Nah, saya akan memulai dengan satu pertanyaan ini, seperti apakah gereja masa depan?

Kita coba berhenti sejenak, kita resapi sejenak pertanyaan ini. Dalam benak Anda, seperti apakah gereja pada masa yang akan datang?

Beberapa orang atau lembaga mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dengan melihat beberapa tren yang sedang terjadi saat ini dan juga menganalisis bagaimana tren-tren itu berperan dalam pembentukan pelayanan gereja atau definisi gereja ke depannya. Nah, salah satunya tadi yang sudah disebutkan, yaitu Carey Nieuwhoff yang juga menulis dua artikel tentang tren-tren terkait kepemimpinan dan gereja yang akan mendominasi atau mewarnai tahun 2020.

Saya tidak akan membacakan tren-tren ini lagi, tetapi kalau Anda membaca dua artikel yang saya sebutkan di atas, nanti akan bisa melihat poin-poin yang dibahas masing-masing masih relevan dengan kita saat ini. Akan tetapi, satu hal yang tidak diprediksikan dalam artikel ini adalah pandemi Covid-19. Nah, kita semua tahu betul seberapa besar dampak pandemi ini dalam kehidupan kita sehari-hari dan bahkan materi ini salah satunya didorong oleh pandemi itu.

Krisis yang disebabkan pandemi ini mendorong banyak perubahan. Walalupun di satu sisi mengacaukan segala tatanan normal sebagaimana yang kita ketahui, tetapi di sisi lain pandemi ini juga mendorong perubahan-perubahan besar yang kemungkinan tanpa pandemi perubahan-perubahan itu hanya akan terjadi selama 10 tahun ke depan atau paling cepat 5 tahun ke depan. Akan tetapi, dengan adanya pandemi ini, banyak perubahan baik negatif maupun positif. Kita juga bersyukur  terdapat perubahan positif yang terjadi dalam waktu semalam.
 
Dengan adanya pandemi ini semua sepertinya menjadi tidak bisa diprediksi. Ke depannya, kita  tidak bisa membayangkan bagaimana gereja  menyusun perencanaan yang strategis untuk bisa memperluas misinya, untuk bisa menjadikan misinya efektif pada masa yang akan datang, makanya kita kembali ke pertanyaan yang pertama tadi, seperti apa gereja masa depan? Apalagi dengan melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi selama beberapa bulan terakhir.


Berikut ini adalah 7 pemikiran tentang gereja masa depan yang saya sadur dan baca dari beberapa sumber. Kita akan membahasannya satu per satu. Sebagai disclaimer, seperti yang saya sudah singgung, pemikiran ini mungkin tidak semuanya akan Anda setujui. Mungkin juga Anda memiliki beberapa pemikiran sendiri terkait topik yang kita bahas hari ini.

1. Peleburan gereja. Pada masa yang akan datang, gereja akan menang tetapi tidak semuanya. Menang yang dimaksud di sini bukan hanya bertahan. Maksudnya, kalau kita mengibaratkan pandemi ini sebagai suatu peperangan, gereja pada akhirnya nanti akan menang. Gereja ini akan bertahan, karena kita percaya pandemi ini suatu saat akan berakhir. Akan tetapi, meskipun gereja secara utuh, secara tubuh Kristus, secara keseluruhan menang, tetapi tidak semua gereja akan menang dalam sense itu. Maksudnya seperti ini. Kita sudah melihat beberapa bulan terakhir ini dengan adanya pandemi ini, gereja-gereja dipaksa untuk mulai beralih ke pelayanan online. Entah dengan live streaming, dengan Zoom, atau dengan platform-platform lain, tetapi kita juga melihat mungkin tidak semua gereja melakukannya. Ada beberapa gereja yang entah karena kendala SDM, atau karena beberapa kendala yang lain, tidak bisa mengikuti perubahan. Tidak bisa beradaptasi, tidak bisa merespons dengan baik

