ARTIKEL GoGrow! Biblical Counseling Digitally

Dalam konseling, yang paling penting bukanlah memberi solusi kepada konseli. Sebab, jika demikian, ketika masalah datang lagi ke dalam hidupnya, ia akan kembali kepada kita. Konseling adalah menyiapkan klien untuk berproses. Konselor seringkali tidak memberikan solusi, tetapi ketika konseli sudah mengenal respons-respons mereka selama ini, ia akan siap berproses bersama Tuhan ketika mengalami pergumulan di posisi yang dialaminya.

Apa itu "Biblical Counseling Digitally"?

Tema mengenai Biblical Counseling Digitally merupakan tema yang menarik. Jadi, ada dua hal yang penting yang akan dibahas. Pertama, mengenai konseling Kristen, lalu yang kedua mengenai cara itu dilakukan secara digital. Pelayanan konseling sudah menjadi sesuatu yang biasa dan tak terpisahkan dari gereja. Pelayanan ini juga dikenal dengan "biblical counseling", pastoral konseling, atau konseling Kristen. Dengan kata lain, konseling yang dimaksud adalah konseling yang berdasarkan pada Alkitab.

Namun, sebenarnya "biblical counseling" ini adalah suatu gerakan perlawanan terhadap praktik-praktik psikologi yang dilakukan di dalam gereja. "Biblical counseling" mulai populer sekitar tahun 1970-an ketika gereja mulai menggunakan ilmu psikologi di dalam konseling dan dianggap 'membuang' Alkitab di dalam proses konseling. Jadi, timbullah suatu gerakan untuk menarik kembali satu aset yang besar, yaitu Alkitab. Tentu saja, Alkitab menjadi pedoman hidup dan menolong kita dengan mengarahkan domba-domba Tuhan atau jemaat dengan tujuan untuk membangun tubuh Kristus. Lebih praktisnya, penggunaan Alkitab di dalam konseling dilakukan untuk menolong konseli supaya mereka dapat berespons secara benar terhadap panggilan Tuhan. Untuk itu, kita perlu mengingat bahwa kita ini adalah umat Tuhan yang merespons panggilan Tuhan dalam konteks hidup yang Ia sediakan sesuai dengan keunikan pergumulan dan juga keunikan diri kita. 

Namun, dalam praktiknya, konselor-konselor dari kelompok biblikal, kelompok pastoral, dan kelompok konseling Kristen terbagi menjadi dua kubu, yaitu kelompok yang ketat dengan Alkitab dan kelompok yang menggunakan psikologi sebagai "tools" yang lebih kuat.

Ada satu praktik konseling yang perlu kita waspadai, yaitu yang disebut sebagai "shadow biblical counseling". Praktik konseling ini bahkan mungkin sekali untuk dilakukan di gereja. Praktik ini terdengar sangat biblikal, dimulai dengan doa dan diakhiri dengan doa dalam sepanjang proses konseling. Ayat-ayat juga banyak dibicarakan, dengan menggunakan istilah-istilah buah roh, seperti dosa, ketaatan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebenarnya prinsip-prinsipnya tidak biblikal dan lebih kepada "judgemental" atau tidak mau memahami situasi konselinya. Jadi, ini yang disebut sebagai "shadow biblical counseling". Kemasannya "biblical", tetapi sebenarnya esensinya tidak demikian.

Dua Kubu Konseling Kristen

Untuk memahami lebih jelas pedoman dari konseling Kristen, kita akan melihat dua kubu seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kubu yang pertama pedomannya adalah Alkitab, sementara kubu yang lain pedomannya adalah ilmu psikologi. Rata-rata, konselor Kristen lebih condong kepada satu kubu, sementara yang lain pada kubu satunya. Konselor yang sepenuhnya menekankan hanya kepada Alkitab, jika diperhatikan akan menggampangkan dan men-generalisasi pergumulan konselinya. Misalnya, ketika pergumulan konseli adalah melakukan perselingkuhan maka itu artinya ia tidak setia terhadap pasangannya. Jika anak memberontak kepada orang tua, itu artinya anak itu tidak taat sehingga ia harus segera bertobat. 

