Saya akan berangkat dari sebuah kondisi yang membuat hal ini menjadi begitu penting untuk kita bahas.

Ada beberapa kondisi yang memaksa gereja untuk harus menjadi terbuka.

1. Pandemi:
Coba bayangkan jika pandemi ini tidak terjadi, gereja kita tentu masih akan tenang-tenang saja seperti dulu karena tidak ada guncangan-guncangan. Akan tetapi, pandemi ini menjadi akselerator yang membuat kita semua menjadi aware. Tiba-tiba saja kita seperti disadarkan untuk waspada.

2. Teknologi:
Teknologi memaksa gereja untuk berubah dan melihat ke depan. Karena teknologi ini menjadi motor yang paling utama untuk pergerakan kemajuan apapun, di dalam masyarakat, di dalam bisnis, pendidikan, dan lain-lain, seharusnya gereja pun ikut ambil bagian dalam memakai kendaraan ini untuk memajukan gereja. Namun, gereja kita justru sebaliknya. Selama ini, gereja tidak pernah memikirkan hal itu. Kalaupun memikirkan, hanya untuk kepentingan yang kecil-kecil saja.

3. Pergeseran fungsi gereja:
Dulu, kita tidak terlalu menyadarinya. Namun, setelah kita banyak membahas tentang gereja; gereja yang ideal, gereja yang menerapkan W.I.F.E., tentang bahwa ibadah online tidak cukup, kita menyadari bahwa gereja kita selama ini belum berfungsi secara maksimal sehingga ini juga menjadi pendorong bagi kita untuk memikirkan perubahan dalam gereja yang bukan hanya dikarenakan oleh  teknologi tapi berubah secara keseluruhan.

4. Kondisi malnutrisi rohani jemaat:
Mungkin kata-kata ini cukup keras. Namun, jika kita mensurvei kondisi kerohanian jemaat pada saat ini, hasilnya tidak terlalu bagus karena masih ada begitu banyak jemaat yang kekurangan gizi secara rohani. Mereka hanya mendapatkan khotbah, tetapi mereka tidak pernah diajari untuk mendalami ALkitab secara mandiri. Jemaat tidak diajar untuk "memasak makanan" rohani mereka sendiri, tetapi hanya menerima "remah-remahnya" dari apa yang disajikan melalui khotbah. Padahal, untuk memiliki kesehatan rohani yang baik, jemaat harus secara aktif melakukan Pendalaman Alkitab sendiri, atau "memasak makanan" mereka sendiri.

5. Status quo gereja:
Selama ini, kita melihat bahwa gereja Tuhan begitu-begitu saja dan tidak ada perubahan signifikan apapun di dalamnya. Kondisi sekarang ini memaksa kita untuk melihat dan menyadari bahwa gereja memang harus berubah.

6. Perubahan atau roh zaman:
Sebenarnya hal ini sangat kita rasakan. Jika kita mencari tahu penyebab melorotnya kondisi rohani jemaat, kita akan menemukan bahwa sebenarnya jemaat lebih tertarik kepada roh zaman ini yakni materialisme, hedonisme, dan lain-lain. Semuanya itu sangat memengaruhi jemaat sehingga mereka hanya pergi ke gereja oleh karena sekadar tradisi saja, tetapi secara esensi tidak mengalami perubahan hidup. Kadang-kadang hal itu membuat kehidupan orang Kristen dan non-Kristen tampak tidak ada bedanya, hanya orang kristen pergi ke gereja setiap minggu, sementara yang non-Kristen tidak

Keenam kondisi di atas itulah yang memaksa gereja untuk waspada. Posisi gereja sedang kritis. Ibarat orang sakit, gereja kita saat ini sedang berada di ruang ICU. Nah sekarang apakah gereja mau berubah? Ataukah akan tetap seperti dulu? Tuhan menempatkan kita di sebuah situasi, kondisi, dan kesulitan yang dipakai-Nya untuk menolong kita memikirkan ulang tentang gereja. Nah, inilah yang menjadi latar belakang mengapa topik ini sangat penting untuk pikirkan bersama.