pandemi yang saat ini terjadi. Secara otomatis, ini menyebabkan jemaat menjadi dilema, karena mereka tidak bisa terhubung dengan gerejanya sendiri. Mereka tidak bisa bertemu secara offline, tetapi ketika ingin melakukan pertemuan secara online pun tidak bisa, gerejanya tidak menyediakan. Karena itu, para jemaat itu mulai bereksperimen dengan opsi lain. Misalnya, dengan pergi ke gereja lain, atau misalnya, ada satu gereja yang juga sudah mengadakan ibadah online, tetapi mungkin karena kualitasnya kurang baik, maka jemaat coba cari yang lebih baik. Nah, ini situasi ini selain menciptakan satu peluang untuk gereja bisa berinovasi, juga bisa menjadi ancaman. Sebab, gereja yang tidak berinovasi, gereja yang tidak beradaptasi dengan situasi saat ini, otomatis akan tergilas oleh masa yang akan datang. Gereja itu akan ditinggalkan dan jemaat itu akan mulai melebur. Jadi, itu yang dimaksud dengan peleburan geerja. Gereja-gereja yang tidak berkembang akan melebur ke gereja-gereja yang berkembang. Dan, gereja-gereja yang berkembang atau yang semakin besar, mungkin akan di satu sisi memang menjangkau orang-orang baru, jiwa-jiwa baru, tetapi juga "mengambil" domba-domba dari gereja-gereja yang kurang berkembang ini tadi. Memang pada satu sisi kita tidak bisa menyalahkan gereja secara langsung, karena memang tidak ada yang dapat memprediksi Covid-19. Akan tetapi, ini yang mungkin akan terjadi ke depan.

Jadi, apa yang harus dilakukan?

Gereja masa depan harus tahu bagaimana mengatasi hal ini. Gereja masa depan harus berinovasi, gereja masa depan harus bisa menanggapi kebutuhan saat itu.

2. Apakah saat ini sudah saatnya kembali ke gereja? Maksudnya kembali ke pertemuan tatap muka. Ternyata, seberapa pun menggodanya untuk membuka kembali pintu gereja dan percaya semua orang akan datang kembali, kemungkinan itu tidak akan terjadi. Di Solo, mulai Minggu tanggal 7 Juni nanti, gereja-gereja dan tempat-tempat ibadah sudah diperbolehkan untuk melakukan kegiatan keagamaan tanpa harus mengurus perizinan. Nah, sekalipun sudah ada tanda-tanda untuk gereja bisa kembali ke situasi "Normal" yang sebelumnya, sebelum Covid, tetapi kemungkinan jemaat masih banyak yang enggan untuk kembali datang pertemuan secara tatap muka. Sebab, pertama, sampai saat ini masih belum bisa dinyatakan bahwa pertemuan secara tatap muka itu aman. Dan, juga ada beberapa hal lain yang mungkin mencegah para jemaat untuk datang ke gereja. Misalnya, mereka masih tidak yakin apakah mereka mulai berani untuk kembali ke gereja. Selama pembatasan sosial masih dianjurkan, selama mereka masih dianjurkan untuk di rumah saja, selama vaksin belum tersedia. Sekalipun gereja sudah mulai membuka pintunya kembali  untuk menyambut jemaat barangkali  belum ada jemaat yang akan datang kembali. Mungkin juga, karena kita kita sudah belajar banyak dalam beberapa bulan ini, kita sudah mencicipi gereja online, mencicipi bagaimana nyamannya untuk kita bisa beribadah dari tempat kita, tidak perlu ke tempat suatu tempat tertentu. Oleh karena itu, mungkin juga kembali ke gereja untuk bertatap muka secara langsung juga dirasa sebagai suatu kemunduran oleh beberapa jemaat.

Apa yang bisa gereja lakukan? Gereja masa depan harus bisa kembali lagi berinovasi. Meskipun saat ini gereja-gereja masih dalam dalam lockdown. Bukan hanya gereja, tetapi juga kita  masih dalam kondisi lockdown. Akan tetapi, kita tidak terkunci pada apa yang kita lakukan. Maksudnya, kita masih bisa terus berinovasi, kita masih bisa berkesperimen dengan cara-cara baru, masih bisa mengembangkan banyak hal dalam melakukan pelayanan. Nah, itu yang bisa gereja lakukan. Sekalipun saat ini belum terlihat tanda-tanda bahwa kita bisa kembali normal, tetapi ada banyak hal yang masih bisa kita lakukan.

