Oleh: Odysius B. Temara dan Okti N. Risanti

Materi ini banyak membahas tentang kenikmatan (delight), kepuasan (desire). Ada pandangan dunia yang sangat populer tentang kenikmatan dan kepuasan ini, yang kita kenal dengan istilah "Hedonisme".

Mari kita lihat terlebih dahulu definisi Hedonisme dari beberapa sumber. KBBI mendefinisikan hedonisme sebagai paham yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Wikipedia mendefinisikan hedonisme sebagai pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Sementara itu, pada sisi lain, hedonisme merupakan satu filsafat yang cukup kuno dan tua, yang menganggap bahwa kesenangan dalam arti kepuasan dan keinginan adalah tujuan tertinggi yang baik dan tepat dalam kehidupan manusia.

Dalam nomor strong, akar kata dari kata 'hedonisme' ini disebutkan sebagai "hedone", yang berarti 'pleasure' serta "philledonos" yang berarti 'lover of pleasure' atau pecinta kenikmatan. Definisi hedonisme dari beberapa sumber serta nomor strong tersebut dapat kita simpulkan bahwa makna Hedonisme, yang berasal dari sudut pandang duniawi tersebut, merupakan pandangan yang tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab dan nilai-nilai Kristen.

Namun, ternyata ada pandangan tentang Hedonisme yang sangat alkitabiah dan sangat berguna bagi orang percaya. Pandangan ini dikemukakan oleh John Piper, seorang pendeta dari sebuah gereja yang cukup besar di Amerika, seorang penulis, dan pendiri pelayanan Desiring God. Dalam bukunya "Desiring God" yang diterbitkan pada 1986, Piper menyatakan bahwa Hedonisme ini menjadi hal atau pandangan yang baik dan sangat berpengaruh bagi kita sebagai orang percaya.

Nah, apa itu Hedonisme Kristen dan mengapa hal itu dapat mengubah pola pikir, cara hidup, serta pandangan orang percaya sehingga menjadi gaya hidup yang memuliakan Allah?

Pada awal pembahasannya, John Piper membagikan pergumulan yang ia miliki, yaitu ketika orang-orang Kristen mencari kepuasan, kesenangan, kebahagiaan, atau sukacita melalui cara apa pun, dipandangnya sebagai motif yang buruk dan bertentangan dengan Alkitab dan nilai-nilai Kristen. Namun, seiring dengan waktu, yang dibarengi dengan penyelidikan teologis, pendalaman Alkitab, serta pandangan dari tokoh-tokoh Kristen, Piper pun mengalami perubahan paradigma mengenai hedonisme. Mari melihat pandangan beberapa tokoh Kristen yang memengaruhi pemikiran dari John Piper mengenai hedonisme.

Yang pertama, pandangan dari Blaise Pascal, seorang ilmuwan ternama dari Perancis yang hidup dalam Tuhan. Dia berkata, "Semua orang mencari kebahagiaan. Semua orang, tanpa kecuali. Apa pun sarana yang mereka terapkan, mereka semua condong pada tujuan ini." Lalu, C.S. Lewis, seorang penulis dan apolog Kristen yang terkenal dan ternama, berkata, "Kita semua tidak hanya mencari, tetapi juga harus mencari kebahagiaan kita sendiri." Lebih jauh, Jeremy Taylor, seorang pendeta dari sebuah gereja di Inggris pada abad ke-13 mengatakan bahwa Allah mengancamkan hal-hal yang mengerikan jika kita tidak berbahagia. Itu adalah pandangan positif dari tokoh-tokoh Kristen tentang hedonisme, dalam konteks usaha pencarian manusia akan kebahagiaan.

Namun, bagaimana dengan pandangan Alkitab sendiri tentang kebahagiaan, kesenangan, atau sukacita ini?