Ada 9 filosofi pelayanan gereja yang saya pikir harus berubah. Dan prinsip itu saya sebut sebagai Gereja yang Terbuka:

1. Gereja yang terbuka adalah Gereja yang mau terus-menerus di reformasi.
Yang dimaksud di sini adalah terus-menerus diperbaiki dan disempurnakan untuk menjadi lebih baik, bukan lebih baik dalam kondisi sarana-prasarana atau fasilitas, tetapi terus-menerus dibentuk untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus dan semakin menjadi seperti yang diinginkan-Nya. Melalui pandemi ini, Tuhan membukakan hal-hal yang baru, sesuatu yang mau tidak mau harus dilihat oleh gereja, bahwa kondisi gereja tidak bagus, tidak seperti yang seharusnya. Kita seperti baru saja melewati X-ray atau baru aja menjalani tes darah, dan ternyata baru ketahuan ada banyak penyakit yang sedang kita idap. Pandemi ini juga menolong kita untuk melihat penyakit-penyakit apa saja yang diderita gereja, sesuatu yang sebenarnya sudah lama, bukan hanya karena pandemi ini. Jadi, ada banyak kekurangan dan ketidakberesan yang ada di gereja, dan sekarang inilah saatnya kita memakai situasi ini untuk memperbaiki diri.

2. Gereja yang terbuka adalah gereja yang tidak tutup.
Ada sebuah ilustrasi yang menggambarkan gedung gereja yang di depannya ada sebuah papan berisi pengumuman: "The building is closed, the church is open". Ini ilustrasi yang sangat menarik. "The building is closed" -- gedung gerejanya tutup, tetapi "the church is open" -- gerejanya tetap buka. Yang dimaksud oleh ilustrasi ini adalah bahwa mungkin jam administrasi gereja bisa dibatasi oleh jam kerja, tetapi pelayanan gereja tetap buka kapan saja. Contohnya ketika ada jemaat sakit yang dalam keadaan kritis, kita tidak perlu menunggu sampai besok untuk memberitahu pendeta. Meski ada juga gereja-gereja yang tidak mau dihubungi di luar jam kerja, seharusnya gereja terbuka adalah gereja yang tidak tutup, yang "open all the time" karena jemaat bisa dilayani kapan saja.

Apakah ini berarti kantor gereja harus buka 24 jam? Tentu tidak, kita sudah memiliki teknologi, sudah ada sistem digital, seharusnya ada nomor-nomor hotline yang kapan saja bisa dihubungi oleh jemaat untuk menyampaikan sesuatu yang penting sehingga jemaat merasa bahwa gereja itu selalu ada untuk mereka. Mungkin banyak keluhan bahwa gereja tidak mungkin melayani 24 jam, tetapi saya pikir jika kita mengatur sistem gereja sedemikian rupa, kita bisa menerapkan sistem shift dan membagi-bagi tugas kepada tim-tim pelayan sehingga jemaat bisa selalu terlayani. Ini perlu dipikirkan ulang, apakah gereja memerlukan jam kantor yang perlu diubah.

3. Gereja yang terbuka adalah gereja yang hidup, tidak mati, atau tidak dingin.
Saya pernah beberapa kali pergi ke gereja-gereja yang ketika masuk bisa merasakan kehangatan di dalamnya, ada persekutuan yang akrab, penuh dengan vitalitas, semangat, dan tampak dari kehangatan mereka menyapa saya. Namun, saya juga pernah masuk ke sebuah gereja yang dingin. Saat saya masuk, tidak ada seorang pun yang menyapa saya, tidak ada yang memperkenalkan diri mereka, dan mereka tidak mempersilakan saya untuk memperkenalkan diri sebagai jemaat yang baru pertama kali datang ke ibadah mereka. Benar-benar dingin seperti es.

Nah, gereja yang terbuka adalah gereja yang bisa mengubah diri dan jemaatnya memiliki sifat yang agile. Artinya, memiliki rasa tanggap untuk berinisiatif menyapa jemaat meski saat itu dia tidak bertugas sebagai penyambut jemaat. Bukan berarti semua jemaat harus disapa, tapi membuka diri bagi siapa saja yang membutuhkan, kapan saja mereka bisa disentuh dengan kehangatan kasih Kristus. Gereja harus cukup agile, setiap anggota jemaat memiliki hak untuk melayani orang lain. Siapapun bisa berinteraksi dengan orang-orang baru, tidak hanya anggota tim pemerhati yang bertugas. Semua gereja yang terbuka adalah gereja yang jemaatnya mau menyapa dan berbagi kehangatan dalam kasih Kristus.