Dalam kasus ini, perselingkuhan dan pemberontakan memang benar adalah tindakan ketidaktaatan, tetapi jika konselor menganggap semua permasalahan memiliki penyebab yang sama, akibatnya proses konseling gagal menyiapkan konseli untuk berproses sesuai dengan keunikan diri dan pergumulannya masing-masing. Ketika seseorang dihadapkan dengan suami yang melakukan perselingkuhan, kita perlu memerhatikan keunikan pergumulannya, misalnya ia adalah seorang ibu memiliki anak yang masih kecil dan tidak bekerja. Dengan memahami keunikan pergumulannya, proses konseling akan menolong klien dapat memahami keunikan pergumulan dan keunikan dirinya sehingga ia dapat berespons secara lebih utuh, tidak semata-mata mengutip perkataan di dalam Alkitab. 

Sementara itu, konseling yang berfokus hanya kepada sisi psikologi maka tujuan akhir dari konseling itu adalah "well being". "Well being" merupakan kesejahteraan psikologis. Jadi, misal sebelumnya mengalami stres, setelah konseling sudah bisa tertawa lagi, bisa berfungsi dengan baik, dan bisa bertemu dengan teman kembali. Proses konseling ini dianggap sudah berhasil sehingga gereja tidak diperlukan lagi. Dengan menggunakan proses konseling yang berpusat kepada diri sendiri, konseli mungkin akan merasa lebih baik setelah konseling. Akan tetapi, meskipun secara psikologis ia menjadi lebih baik, ia tidak dapat memenuhi panggilan Tuhan sesuai dengan keunikan pergumulan dan pribadinya. Mengapa? Karena panggilan Tuhan bukan menjadi sesuatu yang penting di dalam proses konseling. 

Jadi, jika konseling secara ekstrem berada pada kedua kutub ini, masing-masing memiliki kelemahannya. Padahal, sebenarnya proses konseling akan menjadi lebih baik jika kita melihat Alkitab dan ilmu psikologi dalam perannya masing-masing. Alkitab menjadi arah dan pedoman untuk menjadi prinsip-prinsip konseling. Sementara itu, ilmu psikologi menjadi alat untuk memahami pribadi klien. Dengan siapa kita bertemu? Seperti halnya Paulus yang memahami kita bertemu dengan orang Yahudi atau orang Yunani. Apakah kita ini bertemu dengan seorang yang bisa makan makanan keras atau dengan bayi rohani yang baru bisa minum susu? Dengan menggunakan Alkitab sebagai dasar pedoman dan prinsip, serta ilmu psikolog sebagai alat untuk memahami diri, kita dapat melakukan proses konseling untuk menolong klien semakin peka terhadap panggilan Allah. Bukan hanya itu, ia juga dapat memahami keunikannya dengan mengenal dirinya, mengenal panggilannya, dan berespons sesuai dengan konteks pergumulannya. 

Konseling Kristen dan Alkitab

Berikut adalah contoh menggunakan peran Alkitab dan psikologi di dalam konseling. Misalnya, suatu himbauan dalam Ibrani 10:25b berkata, "Hendaklah kamu itu saling menasihati menjelang hari Tuhan yang semakin mendekat." Jika konseling dilakukan hanya untuk menasehati, biasanya ini tidak akan berhasil. Ketika bertemu dengan realita, banyak klien, terutama anak-anak muda, yang menjadi marah dan hidupnya tidak berubah karena merasa dihakimi ketika melakukan konseling di gereja. Sebuah kesaksian menyatakan bahwa banyak anak-anak muda yang datang dengan kemarahan karena merasa dihakimi di gereja, tetapi mereka merasa tidak dipahami. Bentuk-bentuk penjelasan, misal seks bebas yang dilakukan bukan karena kemauannya sendiri, dianggap sebagai pembelaan diri. Sementara itu, apa yang dikatakan oleh ilmu psikologi? Seseorang akan mau mendengar dan berubah jika ia dimengerti, bukan dihakimi. Realita ini menunjukkan bahwa Alkitab itu keliru dan cara psikologi lebih benar. Ketika kita menafsirkan atau menginterpretasikan Alkitab, kita tidak boleh hanya melihat pada satu bagian, tetapi pada satu prinsip. Karena itu, kita perlu melihat ke beberapa ayat supaya pemahaman kita menjadi lebih utuh.
 