Ada banyak sekali ayat dalam Alkitab yang mendorong kita untuk bersukacita, di antaranya adalah:

"Aku tahu bahwa tidak ada yang lebih baik bagi mereka daripada bersukacita dan berbuat baik dalam kehidupan." (Pengkhotbah 3:12, AYT)

"Bersukacitalah selalu dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan, bersukacitalah!" (Filipi 4:4, AYT)

"Hati yang bersukacita adalah obat yang baik, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang-tulang." (Amsal 17:22, AYT)

"Bersukacitalah selalu! Teruslah berdoa! Mengucap syukurlah dalam segala hal. Sebab, itulah kehendak Allah bagimu di dalam Kristus Yesus." (1 Tesalonika 5:16-18, AYT)

Tentu saja, masih ada banyak lagi ayat Alkitab yang mengumandangkan hal ini. Ini menjadi pernyataan jelas bagi kita bahwa bersukacita atau berbahagia adalah sesuatu yang baik, sesuatu yang tidak bertentangan dengan Allah, dan sesuatu yang justru dikehendaki Allah. Sebagai orang Kristen, kita sudah memiliki sukacita sejati, yang menjadi dasar kita untuk selalu merasakan damai sejahtera dalam Tuhan, apa pun kondisi dan situasi yang terjadi.

Jika sukacita atau pencarian akan kebahagiaan ini bukan pandangan yang salah atau bukan pandangan yang bertentangan dengan kebenaran Allah, mengapa sering kali hal ini justru berakhir atau terkait dengan perbuatan berdosa?

Mengenai hal ini, C.S. Lewis berkata, "Kesalahan kita bukan terletak di dalam intensitas dari keinginan kita untuk kebahagiaan, tetapi di dalam lemahnya keinginan ini." Apa artinya itu? Artinya, dalam kecenderungan kita yang berdosa, kita seringnya mencari kebahagiaan atau kesenangan yang dangkal, yang artifisial dari dunia ini, yang sifatnya hanya demi memuaskan nafsu keinginan duniawi dan kedagingan kita. Kita tidak mencarinya dalam Allah, yang justru merupakan sumber mendasar dari kebahagiaan kita. Ketika pecarian untuk kebahagiaan ini tidak berdasar, bersumber, dan bertujuan dari dan kepada Allah, maka ini adalah sesuatu yang menghina Allah, sesuatu yang berdosa. Dari sana, kita bisa melihat bahwa bukan pengejaran atas kebahagiaan, sukacita, atau kesenangan itu yang berdosa, melainkan sumber dan tujuan kebahagiaan kita yang bukan dari dan kepada Allahlah yang menjadikannya berdosa.

Dari sanalah, John Piper kemudian melihat bahwa hasrat akan Allah adalah visi yang perlu untuk dikejar dan diterapkan oleh orang percaya.

Mengapa?

Alasan ini terdapat dalam Katekismus Westminster yang menyatakan bahwa "Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dengan menikmati Dia selamanya."

Di sinilah, hasrat akan Allah bekerja untuk mencapai tujuan tersebut. Saat Allah menjadi tujuan dari kebahagiaan kita, bukannya sarana untuk mencapai tujuan yang lain, saat itulah kita paling dipuaskan oleh Allah. Dan, saat itulah, Allah justru paling dimuliakan dalam diri kita.

Inilah lima keyakinan yang menjadi dasar dari dibangunnya Hedonisme Kristen sebagai filsafat hidup orang percaya menurut John Piper:
1. Kerinduan untuk berbahagia merupakan pengalaman manusia sedunia, dan itu baik, bukan suatu dosa.
2. Kita jangan pernah mencoba untuk menyangkal atau menentang kerinduan kita untuk berbahagia, seolah-olah itu merupakan keinginan yang buruk. Malah sebaliknya, kita harus berusaha memperbesar kerinduan ini dan memeliharanya dengan apa pun yang akan menyediakan kepuasan yang paling dalam dan paling abadi.
3. Kesukaan yang paling dalam dan abadi hanya ditemukan dalam Allah. Bukan dari Allah, tetapi dalam Allah.
4. Kesukaan yang kita temukan dalam Allah mencapai kesempurnaannya ketika kesukaan itu dibagi dengan orang lain dalam kasih dengan berbagai cara.
5. Sejauh kita mencoba meninggalkan pengejaran atas kesenangan kita sendiri, kita gagal untuk menghormati Allah dan mengasihi manusia. Atau, mengatakannya secara positif: pengejaran atas kesenangan merupakan bagian penting dari semua ibadah dan kebajikan. Itu adalah "Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya".

Bagaimana penerapan Hedonisme Kristen dalam hidup, pelayanan, dan ibadah kita?

Ada aspek-aspek dari Hedonisme Kristen, yang dalam buku "Desiring God" dijelaskan dalam 10 bab. Kita akan melihatnya satu per satu secara singkat.