4. Gereja yang terbuka adalah gereja yang digital.
Ini tidak bisa disangkal atau ditawar lagi. Gereja yang terbuka adalah gereja yang memakai teknologi. Bahkan sekarang ini ada begitu banyak artikel yang memberi statement yang sangat kuat bahwa teknologi di gereja itu adalah sesuatu yang default, harus ada. Jika misalnya ada seorang pendatang dari luar kota yang ingin mencari gereja terdekat untuk beribadah, mereka tentu ingin tahu jadwal ibadah yang ada di gereja kita. Jika gereja kita tidak hadir secara online, orang itu akan kesulitan untuk mencari dan mungkin tidak akan beribadah di tempat kita. Kita harus menerapkan IT 4 God. Gunakan perangkat IT tidak hanya untuk kepentingan komunikasi pribadi kita. Tuhan berhak memakai teknologi, bahkan Dialah yang membuat teknologi ini sehingga Dialah yang paling berhak memakai teknologi untuk kepentingan-Nya. Mengapa? Karena Tuhan sangat care dengan generasi digital. Mereka adalah orang-orang yang menjadi masa depan gereja, yang Tuhan ingin terus pelihara. Karena itu, pelayanan gereja seharusnya tidak lagi dibatasi oleh tembok, tetapi semakin luas dan semakin jauh, dengan melibatkan anak-anak muda ini. Ingatlah bahwa mereka ini adalah ujung tombak gereja. Jika gereja kita masih enggan, masih kurang percaya, masih ogah-ogahan, untuk melibatkan para pemuda masuk ke dalam kepemimpinan, saya kira gereja kita juga perlu mengubah cara berpikir itu.

5. Gereja yang terbuka adalah gereja yang berkolaborasi.
Dulu, saya pernah menyampaikan bahwa di antara semua institusi organisasi masyarakat, gereja adalah yang paling sulit berkolaborasi dengan gereja yang lain. Hal itu sebenarnya sangat mengherankan, tetapi fakta membuktikannya seperti itu. Jadi, gereja yang terbuka atau gereja masa kini adalah gereja yang alkitabiah, yang mau saling memberi dan menerima. Gereja yang terbuka bukan hanya menerima saja, karena Tuhan sudah memberikan talenta kepada masing-masing gereja supaya mereka bisa memberi dan menerima. Karena itu keduanya harus dilakukan secara seimbang, bukan menjadi gereja penerima saja, atau menjadi gereja yang memberi saja. Jadi, berkolaborasilah dengan sebanyak mungkin organisasi Kristen yang lain, manfaatkan teknologi untuk bekerja sama. Saat ini tidak harus bertemu secara langsung, dan tidak perlu memakan begitu banyak waktu, karena dengan teknologi kita bisa melakukan kolaborasi dengan lebih efisien. Buatlah proyek bersama, jadi tidak lagi berpikir "gerejaku atau gerejamu", tetapi memiliki visi bahwa ini adalah gereja milik Tuhan sehingga kita bisa melakukan proyek bersama-sama dan tidak harus saling bersaing.

6. Gereja yang terbuka adalah gereja yang berhati misi.
Pelayanan misi adalah hati Tuhan. Gereja ada karena Tuhan punya misi bagi dunia ini, gereja ada bukan untuk jemaatnya sendiri, tetapi untuk pelayanan yang Tuhan inginkan yaitu menjangkau dunia. Jadi, pelayanan gereja seharusnya tidak dibatasi oleh tembok gereja. Gereja harus bisa keluar dari gedungnya. Gereja harus pergi untuk menjangkau orang lain dan menjadi terang bagi dunia, terkhusus dunia maya karena sekarang ini semua orang ada di dunia maya. Jika kita melihat survei, jumlah penduduk Indonesia yang aktif di dunia maya itu begitu besar. Kalau gereja tidak ada di dunia maya, siapakah yang akan melayani mereka? Jadi, selain melayani orang-orang yang belum terjangkau oleh teknologi, kita juga harus menjangkau mereka yang ada di dunia maya. Tuhan memberi perintah untuk pergi ke segala bangsa dan ke ujung ujung bumi, yang sekarang bisa dijangkau dengan ujung jari kita melalui HP. Jadi, Tuhan sangat menginginkan gereja kita memiliki misi-Nya.