Salah satu contoh konseling yang baik adalah yang dilakukan oleh Tuhan Yesus kepada perempuan Samaria dari Yohanes 4:1-42. Ketika Tuhan Yesus bertemu dengan perempuan Samaria, Ia tahu bahwa perempuan itu adalah perempuan berdosa yang memiliki banyak suami. Bahkan, dikatakan bahwa lelaki yang tinggal bersama dengannya bukanlah suaminya. Melalui firman Tuhan, kita dapat belajar bahwa ternyata Tuhan Yesus tidak secara langsung menasehati atau menegur perempuan itu. Ia mengawalinya dengan meminta air minum. Perempuan itu langsung kaget karena orang Yahudi tidak mungkin meminta minum kepada orang Samaria. Hal yang tidak biasa terjadi kemudian adalah Yesus membuat perempuan itu mengakui bahwa ia memiliki banyak suami. Setelah kebenaran itu dinyatakan, akhirnya Yesus menantang perempuan itu sehingga memunculkan perdebatan. Melalui peristiwa ini, kita melihat satu bagian ayat firman Tuhan tentang cara yang dilakukan oleh Tuhan Yesus ketika Ia hendak menegur seorang perempuan berdosa. 

Dari sana, kita belajar bahwa kita dapat mulai melakukan praktik konseling dengan membangun relasi untuk memahami klien. Misalnya, dalam kasus seorang laki-laki yang melakukan perselingkuhan, kita perlu memahami alasan ia melakukannya. Sebagian besar klien akan memberi pembelaan diri sehingga mentoleransi perselingkuhan tersebut. Namun, kita perlu memahami lebih dalam alasan sebenarnya, yang ternyata pasangannya selama ini merendahkannya karena gaji yang kecil atau penampilan yang kurang dibandingkan teman-teman di kantor.

Ketika kita mencoba memahami, kita dapat memberikan suatu kesadaran kepada klien tentang situasi atau kondisi yang sebenarnya terjadi dengan keluarganya. Hal ini akan berbeda jika kita hanya menasehati dengan mengatakan bahwa ia sudah selingkuh dan harus bertobat. Masalah sebenarnya yang terjadi di belakangnya, yaitu relasi suami dan istri, sesungguhnya merupakan isu yang lebih penting. Karena itu, adalah penting untuk menggunakan ilmu psikologi dalam proses konseling karena menolong kita untuk memahami bahwa pria akan melawan jika egonya diserang. Sebagai konselor, kita juga perlu berupaya memunculkan kesadaran dari sang istri terhadap suaminya. Dengan demikian, pada akhirnya kita bukan hanya menghentikan perselingkuhan, tetapi proses rekonsiliasi di dalam keluarga itu juga dimungkinkan untuk terjadi. Menggunakan firman Tuhan yang mengharuskan klien untuk segera bertobat pada awal konseling, akan memunculkan mekanisme pertahanan. Jika ia adalah orang Kristen yang baik, hal itu justru akan memunculkan rasa bersalah serta perasaan bahwa dirinya tidak mampu menghadapi pasangan yang demikian secara terus-menerus, sehingga pembebasan yang dibutuhkannya justru tidak akan terjadi. 

Jadi, konselor Kristen perlu memahami diri klien, memahami persoalannya, memahami kesiapannya untuk berubah, serta menjadi cermin bagi klien untuk mengenal responnya selama ini. Kita membangun kesadaran bagi klien, setelah ia siap mendengar kebenaran, baru kemudian kita dapat menyampaikan nasihat. Jangan sampai klien menjadi antipati karena memiliki pengalaman kurang baik setelah merasa dihakimi menggunakan ayat-ayat di dalam Alkitab. 

Paulus menginspirasi kita ketika ia mengatakan bahwa di antara orang Yunani, ia menjadi seperti orang Yunani dan di antara orang Yahudi, ia menjadi seperti Yahudi menjadi seorang Yahudi. Paulus memosisikan diri dengan benar untuk memenangkan jiwa. Ini merupakan satu hal yang luar biasa. Begitu juga ketika kita menghadapi anak-anak muda, kita harus betul-betul berhikmat ketika ingin berbicara tentang Alkitab dan bersabar hingga beberapa kali pertemuan hingga ia dapat berinteraksi dengan firman.
 