1. Kebahagiaan Allah.
Kebahagiaan Allah adalah pondasi dari Hedonisme Kristen. Dalam bagian ini, kita akan melihat 3 hal: Allah bersukacita dalam diri-Nya sendiri, Allah bersukacita karena Dia berdaulat, dan sukacita Allah menjadi pondasi dari Hedonisme Kristen.

a. Allah bersukacita dalam diri-Nya sendiri.
Bagaimana mungkin Allah bersukacita dalam diri-Nya sendiri? Ini sangat jelas dalam Alkitab karena Allah adalah pribadi yang paling sentris di alam semesta ini. Artinya, Dia adalah pribadi paling berpusat pada diri-Nya sendiri. Karena Allah itu sempurna, Allah itu Mahakuasa dan begitu hebat dalam semua jalan-Nya, akan sangat tidak adil bagi-Nya kalau ada sesuatu yang lain untuk dinikmati selain diri-Nya sendiri. Bahkan, tujuan utama Allah adalah untuk memuliakan Allah, yaitu dengan menikmati diri-Nya sendiri selama-lamanya. Jadi, kita bisa tahu bahwa Allah bersukacita menikmati diri-Nya sendiri.

b. Allah bersukacita karena Allah berdaulat.
Mazmur 115:3 berkata, "Allah kami ada di surga, Dia melakukan semua yang disukai-Nya." Kita mengetahui bahwa Allah itu Mahakuasa, bahkan Allah itu memiliki hak serta berkuasa, dan itu membuat-Nya bahagia. Tidak ada satu pun dari tujuan-tujuan-Nya yang bisa digagalkan.

Di satu sisi, Dia menikmati diri-Nya sendiri. Di sisi lain, Dia memiliki kuasa untuk menjadi bahagia, untuk memperoleh sukacita dalam kebahagiaan-Nya. Bagaimana dua hal ini menjadi pondasi untuk Hedonisme Kristen? Tujuan Hedonisme Kristen adalah kebahagiaan dalam Allah, sehingga sebagai orang Kristen, kita juga memiliki Hedonisme Kristen, yang berbahagia dan bersukacita dalam Allah dengan menghargai dan menikmati dalam persekutuan-Nya.

c. Sukacita Allah menjadi pondasi dari Hedonisme Kristen.
Bayangkan kalau Allah bukan pribadi yang berbahagia! Tentu, kita tidak bisa menikmati sukacita dalam Allah karena Allah sendiri tidak bahagia. Namun, kita bisa melakukannya karena Allah berbahagia. Yeremia 9:24 berkata, "Akulah Tuhan, yang menunjukkan kasih, keadilan, dan kebenaran di bumi. Sebab, dalam hal-hal itulah Aku senang." Inilah yang menjadi jaminan bagi kita ketika mencari sukacita dalam Allah.

Kita bisa bersukacita ketika kita datang untuk mencari pengampunan, sebab Allah akan menerima kita. Bahkan, Allah menunjukkan kasih dan keadilan karena hal-hal itulah yang menyenangkan Dia. Sukacita yang Dia rasakah ini melimpah sehingga menjadi belas kasihan bagi kita yang menerimanya. Jadi, sukacita Allah tertumpah dan akhirnya tersalurkan kepada orang-orang yang rindu menantikan Dia. Inilah alasan mengapa sukacita Allah menjadi pondasi dari Hedonisme Kristen karena sukacita-Nya tumpah ruah kepada semua orang yang haus kepada-Nya.

2. Konversi atau pertobatan.
Konversi atau pertobatan merupakan penciptaan seorang Hedonisme Kristen. Di sini, Piper berargumen bahwa proses konversi atau pertobatan itu tidak lain adalah proses dari seorang yang percaya menjadi seorang hedonisme Kristen. Dalam bagian ini, kita akan melihat mengapa konversi begitu krusial, serta apa yang dimaksud dengan konversi atau pertobatan itu sendiri.

Sebelum kita menghayati mengapa konversi atau pertobatan itu penting, kita perlu menyikapi realitasnya. Cerita ini tidak akan basi untuk diceritakan karena kita tahu bahwa manusia diciptakan dalam rupa Allah. Manusia diciptakan sangat baik, dengan memiliki kewajiban untuk hal-hal yang ditetapkan Allah, serta diperintahkan untuk menikmati relasi dengan Allah sebagaimana yang Adam lakukan awalnya di taman Eden bersama dengan Hawa.