7. Gereja yang terbuka adalah gereja yang kreatif dan inovatif.
Di sinilah letak gap antara yang tua dan yang muda ya. Anak-anak muda sangat suka dengan hal-hal yang baru, hal-hal yang menarik, yang penuh kreativitas. Karena itu, gereja yang terbuka adalah gereja yang mau berbagi rasa percaya. Memang, anak-anak muda belum punya banyak pengalaman dan mungkin juga belum bisa melihat big picture, tetapi orang-orang dewasa atau yang tua harus mau berbagi visi kepada anak-anak muda supaya mereka tahu apa sebenarnya yang dibutuhkan gereja, serta mau berbagi rasa untuk mendengar dan belajar. Yang tua dan yang muda harus saling terbuka; yang tua belajar dari yang muda, yang muda belajar dari yang tua sehingga bisa bekerja bersama-sama. Untuk apa? Untuk kemuliaan Tuhan, bukan untuk ego diri sendiri, tapi untuk memuliakan Tuhan. Relakanlah hal-hal yang tidak penting untuk dilebur sehingga melalui kebersamaan itu gereja bisa menjalankan misi dari Tuhan dengan penuh semangat dan vitalitas.

8. Gereja yang terbuka adalah gereja yang tidak eksklusif.
Yang sangat disayangkan selama ini adalah bahwa gereja seolah-olah untouchable, tidak bisa disentuh. Hal ini dikarenakan gereja hanya terbuka bagi jemaatnya sendiri, tetapi tidak bagi orang Kristen yang lain. Gereja seakan-akan berkata, "Kalau kamu tidak masuk ke dalam keanggotaan gerejaku, berarti kamu bukan bagian dari kami." Sikap seperti itu sangat menyakitkan hati Tuhan. Tembok-tembok, batasan-batasan yang seperti itu sungguh sangat disayangkan. Seharusnya tidak seperti itu, khususnya antara gereja dengan masyarakat sekitarnya. Jika gereja terus bersikap seperti itu, gereja sama sekali tidak menjadi terang bagi orang-orang di sekitarnya. Pernahkah kita bertanya kepada masyarakat di sekitar gereja, kepada mereka yang bukan orang Kristen, apakah  mereka mendapat manfaat dari gereja kita? Kalau masyarakat sekitar tidak bisa memberikan jawaban, berarti gereja kita sangat eksklusif, tidak terbuka kepada masyarakat di sekitarnya. Padahal, kita bisa bersinergi dengan mereka, gereja bisa ditolong oleh masyarakat dan sebaliknya gereja bisa menolong masyarakat. Jadi, gereja seharusnya saling berbagi supaya bisa menjadi saksi Kristus. Ini sangat penting sekali, jangan sampai gereja menjadi sangat eksklusif.

9. Gereja yang terbuka adalah gereja yang bible-based, gereja yang alkitabiah
Ini adalah poin yang terpenting. Gereja yang terbuka adalah gereja yang kembali kepada Alkitab, yang membuat Alkitab menjadi pusatnya. Yang tak kalah penting adalah gereja ini adalah gereja yang Christ-centered, gereja yang menjadikan Kristus sebagai pusat pelayanan gereja. Jadi, pelayanan gereja harus berdasar pada Alkitab. Inilah yang menjadi kunci untuk gereja bisa disebut sebagai gereja milik Kristus, yakni ketika gereja mereka menjalankan misi-Nya berdasarkan Alkitab dan menjadikan Kristus menjadi kepalanya. Gereja ada untuk Tuhan dan untuk umat-Nya, bukan untuk gereja itu sendiri. Sayangnya, banyak gereja yang tidak bible-based sehingga pengajaran yang diberikan atau praktik yang dilakukan gereja semacam itu bukan berdasar pada prinsip alkitabiah, tetapi pada prinsip kepentingan gereja itu sendiri. Poin ini sangat penting, karena jika kita belum bisa melakukan kedelapan poin di atas tetapi berusaha melakukan poin ini, maka yang delapan itu otomatis pelan-pelan dilakukan di dalam gereja yang terbuka, yang bible-based, dan Christ-centered, Kristuslah yang akan memimpin, mengarahkan, dan menolong kita untuk terus melayani sesuai dengan kehendak-Nya.