Jika klien kita sudah dewasa secara rohani, kita dapat menggunakan banyak ayat dan membicarakan konsep-konsep rohani. Akan tetapi, jika ia masih bayi rohani, apalagi sudah memiliki kekecewaan dengan gereja, kita perlu menahan diri untuk tidak menyampaikan ayat-ayat Alkitab selama proses konseling, hingga klien siap. Ketika ia sudah siap, seperti kitab Amsal mengatakan bahwa hikmat firman itu seperti apel emas di atas piring perak. Inilah kerinduan kita di dalam proses-proses konseling yang Tuhan izinkan.

Hal paling penting dalam konseling bukanlah berarti memberikan solusi kepada klien sampai nanti ia kembali ke hidupnya dan kembali kepada kita jika masalah datang lagi. Namun, konseling itu menyiapkan klien untuk berproses bersama dengan Tuhan. Inilah salah satu gambaran mengenai peran Alkitab dan ilmu psikologi di dalam konseling.

Memahami "Digital Counseling"

Lantas, bagaimana kita melakukan "digital counseling". "Digital counseling" merupakan sebuah intervensi terapeutik yang menyembuhkan dan memberikan kemenangan serta dilakukan dengan media komunikasi atau komputer, khususnya melalui handphone. Jika kita melihat bentuknya, "digital konseling" ini ada yang dilakukan secara sinkronus di mana konselor dan klien berinteraksi secara real time, ada juga yang dilakukan secara asinkronus (tidak real time). Biasanya, konseling ini dilakukan dengan percakapan (chat) melalui laman lembaga konseling dengan mengetik permasalahan yang dihadapi kemudian saat petugas piket bertugas, ia akan membalas pesan tersebut satu per satu. 

Ketika klien sedang online, proses tanya jawab dapat berlangsung secara sinkronus. Namun, untuk pesan yang dikirim pada akhir minggu mungkin akan dibalas pada minggu berikutnya. Klien yang sebelumnya mengalami stres, mungkin sudah melupakan masalahnya ketika pesan dibalas. Hal ini menjadi kekurangan proses konseling yang asinkronus. Tanpa mengecilkan banyak duka yang terjadi, masa pandemi sebenarnya juga telah memberikan berkat bagi pelayanan konseling, misalnya dengan maraknya penggunaan Zoom, Skype, dan platform video call lainnya, yang memungkinkan pelayanan konseling sinkronus atau bertatap muka secara live.

Apa peluang dari pelayanan "digital konseling"? Pelayanan "digital konseling" menjadi begitu powerful, sangat luas, dan murah secara ekonomi. Kita bahkan dapat melayani klien yang berada di luar pulau, bahkan luar negeri, hanya dengan duduk di depan layar. Walaupun kebutuhan konselor masih sangat terbatas, terutama konselor di daerah-daerah kecil, kabar baiknya adalah infrastruktur jaringan internet di negara ini semakin memadai serta ada banyak konselor muda yang mulai membuka layanan konseling digital. Mereka tidak membutuhkan ruang kantor, customer service, dan lain-lain karena semuanya sudah ada di dalam aplikasi. Konselor dan klien pun dapat tetap berada di rumah. Selain itu, secara psikologis, konseling digital akan menolong klien-klien yang sulit terbuka, mengalami defisiensi emosional, atau lebih sulit untuk mengekspresikan emosi sehingga klien yang mungkin masih ragu mengikuti sesi konseling akan merasa lebih aman untuk bercerita.