Namun, Adam gagal karena dia jatuh dalam dosa sehingga kita pun sekarang ikut dalam kejatuhan manusia pertama tersebut dalam dosa. Kalau ceritanya tamat sampai di sini, sangat tragis, karena berakhir dengan tragedi. Syukurlah, ceritanya tidak sampai hanya di situ, sebab melalui kematian Kristus, Allah memuaskan cara bagi tuntutan-Nya tanpa menghukum seluruh manusia.

Karena kita sudah jatuh dalam dosa, kita harus dihukum setimpal dengan dosa kita agar memenuhi keadilan Allah. Namun, Allah punya cara agar kita tidak dihukum dengan tetap memenuhi tuntutan keadilan-Nya, yaitu melalui karya kematian Kristus di kayu salib. Namun, syarat untuk dapat menikmati hal ini adalah dengan jalan pertobatan dalam Kristus. Jadi, tidak semua orang bisa mengambil bagian dalam sukacita atau pengampunan ini dengan adanya syarat yang harus kita penuhi. Lalu, apa arti dari konversi atau pertobatan tersebut?

Pertobatan sesungguhnya bukan sekadar memercayai doktrin-doktrin tertentu atau melakukan ritual tertentu seperti baptis, melainkan menerapkannya dalam tindakan yang kita lakukan. Dalam Matius 13:44 dikatakan, "Kerajaan Surga adalah seperti harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu disembunyikannya lagi. Dan, karena sukacitanya ia pergi, menjual semua yang dipunyainya, dan membeli ladang itu." Jadi, menjadi seorang Kristen bukan hanya berbicara tentang waktu pertobatan, tetapi lebih merupakan sesuatu yang ajaib, yaitu terjadinya suatu perubahan. Perubahan yang tidak bisa terelakkan bersama Kristus terjadi ketika kita menerima Allah sebagai harta yang paling berharga melebihi semuanya. Pertobatan itu bukan tentang perubahan, tetapi sesuatu yang tidak terelakkan saat kita mengikut Kristus. Ketika kita bertobat kepada Kristus, barulah kita bisa mendapat manfaat dari karya penyelamatan yang dimulai dari Yesus Kristus. Itu adalah sukacita kita yang abadi.

3. Tentang penyembahan.
Apa artinya? Terdapat 3 respons hati dalam penyembahan dan kita akan melihat bagaimana penyembahan dari seorang hedonis Kristen. Sebelum masuk dalam pembahasan ini, kita perlu memahami bahwa penyembahan seharusnya bukanlah tindakan moral yang kosong yang tidak didasari dengan adanya perubahan dari dalam hati, melainkan satu tindakan yang dilakukan dengan sikap hati yang tepat karena didorong oleh sukacita sejati.

Ada kemungkinan 3 respons hati dalam penyembahan. Pertama, hati dapat merasakan kenikmatan dalam kekayaan kemuliaan Allah, yaitu kenikmatan ketika kita berada dalam hadirat-Nya. Kedua, hati merindukan agar kenikmatan itu semakin mendalam, intens, dan konsisten. Ketiga, hati dapat bertobat dalam kesedihan saat tidak merasakan kenikmatan dalam Allah ataupun kerinduan akan hal itu. Jadi, ketika kita tidak merasakan kenikmatan atau tidak merasakan kerinduan untuk itu, harusnya hati kita merasa sedih untuk bertobat. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa respons ini harusnya terjadi dalam penyembahan, dan ketika itu tidak terjadi, penyembahan bukan lagi penyembahan.

Penyembahan menjadi rutinitas karena sudah menjadi kebiasaan semata atau karena keharusan. Penyembahan yang sejati dari seorang Hedonis Kristen seharusnya menjadi suatu cara untuk merefleksikan kembali dengan gembira cahaya dari kelayakan Allah. Jadi, dengan sukacita Allah yang terjadi karena Hedonisme Kristen, kita akan merefleksikan kembali sukacita tersebut. Itulah penyembahan yang sejati.

4. Kasih.

Sukacita Allah untuk pertobatan kita secara pribadi dan penyembahan kita bisa diistilahkan dengan hedonisme vertikal. Sebab, itu merupakan hubungan kita secara vertikal dengan Allah. Akan tetapi, bagaimana dengan hubungan kita secara horizontal? Apa artinya Hedonisme Kristen dalam konteks kasih kita pada sesama? Dalam Hedonisme Kristen, kasih merupakan jerih payah dari Hedonisme Kristen yang tidak mencari keuntungan diri sendiri dan lebih dari sekadar tindakan.