3. Ini salah satu juga yang sudah dibahas dalam presentasi sebelumnya. Pada masa yang akan datang, gereja-gereja yang berkembang akan menjadi organisasi digital dengan lokasi fisik. Artinya, digital aspek digital dari gereja menjadi lebih diunggulkan daripada aspek fisiknya, sekalipun kita berharap online akan memperkuat offlinenya, dan offline juga akan mendukung onlinenya, tetapi kita bisa melihat tren ke depan bahwa gereja-gereja akan mendahulukan aspek digital terlebih dahulu jika mereka benar-benar ingin menjangkau jiwa-jiwa. Karena, kita melihat di sini ada banyak keuntungan yang dibawa oleh gereja digital. Gereja digital melampaui batas-batas geografis, melampaui batas-batas fisik, melampaui batas-batas waktu yang yang tidak bisa kita lakukan jika kita tidak bertemu, bergereja secara tatap muka. Nah, semakin ke sini, koneksi secara digital semakin terasa natural. Bahkan, sama sama naturalnya, atau bahkan malah lebih nyaman daripada komunikasi secara tatap muka. Misalnya, orang sekarang lebih mudah terhubung secara online dan juga lebih siap untuk mengakui kebenaran dibandingkan secara tatap muka. Mungkin, kalau tatap muka masih sedikit malu-malu gitu, tetapi secara digital, dengan online orang jadi menyukai chatting. Dan, dengan tidak perlu bertemu langsung, banyak orang bisa menjadi lebih jujur begitu. Dan, jika kita membayangkan setelah pandemi ini berakhir, lalu gereja kembali, gereja yang tadinya menggunakan gereja online dan menggunakan platform-platform media sosia lalu meninggalkan cara digitalnya dan kembali ke keadaan normal, maka kita sedang mengabaikan peluang terbesar untuk menjangkau jiwa-jiwa. Karena, jujur, peluang terbesar yang gereja punya saat ini untuk menjangkau jiwa-jiwa adalah melalui platform online, platform digital. Nah, ketika gereja mengabaikan hal itu, berarti gereja mengabaikan orang-orang itu. Dan juga, mengabaikan gereja digital berarti mengabaikan fakta bahwa  banyak orang sekarang lebih lebih suka melakukan komunikasi digital sebagai salah satu opsi atau bahkan opsi yang lebih disukai, lebih menguntungkan, khususnya di tempat-tempat di mana akses secara fisik itu dibatasi.

Nah, satu hal yang  bisa kita sepakati bersama saya rasa, terlepas dari semua ketidakpastian di tengah masa pandemi ini adalah bahwa digital akan tetap tinggal. Digital hanya akan terus maju dan berkembang. Dan, jika gereja tidak mengikuti cara digital, gereja malah meninggalkan gereja dan gereja akan ketinggalan. Nah, apakah artinya ke depan ibadah dan persekutuan secara tatap muka akan punah? Tentu, tidak begitu. Sebab, pertemuan secara tatap muka itu sangat penting. Juga kerinduan setiap manusia adalah untuk bisa terhubung dengan manusia yang lain secara langsung. Akan tetapi, pada masa depan nanti, pada masa yang akan datang, jika gereja benar-benar peduli untuk menjangkau jiwa-jiwa, maka gereja akan peduli dengan gereja digital. Itu poin yang ketiga.

4. Saya memparafrasekan judulnya menjadi gesit pangkal sukses. Kita sudah lihat bagaimana seperti yang sudah disinggung tadi, pandemi yang sedang kita hadapi saat ini membuat banyak hal menjadi semakin tidak menentu. Sebab, di sana sini masih banyak penyesuaian. Di sana sini masih banyak inovasi untuk beradaptasi. Ada ada banyak hal yang menjadi sulit diprediksi. Oleh karena itu, fleksibilitas dan juga kegesitan, kemampuan untuk tanggap, merespons sesuatu secara berbeda, merespons budaya yang terus berubah-ubah dalam masa pandemi seperti sekarang ini, menjadi sangat sangat krusial. Sangat penting untuk bisa menjaga agar gereja tetap maju ke depan, bukannya menjadi mandeg. Nah, misi kita tidak akan pernah berubah, misi gereja tidak akan pernah berubah, tetapi metode yang digunakan harus terus disesuaikan dengan kebutuhan saat ini.