Tantangan-Tantangan dalam Konseling Digital dari Sisi Klien

Namun, ada beberapa tantangan yang dihadapi. Pertama, kesulitan untuk fokus dan adanya distraksi selama sesi konseling online. Konseling digital biasanya dilakukan di rumah masing-masing sehingga akan ada banyak sekali kemungkinan distraksi, baik dari pihak klien maupun konselor. Kedua, masalah jaringan. Ketiga, kesiapan klien. Klien yang tidak siap dapat berpindah-pindah ke platform atau urusan yang lain selama sesi konseling. Ini akan berbeda dengan konseling onsite. Klien harus memakai pakaian yang rapi dan mungkin selama perjalanan masih bisa memikirkan tentang hal-hal yang perlu dibicarakan dengan konselornya sehingga ketika berjumpa, klien menjadi jauh lebih siap. Tantangan selanjutnya adalah keterbatasan ekspresi. Gerakan dan tindakan klien, serta respons dari konselor menjadi penting selama proses konseling sebagai bentuk perhatian yang memberikan kelegaan bagi klien. Proses semacam itu akan hilang semua ketika kita melakukan konseling digital.

Kemudian, juga ada impresi manajemen ketika klien menampilkan dirinya kepada konseli. Ada klien yang menampilkan dirinya begitu lusuh supaya konselor merasa kasihan. Namun, ada juga yang mencitrakan dirinya seolah-olah tegar dan sangat rapi . Ada juga klien yang anonim atau mengganti nama mereka yang mungkin terjadi di dalam proses digital. Ini merupakan masalah impresi manajemen dan anonimitas yang dampaknya dapat dirasakan secara psikologis.

Tantangan-Tantangan dalam Konseling Digital dari Sisi Konselor

Bagi konselor, ada kesulitan untuk menangkap "que". "Que" adalah tanda-tanda atau bahasa yang tidak terkatakan, tetapi dapat dilihat dari bahasa tubuh. Misal, perubahan emosi akan sangat terasa ketika konseling onsite, terutama bagi konselor berpengalaman. Misal, pergeseran posisi duduk atau melipat tangan menunjukkan ada sesuatu yang terjadi. Namun, konselor menjadi kesulitan menangkap isu-isu penting secara utuh ketika konseling dilakukan secara online.

Pada kasus-kasus yang khusus atau berat, sangat tidak disarankan untuk melakukan konseling secara online, kecuali terpaksa karena kendala lokasi yang jauh. Selain itu, juga bagi konselor yang kurang berpengalaman harus sangat berhati-hati karena tidak mudah melakukan konseling online. Jadi, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan ketika melakukan konseling digital. Pertama, konselor harus ingat bahwa konseling merupakan suatu terapiotik proses. Konseling bukan hanya transfer informasi tentang sesuatu yang kita tahu benar, tetapi suatu proses yang menyembuhkan. Karena itu, interaksi dengan klien menjadi proses yang sangat penting. Khususnya dalam konseling Kristen, konselor perlu terus mengevaluasi pelayanannya di hadapan Tuhan, mengalami pimpinan firman Tuhan selama proses konseling, serta terus-menerus memahami sisi psikologis klien.
 
Kedua, konseling juga membutuhkan skill. Konseling digital sebenarnya memerlukan skill konselor yang lebih baik. Namun, justru mereka yang kurang berpengalaman lebih berani untuk melakukan konseling digital, padahal tidak ada interaksi langsung. Kita harus berhati-hati dengan jebakan merasa kompeten hanya karena merasa sudah mendapat banyak informasi dari Google atau internet. Ketiga, ada satu hal yang perlu menjadi perhatian, yaitu batas. Konseling digital memang memberikan peluang yang sangat besar, tetapi bukan tanpa keterbatasan. Konselor harus memahami kapan harus menahan diri dan juga memperhatikan kecocokan metode antara klien atau konselor. Ada konselor yang merasa tidak dapat melakukan konseling melalui chat. Mungkin, ada beberapa poin yang diharapkan dapat diperhatikan dalam satu kalimat percakapan. Namun, klien hanya memperhatikan poin A, padahal menurut konselor yang penting adalah poin B. Karena itu, konselor perlu mengenali dirinya dan mengetahui keterbatasannya sehingga klien dapat di konseli oleh konselor lain.

Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat menjadi kesimpulan adalah sebagai berikut. Pertama, peran Alkitab dan ilmu psikologi itu tidak dapat diabaikan di dalam konseling Kristen, termasuk di dalam konseling digital. Kedua, konseling digital merupakan peluang pelayanan yang besar, tetapi memiliki keterbatasan. Ketiga, diperlukan kesadaran dan upaya untuk mengantisipasi potensi kendala, terutama yang berkaitan dengan ketidakhadiran fisik.