Dalam 1 Korintus 13:4-5 dinyatakan, "Kasih itu ... tidak mencari kepentingan diri sendiri ...." Salah satu masalah terbesar dalam ayat ini, yang dikemukakan oleh Piper, adalah sepertinya ayat ini terkesan bahwa kasih benar-benar tidak memikirkan kepentingan diri sendiri, melainkan hanya kepentingan orang lain. Kita melakukan tindakan kasih hanya demi kebaikan orang lain. Akan tetapi, Piper berargumen lain. Memang, dia tetap mengutamakan untuk menunjukkan kasih, tetapi pada sisi lain juga tidak mengesampingkan kebutuhan diri sendiri. Argumen Piper adalah bahwa kasih itu tidak mencari kepentingan diri sendiri, tetapi tanpa sama sekali mengesampingkan kepentingan kita untuk merasakan sukacita juga.

Dalam konteks ini, kepentingan yang menjadi motivasi yang tepat adalah kebahagiaan yang diperoleh dalam tindakan kasih itu sendiri, atau dalam kebaikan yang diraih melalui tindakan mengasihi. Itulah motivasi yang benar untuk melakukan tindakan kasih, selain manfaat yang kita terima meskipun tidak kita rancangkan. Maksudnya, ada konsekuensi yang kita tidak duga dalam melakukan tindakan kasih, yaitu sukacita yang kita bisa rasakan sebagai akibatnya. Itu sah-sah saja untuk kita rasakan. Jadi, kasih merupakan luapan sukacita dalam Allah yang dengan senang hati memenuhi kebutuhan orang lain. Dengan perkataan lain, saat kasih sejati dari Allah kita rasakan dalam sukacita yang penuh, hal itu juga akan tumpah ruah kepada orang-orang yang haus akan Dia. Dengan demikian, Hedonisme Kristen juga berlaku secara horisontal.

5. Kitab Suci sebagai bahan bakar Hedonisme Kristen.

Hidup sukacita dalam Allah itu ibarat api, dan kitab Suci itu adalah bahan bakarnya. Mazmur 19:7 menyatakan bahwa Tuhan itu sempurna dan Ia memulihkan jiwa. Perhatikan kata 'memulihkan' dari ayat ini. Memulihkan berarti mengembalikan sesuatu pada kondisi atau keadaannya semula. Ini berarti bahwa firman Tuhan dapat memulihkan kondisi kita pada keadaan yang semula atau seharusnya.

Lalu yang kedua, perhatikan perkataan Rasul Paulus dalam Kisah Para Rasul 1:24, "... bukan karena kami memerintah atas imanmu, tetapi kami adalah yang bekerja bersamamu untuk sukacitamu karena dalam imanmu, kamu berdiri teguh". Ini berarti bahwa kita juga perlu bersukacita supaya sukacita kita bertambah. Dapat dikatakan bahwa sukacita kita ibarat api, di mana iblis akan mencoba meniup dan memadamkan api sukacita kita. Untuk itulah, kita perlu memiliki pasokan bahan bakar yang tidak berakhir dalam firman Allah yang senantiasa akan menyalakan api sukacita kita.

Inilah manfaat dari firman Allah dalam Alkitab yang dapat kita rasakan sebagai bahan bakar bagi sukacita kita. Pertama, kehidupan fisik kita bergantung pada firman Allah karena dengan firman-Nya, kita diciptakan. Kedua, firman Allah melahirkan dan menopang kehidupan rohani karena ia melahirkan dan menopang iman. Ketiga, kebenaran Allah memerdekakan kita dan memberi kita hikmat.

6. Doa sebagai kuasa dari Hedonisme Kristen.

Ada satu keberatan tentang Hedonisme Kristen, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa Hedonisme Kristen berarti menempatkan kepentingan dan sukacita kita melebihi kepentingan Allah. Kita akan melihat bagaimana John Piper menanggapi keberatan ini. Kita akan melihat juga bahwa doa merupakan jembatan pengejaran kemuliaan Allah dan sukacita kita. Dengan demikian, kita akan dapat melihat bahwa tujuan utama Allah dan tujuan utama kita tidak bertentangan. Klarifikasinya adalah pengejaran atas sukacita kita tidak pernah berada di atas kepentingan Allah, melainkan selalu dalam kepentingan Allah. Sebab, kita tidak bisa menikmati Allah ketika Allah itu tidak bisa dinikmati. Akan tetapi, kita sudah membuktikan bahwa Allah itu penuh sukacita dan Allah mau menerima kita, dan sukacita-Nya menjadi pondasi dari sukacita kita. Jadi, sukacita kita bukan di atas Allah, melainkan justru dalam sukacita Allah.