Jadi kesimpulannya, pertama gereja harus terbuka untuk berubah. Hendaknya gereja kita terus-menerus direformasi untuk aktif, jangan pasif atau dingin, tetapi terus bertumbuh. Gereja harus terus panas, jangan suam-suam kuku, tetapi terus aktif melaksanakan panggilannya. Gereja juga harus menjadi menjadi gereja yang digital. Gereja harus terbuka untuk berkolaborasi, untuk berhati misi, untuk kreatif dan inovatif, untuk tidak eksklusif, untuk alkitabiah dan Christ-centered. Itulah sembilan prinsip yang saya pikir harus dimiliki oleh gereja untuk dapat menjadi gereja yang terbuka.

Terapkan kesembilan prinsip ini dalam gereja kita agar gereja kita terus-menerus diperbarui, memiliki sikap yang agile, tidak stagnant terus-menerus, dan menjadi old di tempat yang sama. Gereja kita harus mengalami regenerasi. Gereja yang tidak terbuka adalah gereja yang semua pengurusnya old, tidak ada regenerasi kepada yang muda. Sebaliknya, gereja yang terbuka adalah gereja yang care terhadap masa depan, mengerti arus zaman, tetapi tidak terseret oleh arus, melainkan memimpin arus. Gereja yang terbuka juga terbuka pada teknologi. Teknologi adalah alat atau kendaraan yang lebih cepat. Ibaratnya, jangan lagi memakai kendaraan yang slow, tetapi gunakanlah kendaraan yang bisa membawa gereja maju lebih cepat. Gereja yang yang terbuka adalah gereja yang bisa mendayagunakan jemaatnya, bermitra dengan orang-orang di sekelilingnya, dengan orang-orang percaya yang lain, dan terus bisa melayani, mengasihi, dan menjangkau di tengah pandemi ini. Pandemi Covid ini justru menjadi cara untuk gereja Anda keluar dan menjangkau orang lain. Gereja yang terbuka harusnya memakai kesempatan ini untuk menjadi relevan dengan dunia saat ini. Kalau kita mengenal kata entrepreneur, gereja yang terbuka ini bisa dikatakan sebagai ministry-preneur. Kita harus terbuka terhadap hal-hal baru untuk melayani dan memakai kesempatan yang baik. Gereja tidak boleh menjadi komunitas yang eksklusif, tetapi terus memberi impact kepada dunia melalui teknologi. Gereja yang terbuka harus terbuka terhadap firman Tuhan, harus mengajari jemaatnya melakukan PA supaya dapat terus-menerus berdiri di atas prinsip Alkitab, agar kelak mereka dapat hidup seperti Kristus yang berinkarnasi di dunia; yakni bisa hidup di tengah-tengah masyarakat dan menggaraminya.

Berikut ini ada beberapa tambahan terkait dengan gereja terbuka? Mengapa namanya demikian? Apa hubungannya dengan open source? Sebenarnya beberapa hal ini menjadi trigger atau menjadi hal yang bisa dipelajari untuk diterapkan di dalam gereja terbuka. Ada satu produk SABDA yang sangat menonjolkan sifat-sifat open source dan ministry-preneur, yaitu AYT (Alkitab Yang Terbuka) dan ekosistemnya. Hal ini karena AYT dibangun untuk menjadi Alkitab yang dimiliki oleh masyarakat, yang punya ekosistem yang luas, sehingga semua orang bisa memiliki, bahkan ikut mengoreksi Alkitab ini. Kita bisa belajar dari pengalaman YLSA selama 25 tahun, dari gereja di Kisah Para Rasul pasal 2 dan 4, dan banyak lagi yang sudah dipaparkan dalam SABDA Live, dan semuanya ini menjadi ide untuk menemukan hal-hal yang dapat menolong kita untuk memulai melihat kepentingan gereja.

Di akhir artikel ini, saya ingin membagikan kisah dari Lukas 24 yang menceritakan tentang dua orang murid Yesus yang sedang dalam perjalanan menuju Emaus dengan berjalan kaki. Di suatu titik, mereka akhirnya berjalan bersama Yesus yang sudah bangkit, tapi mereka tidak sadar bahwa itu adalah Yesus. Nah, ketika Yesus hadir bersama dengan kita, menjadi kepala bagi gereja, saya harap gereja menjadi terbuka matanya, seperti saat mata kedua murid itu terbuka dan mengenali Yesus. Kiranya mata gereja kita terbuka dan sekarang mengenali keinginan Yesus Kristus sebagai kepala dari gereja.