Sekarang, kita tidak bisa melakukan pertemuan secara langsung, maka apa yang bisa kita lakukan? Atau, ada keterbatasan-keterbatasan lain yang dihadapi. Maka, itu yang yang perlu kita tinjau. Apa apa yang sedang terjadi saat ini? Bagaimana kita bisa menanggapinya? Dan, bagaimana kita bisa merencanakan ke depan? Walaupun mungkin untuk melihat 5 tahun ke depan sekarang sedikit lebih sulit dibandingkan tahun-tahun sebalumnya, tetapi paling tidak kita bisa fleksible, kita bisa mengatur pikiran kita untuk bisa tanggap, bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi. Nah, seperti pepatah dalam bahasa Inggris ini yang saya tulis, "If you don't like change, you will like irrelevance even less." Kurang lebih maksudnya di sini adalah perubahan itu akan terus terjadi. Jikalau kita tidak menyukai perubahan, lihat saja kita pasti lebih tidak menyukai irelevansi. Karena, ketika kita tidak mau berubah, maka kita menjadi tidak relevan dengan dunia yang sudah berubah. Dan, seberapa pun tidak sukanya kita terhadap perubahan, kita akan lebih tidak suka lagi terhadap irelevansi. Maka, mau tidak mau pasti akan ada dorongan untuk berubah dan jika kita tidak suka pun akan tetap dipaksa. Sama halnya seperti gereja pada masa ini juga. Sekalipun tadinya tidak mau menggunakan platform digital, akhirnya Tuhan bisa menggunakan pandemi ini untuk memaksa gereja masuk ke platform digital yang sudah terlalu lama ditunda-tunda.
 
5. Tim Staf Virtual. Gereja masa depan mungkin akan memiliki tim staf virtual. Seperti yang saya tadi sudah sebutkan, Tim staf di gereja baik itu pendeta maupun juga majelis mungkin tidak perlu mengadakan pertemuan secara tatap muka lagi, tetapi juga bisa lewat platform-platform Zoom atau platform lain semacam itu gitu. Jadi, kita sudah lihat framenya kita sudah mulai sejak sebelum pandemi ini dan pandemi ini justru malah mempercepat tren ini untuk bisa diadopsi lebih banyak perusahaan dan gereja seperti itu.

6. Formasi rohani berbasis rumahan. Berbicara tentang gereja pada masa-masa sebelum pandemi ini,kita mungkin tidak mengakui ini secara terang-terangan atau secara, tetapi kita mengekspektasikan bahwa jika seorang Kristen ingin mendapatkan pembinaan rohani, maka orang tersebut harus datang ke gereja dan juga terlibat dalam program tertentu atau pelayanan tertentu yang ditawarkan oleh gereja. Ke depannya, pelan-pelan kita sudah mulai bergeser dari gereja yang sifatnya fisik ke gereja yang sifatnya digital, maka para pemimpin gereja akan mulai menyadari bahwa fokus pelayanan mereka bukan lagi pada gedung, bukan lagi pada fasilitas, bukan lagi pada pelayanan berbasis fasilitas, tetapi pada pelayanan atau pembentukan rohani yang berbasis rumahan. Jadi, bukannya menarik orang atau jemaat datang ke gereja atau ke fasilitas tertentu, ke gedung tertentu. Sebaliknya, justru para pemimpin gereja, entah itu pendeta atau majelis lebih memandang dirinya sebagai penolong jemaat untuk bisa memperlengkapi mereka di tempat mereka berada yaitu di rumah mereka. Dan, berbicara tentang pemuridan dan penginjilan, maka setiap hari itu jauh lebih penting daripada hari Minggu. Maka, gereja-gereja yang tadinya hanya berfokus pada ibadah raya pada hari Minggu saja, ke depannya mereka akan mulai fokus pada pelayanan setiap hari bukan hanya hari Minggu. Misalnya, mulai dari Senin-Sabtu, mungkin ada pelayanan anak, pelayanan remaja, pembinaan iman yang lain dalam pengajaran-pengajaran seperti itu. Dan, ketika hari Minggu dalam ibadah raya, kita merayakan apa yang kita kerjakan, apa yang sudah kita alami selama seminggu itu seperti itu. Jadi, ke depan gereja akan lebih menemui jemaat di tempat mereka berada bukan mengekspektasikan jemaat akan datang ke lokasi gereja fisik. Mungkin sesekali mereka bisa datang ke gereja fisik, karena seperti tadi sudah disebutkan pertemuan secara tatap muka memang tidak akan pernah bisa tergantikan. Akan tetapi, fokus pelayanannya sudah bergeser bukan pada fasilitas, tetapi kepada jemaatnya.