Lalu, terkait dengan doa, bagaimana kita menjaga agar relasi kepentingan ini -- kepentingan Allah dan kepentingan kita -- menjadi relasi yang baik melalui doa? Ayat referensinya terdapat dalam Yohanes 14:13, "Apa pun yang kamu minta dalam nama-Ku, akan Aku lakukan ..." Supaya apa? Supaya Bapa dimuliakan di dalam Anak. Jadi, melalui ayat ini kita bisa belajar  bahwa doa merupakan pengakuan terbuka bahwa tanpa Kristus, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ketika kita berdoa, kita memuliakan Allah. Lalu ayat yang kedua, Yohanes 16:24 dari sisi yang lain "Sampai sekarang kamu tidak pernah meminta apa pun dalam nama-Ku. Mintalah, dan kamu akan menerimanya supaya sukacitamu menjadi penuh". Jadi, kita berdoa supaya kita bisa menerima apa yang sudah kita terima dari Tuhan, dengan asumsi bahwa itu sejalan dengan apa yang Tuhan kehendaki. Jadi, doa adalah cara yang ditetapkan Allah menuju kepenuhan sukacita, karena doa merupakan saluran kobaran dalam hati kita bagi Kristus. Jadi, doa punya dua fungsi, yaitu memuliakan Allah dan juga memenuhi sukacita kita.

7. Uang sebagai alat bayar Hedonisme Kristen.

Satu ayat yang problematik mungkin dinyatakan dalam 1 Timotius 6:9, "Orang yang ingin menjadi kaya jatuh ke dalam pencobaan dan jebakan, serta berbagai nafsu yang bodoh dan membahayakan yang akan menenggelamkan orang-orang ke dalam kehancuran dan kebinasaan." Di sini, Paulus ingin mengingatkan agar kita tidak cinta uang karena cinta uang adalah akar dari segala kejahatan. Namun, sebenarnya yang ditekankan bukan hanya bahwa orang Kristen tidak boleh mencari uang atau tidak boleh menjadi kaya. Sebaliknya, supaya kita memiliki sikap yang benar terhadap uang agar itu tidak menjadi sesuatu yang menghancurkan sukacita kita, melainkan suatu jaminan bagi kehidupan kekal kita ke depan. Jadi, orang Kristen harus hidup demi Tuhan yang lebih besar daripada yang dilakukan oleh para pecinta uang yang licik. Itu artinya, kita tidak boleh menurunkan standar sukacita kita hanya pada uang, di mana uang yang menjadi sumber sukacita kita. Kita harus mengejar sukacita yang lebih besar, yaitu Tuhan yang Mahabesar.

Apa maksud menggunakan uang sebagai jaminan bagi dasar kehidupan kekal? Ada 3 jawaban untuk ini. Pertama, jangan sampai uang menimbulkan kesombongan dalam diri dan hidup kita. Kedua, jangan berharap pada sesuatu yang tidak tentu, seperi kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberi kita segala sesuatu untuk dinikmati. Ketiga, gunakan uang untuk berbuat baik dan dengan murah hati. Ketika Tuhan memberikan kita kelebihan dalam hal apa pun, entah itu kebahagiaan, kesehatan, atau hal yang lain, semua itu bukan untuk diri kita sendiri, melainkan supaya kita bisa menyalurkannya kepada sesama kita.

8. Pernikahan sebagai acuan bagi Hedonisme Kristen.

Kita akan melihat bagaimana hubungan Kristus dengan gereja-Nya dalam sukacita mereka, lalu bagaimana kita mengejar sukacita dalam sukacita Sang Kekasih. Ibrani 12:2 merangkum relasi sukacita antara Kristus dan gereja. "Biarlah mata kita tertuju pada Yesus, Sang Pencipta dan Penyempurna iman kita, yang demi sukacita yang telah ditetapkan bagi-Nya, rela menanggung salib dan mengabaikan kehinaan salib itu." Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa Kristus melakukan apa yang Ia lakukan karena itu mendatangkan sukacita bagi-Nya. Dia melakukan itu demi sukacita yang telah ditetapkan bagi-Nya. Kita pun bisa menyimpulkan bahwa Kristus rela menanggung salib demi sukacita yang akan diterima-Nya.

