mencari-cari informasi tentang kekristenan lewat media sosial. Mereka enggan berjumpa secara langsung mungkin karena takut dengan keluarganya atau belum ada kenalan. Ketika mereka mencari di media sosial beberapa kali, akhirnya mereka menemukan jalan untuk mengenal Tuhan.

Oleh karena itu, pertama mari kita manfaatkan teknologi dengan melihatnya sebagai peluang agar kita dapat semakin mengurangi ancamannya. Kedua, manfaatkan teknologi dengan bijaksana dan tetap menghormati undang-undang dan etika. Ketiga, kita belajar untuk terus meningkatkan diri. Kita mungkin perlu belajar cara meningkatkan jumlah "subscriber" atau "follower" dan lain sebagainya pada orang-orang yang sudah biasa melakukannya. Dengan demikian, kita harus melihat ini sebagai peluang yang baik dan manfaatkan dengan bijak sehingga kita dapat menggunakan perkembangan teknologi untuk pemberitaan kabar baik dan apologetika, serta lain sebagainya.