7. Akses on demand. Entah disadari atau tidak, kita sudah berada dalam budaya on demand sudah cukup lama. Kita lebih memilih melihat Youtube misalnya daripada televisi. Kita lebih memilih mendengarkan podcast daripada radio. Kita ingin mendapatkan konten ketika kita mau, di mana kita mau. Bukan kita tidak lagi membiarkan platform menentukan jadwalnya untuk kita. Nah, masalahnya, sekalipun kita sudah cukup lama hidup dalam pola on demand seperti ini, sebagian besar gereja belum mengadopsi pola seperti ini. Sebagian besar gereja berekspektasi untuk lebih cenderung mendorong segala sesuatu, segala kegiatan ke arah acara yang live. Entah itu perayaan Natal, ibadah, persekutuan kelompok PA, misalnya. Sebagian besar gereja lebih cenderung melakukan itu secara fisik bukan secara on demand. Bagaimana kita bisa menjembatani ini? Bagaimana kita bisa mulai menjajaki supaya gereja lebih relevan dengan gaya hidup seperti ini?

Mungkin, pada gereja tertentu, kita sudah punya arsip audio khotbah beberapa pendeta, beberapa kaum muda, persekutuan pemuda punya podcast, kita bisa memanfaatkan itu. Atau kita sudah mulai merekam video khotbah atau video pengajaran atau video ibadah secara utuh. Kita bisa juga memanfaatkan itu. Dari pada hanya disimpan di satu situs yang mungkin tidak ada orang yang akan melihat, kita bisa memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan konten-konten itu. Hanya karena konten kita bukan benar-benar baru, bukan berarti itu bukan hal baru bagi yang mendengarkan. Bisa saja konten yang lama yang sudah kita simpan itu, yang tidak kita promosikan, ketika kita promosikan dan ada orang yang baca, ada orang yang mendengarkan, ada orang yang melihat, mereka merasa terberkati.

Jadi, jika konten itu bagus, mereka tidak akan peduli apakah konten itu baru atau tidak. Yang penting adalah konten itu relevan dengan hidup saya, konten itu bisa memberkati saya, saya bisa membagikan konten itu kepada orang lain, dan memberkati lebih banyak orang. Orang mungkin tidak akan peduli apakah itu konten baru atau tidak. Jujur saja, berita Injil dari dulu tidak pernah berubah. Berita keselamatan dari dulu tidak pernah berubah, tidak akan pernah bertambah tua. Akan tetapi, bukan berarti itu hal yang lama bagi orang. Ada banyak orang yang belum pernah mendengar Injil, dan itulah mengapa kita harus melakukan penginjilan. Mengapa kita harus melakukan penjangkauan? Supaya semua orang mendengar berita Injil, yang mungkin sudah bertahun-tahun kita mendengarnya, mendengarkan sendiri di gereja. Kita sebagai orang Kristen diundang, diajak, untuk mengabarkan Kabar Keselamatan itu kepada semua orang. Akses on demand ini bisa menjadi salah satu tren ke depan yang memungkinkan kita menjangkau lebih banyak orang. Ketika orang-orang itu tidak bisa mengikuti acara kita secara live, misalnya, mereka masih bisa mengikuti dari siaran ulangnya atau mereka tidak bisa hadir ke kelompok PA kita secara langsung, mereka bisa menyimak hasilnya atau mengikuti dari waktu yang berbeda atau dari tempat yang berbeda. Karena itu, akses on demand ini sangat relevan dengan gaya hidup kita saat ini.

Itulsh 7 pemikiran tentang gereja masa depan yang bisa sampaikan dalam kesempatan kali ini. Saya sangat menyadari 7 poin ini mungkin lebih banyak menimbulkan pertanyaan daripada jawaban. Dan, juga seperti yang saya singgung sebelumnya, mungkin Anda tidak setuju dengan satu atau beberapa poin yang sudah disebutkan Namun, sekali pun berbeda-beda, ada satu hal yang  saya kira kita bisa sepakati bersama, yaitu masa depan itu kejam terhadap siapa saja yang tidak siap, termasuk gereja yang tidak siap. Karena itu, hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah bersiap.  

Tujuan kita membicarakan tentang seperti apa gereja masa depan itu supaya kita bisa tahu bagaimana mempersiapkan, mengisi gereja dengan cara yang relevan, dengan cara yang sesuai dengan zaman itu. Dalam kondisi saat ini, cara yang tepat adalah pelayanan digital. Akan tetapi, ke depan bukan hanya berhenti sampai di situ, tetapi harus dikembangkan, disesuaikan dengan zaman. Misinya tidak berubah, tetapi metodenya harus disesuaikan dengan kebutuhan.