Apa yang menjadi sukacita jemaat atau sukacita gereja? Sukacita gereja adalah dapat merasakan atau mengambil bagian dalam Kristus saat orang-orang percaya dibebaskan dari dosa. Kita bisa melihat Kristus dan gereja sama-sama mendapatkan sukacita dari sukacita yang lain. Itulah hal yang harus diteladani oleh pasangan yang sudah menikah. Bagi suami, misalnya, untuk menjadi orang yang taat, dia harus mengasihi istrinya, terutama seperti Kristus mengasihi jemaat. Dengan demikian, suami harus mengejar sukacitanya dalam sukacita istrinya, bukan dari kepentingannya sendiri. Sukacita pasangan kita seharusnya menjadi sukacita kita, dan pasangan kita mencari sukacitanya dalam sukacita kita. Jika kita dengan segenap hati mengabdikan diri kepada sukacita pasangan kita, kita juga akan hidup demi sukacita kita dan menjadikan pernikahan itu sesuai dengan gambaran akan Kristus dengan jemaat-Nya.

9. Misi sebagai pekik perang dari Hedonisme Kristen.

Dari semua yang sudah kita pelajari tentang pondasi Hedonisme Kristen serta relasi kita, maka misi seharusnya menjadi aliran otomatis dari kasih kepada Kristus. Jika sukacita yang kita terima dari Tuhan itu penuh, sukacita kita itu akan melimpah sehingga mau tidak mau kita akan menyebarkan sukacita tersebut kepada sesama kita. Kita akan merindukan apa yang Tuhan rindukan. Tuhan rindu agar semua orang mengenal Dia. Itulah tujuan dari misi. Dengan demikian, bermisi pun akan menjadi kerinduan bagi kita juga.

Inilah kutipan dari Lottie Moon mengenai hal tersebut, "Tidak ada sukacita yang lebih besar daripada sukacita memenangkan jiwa." Inilah sukacita terbesar yang bisa dirasakan ketika kita bisa membawa orang yang terhilang kepada Kristus sehingga orang tersebut juga dapat merasakan sukacita yang kita rasakan terlebih dahulu, dan harapannya orang tersebut juga bisa menjangkau lebih banyak orang lagi.  

Saat kita membayangkan tentang misi, tentu kita berpikir tentang adanya pengorbanan yang harus kita berikan. Namun, apa yang kita berikan kepada Kristus itu bukan menjadi penghambat dari sukacita kita kepada Kristus karena Kristus sendiri berjanji untuk menggantikan sukacita itu dari diri-Nya sendiri. Kristus berjanji untuk mengerjakannya bagi kita dan begitu siap sedia bagi kita sehingga saat kehidupan bermisi kita telah lewat, kita tidak akan mampu mengatakan bahwa kita telah mengorbankan apa pun. Sebab, sebagai contoh, ketika kita meninggalkan keluarga kita untuk bermisi, Tuhan akan menggantikannya dengan keluarga rohani yang kita peroleh dalam bermisi. Atau, ketika kita tidak bisa merasakan kasih dari orang yang dekat dengan kita, Tuhan sendiri yang akan menunjukkan kasih-Nya kepada kita sehingga kita tidak kekurangan. Dengan demikian, pada akhirnya kita tidak mengorbankan apa pun karena Tuhan sudah menggantikannya bagi kita.

10. Hedonisme Kristen akan menolong kita memiliki sikap yang benar terhadap diri kita.

Hedonisme Kristen adalah panggilan Allah untuk merangkul risiko dan realitas penderitaan demi sukacita yang telah ditetapkan bagi kita. Kita belajar dari Kristus bahwa apa yang Dia lakukan adalah demi sukacita yang sudah ditetapkan bagi-Nya. Kita juga bisa belajar dari Rasul Paulus, yang walaupun menderita, tetapi tetap bersukacita. Kita belajar dari tokoh-tokoh lain yang disebutkan dalam buku "Desiring God", yang adalah teladan bagi kita untuk mengikuti panggilan mengaplikasikan Hedonisme Kristen dalam mendambakan Allah, dan bukannya menikmati berkat-Nya semata, melainkan untuk bersama dengan Dia.

Itulah 10 bab yang disampaikan John Piper tentang penerapan Hedonisme Kristen dalam buku "Desiring God" untuk menolong kita lebih memahami Hedonisme Kristen. Semua teori itu tidak akan ada artinya jika tidak dipraktikkan atau memiliki aplikasi. Lalu, bagaimana cara untuk memperjuangkan sukacita itu?

Inilah beberapa jalur yang dapat kita lakukan untuk memperoleh keindahan persekutuan dengan Allah dan kekuatan sukacita-Nya:

1. Menyadari bahwa sukacita yang autentik dalam Allah merupakan suatu pemberian (lih. Gal. 5:22; Mzm. 51:14; Yoh. 6:44).
2. Menyadari bahwa sukacita harus diperjuangkan dengan gigih (lih. 2Kor. 1:24; Flp. 1:25; 2Tim. 4:7; 1Tim. 6:12; Mat. 24:12-13).
3. Bertekad untuk menyerang semua dosa yang dikenal dalam hidup kita (lih. Rm. 6:11-13; Rm. 8:13).
4. Mempelajari rahasia perasaan menyesal yang penuh semangat: bagaimana berjuang seperti pendosa yang dibenarkan (lih. Mi. 7:8-9).
5. Menyadari bahwa perang itu terutama adalah perjuangan untuk melihat Allah apa adanya (lih. Mzm. 34:9; 2Kor. 4:4-6; 2Kor. 3:18; 1Yoh. 3:2; Mzm. 9:11).
6. Merenungkan firman Allah siang dan malam (lih. Mzm. 23:3; Mzm. 19:7; Mzm. 19:8; Yer. 15:16; Yoh. 15:11; Mzm. 1:2-3; Rm. 15:13; Mat. 4:4; Rm. 10:17; Yoh. 20:31; Gal. 3:5; Rm. 15:5; Yoh. 17:17; Yoh. 8:32; Ef. 6:17; 1Yoh. 2:14).
7. Berdoalah dengan tekun dan terus menerus untuk membuka mata batin dan suatu kecenderungan kepada Allah (lih.Yoh. 16:24; Mzm. 90:14; Mzm. 85:7; Mzm. 51:14; Mrk. 9:24; Ef. 1:18; Mzm. 119:18; Mzm. 119:36).
8. Belajar berkhotbah kepada diri sendiri ketimbang mendengarkan diri sendiri (Mzm. 42:6).
9. Menggunakan waktu dengan orang-orang yang dipenuhi Allah yang menolong Anda melihat Allah dan menempuh perjuangan (lih. 1Sam. 23:16; Ibr. 3:12-13; Ams. 13:20).
10. Sabarlah dalam "malam" kala Allah tampaknya tidak hadir (Mzm. 40:2-4).
11. Lakukan istirahat, olahraga, dan diet yang tepat yang perlu dimiliki tubuh kita yang telah dirancang Allah (lih. 1Kor. 6:20; 1Raj. 19:1-8).
12. Dapatkan suatu manfaat yang tepat mengenai pernyataan Allah di alam (lih. Mzm. 19:2; Mat. 6:26; Mat. 6:28-29).
13. Bacalah buku-buku yang baik tentang Allah dan Biografi-biografi orang-orang Saleh yang terkenal (lih. Ibr. 13:7).
14. Lakukan hal-hal yang berat dan menyenangkan demi sesama -- kesaksian dan belas kasihan (lih. Yes. 58:10-11).
15. Raihlah suatu pandangan global demi Kristus dan berilah diri kita pada yang belum terjangkau (lih. Mzm. 67:2-3, 7-8).

Jelas, dalam hidup ini, dunia senantiasa menawarkan keinginan-keinginan yang menarik dan menggoda. Akan tetapi, semua kenikmatan yang berasal dari dunia bersifat fana, dangkal, dan tidak bertahan lama. Bahkan, semua itu justru dapat membawa kita ke dalam maut. Hanya dengan menikmati Allah, kita akan dipuaskan sepenuhnya dan selamanya. Untuk itu, mari kita kembali kepada tujuan hidup kita yang semula, yang dinyatakan dalam Katekismus Westminster, yaitu memuliakan Allah, dengan menikmati Dia selamanya. Dengan menikmati Allah, pada akhirnya kita akan dimampukan untuk semakin mengasihi Dia, semakin mengenal Dia, dan semakin semangat pula bersaksi tentang Dia. Amin.