Sebagai anak Tuhan, baik itu keputusan menikah atau tidak menikah bertitik tolak dari siapa kita di hadapan Tuhan. Dalam Kolose 1:15-16, firman Tuhan mengatakan bahwa "Ia adalah gambaran dari Allah yang tidak kelihatan, yang sulung atas semua ciptaan. Sebab, oleh Dia, segala sesuatu yang ada di surga dan di bumi diciptakan, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik takhta, kekuasaan, pemerintah, maupun penguasa. Segala sesuatu telah diciptakan melalui Dia dan untuk Dia." Perhatikan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Tuhan Yesus adalah gambar yang sulung. Oleh karena kita diciptakan sebagai gambar Allah, tetapi yang kemudian jatuh ke dalam dosa maka kita perlu gambar Allah yang sempurna sebagai teladan kita saat ini.

Apa maksud perkataan bahwa kita ini diciptakan? Segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Tatanan manusia dan seluruh alam semesta diciptakan oleh Tuhan. Ini pola ilahi tentang siapa kita di hadapan Tuhan. Sebagai anak Tuhan, kita perlu memiliki kesadaran bahwa kita perlu mengenal Allah dengan benar. Kenal Allah dengan benar, kenal diri dengan benar, maka kita akan hidup tahu diri. Kenal Allah, kenal diri, tahu diri. Untuk itu, kita perlu mengenal siapa Allah terlebih dahulu melalui firman Allah. Firman Tuhan menyatakan bahwa Dia adalah pencipta. Sebagai pencipta, berarti Dia yang memberi tujuan dan aturan main untuk semua ciptaannya. Lalu, sebagai pencipta Dia juga adalah pemilik, di mana ini berarti manusia hanya dipercayakan sebagai pengelola. Kita adalah hamba dan Allah sebagai pencipta adalah Tuan.

Jika dikatakan bahwa semua yang diciptakan itu adalah oleh Dia dan untuk Dia, berarti kita dan seluruh aktivitas kita harus terfokus kepada Allah. Jadi, hidup ini adalah tentang Tuhan. Dialah yang kita pikirkan semenjak bangun sampai tidur lagi. Bahkan, dalam hal tidur pun adalah tentang bagaimana kita bisa terus memuaskan Tuhan dalam hidup yang kita jalani. Jadi, kita hidup untuk memuliakan Tuhan. Hidup yang memuliakan Tuhan adalah hidup di mana seluruh diri kita memancarkan siapa pencipta kita. Artinya, ketika orang lain melihat diri kita, mereka akan melihat luar biasanya Pencipta kita. Lalu, saat kita beraktivitas dan menghasilkan sesuatu, Tuhan juga dipermuliakan. Kita pun berbagi dari yang sudah kita hasilkan atau yang dipercayakan kepada kita sebagai pengelola kepada sesama. Pada waktu kita berbagi kepada orang lain, maka ucapan terima kasih juga harus ditujukan kepada pemilik yang sebenarnya, yaitu Tuhan sendiri.

Jadi, seperti itulah sebenarnya titik tolak kehidupan kita sebagai anak Tuhan. Sekarang, jika hal itu dikaitkan dengan kehidupan atau pilihan untuk melajang atau menikah. Dalam kitab Kejadian 1:27-28 dinyatakan tentang tugas manusia untuk memenuhi bumi dan beranak cucu. Perhatikan, kata 'penuhi bumi' berbeda dengan 'menuh-menuhi bumi'. Kita dipanggil untuk memenuhi bumi, bukan hanya sekadar menuh-menuhi bumi. Penuhi bumi itu adalah perintah untuk memenuhi bumi dengan gambar Allah lainnya, yaitu gambar Allah yang hidup sesuai dengan tatanan yang tadi. Sebab, ada orang yang berpikir bahwa dengan perintah itu maka tujuan hidup ini adalah untuk menikah. Tidak. Di dalam Alkitab tidak ada ajaran bahwa kita baru berkenan dan benar di hadapan Tuhan pada saat kita menikah atau tidak menikah. Jadi, bukan berarti karena tidak menikah jadi benar di hadapan Tuhan, atau dengan menikah jadi benar di hadapan Tuhan.

Sebagai contoh, kita dapat melihat pada tokoh Zakharia dan Elizabeth dalam Lukas 1:5 dan selanjutnya. Pada waktu Tuhan mengatakan kepada Zakharia dan Elizabeth bahwa mereka adalah orang yang benar, tidak bercacat, berkenan di hadapan Tuhan, sesungguhnya pada waktu itu mereka belum memiliki keturunan. Jika ini dikaitkan dengan perintah untuk memenuhi bumi dalam kiab Kejadian, maka untuk manusia bisa beranak cucu, maka mereka harus menikah dulu. Namun, bukan itu yang dimaksud sesungguhnya. Kalau kita lihat gambar yang awal tadi, tujuan kita diciptakan adalah supaya kita kembali hidup berkenan kepada Tuhan. Dan, pada saat manusia jatuh ke dalam dosa, manusia lalu berpaling dari Allah dan menjadikan hidup ini bukan tentang Tuhan lagi, tetapi tentang diri kita sendiri. Kalau kita perhatikan dalam Roma 14:7-9, di sana jelas sekali dikatakan bahwa manusia itu sudah ditebus oleh Tuhan. Artinya, Tuhan Yesus mati dan bangkit dengan satu tujuan yang jelas, yaitu agar manusia tidak hidup lagi untuk dirinya, dan tak ada seorang pun yang mati atau hidup untuk dirinya sendiri.

Kalau kita perhatikan ayat-ayat ini, mereka ada di dalam konteks bahwa seluruh aktivitas kita dalam menjalani hidup itu, bahkan makan minum, semua harus dilakukan untuk menyenangkan hati Tuhan. Jadi, hidup ini adalah tentang Tuhan. Makan, bukan supaya kita senang dan merasakan nikmat, sehingga kita lalu pilih makan secara sembarangan walau makanan itu tidak sehat atau bermanfaat. Tidak. Kita makan karena kita sadar bahwa tubuh ini bukan milik kita, tetapi milik Kristus. Sehingga, dalam hal makan dan minum pun kita tidak sembarangan, karena kita mau menghormati apa yang Tuhan percayakan kepada kita, dan mampu mengelolanya.

Dalam 2 Korintus 5:15-17 juga diulang mengenai hal ini. Di sana dikatakan bahwa Tuhan Yesus mati dan bangkit supaya kita ini berhenti hidup untuk diri sendiri dan kemudian hidup untuk Tuhan. Kita tahu bahwa pada saat manusia jatuh ke dalam dosa mereka atau kita tidak lagi hidup bagi Tuhan. Itu fatal bagi Tuhan. Maka, pada waktu Tuhan Yesus datang untuk membereskan itu semua, yang dibereskan bukan hanya sekadar memindahkan kita dari neraka ke sorga. Tidak. Atau, hanya sekadar memindahkan posisi kita dari di bawah murka Allah agar terlepas dari murka Allah. Bukan, Akan tetapi, tujuannya adalah agar selain kita ditebus, terlepas dari murka Allah, adalah juga supaya kita kembali hidup sesuai dengan tatanan penciptaan, yaitu hidup dan mati kembali bagi Dia. Kita harus berhenti dari hidup yang terfokus dari diri sendiri, untuk kembali hidup terfokus kepada Tuhan.

Jadi, sekarang pada saat kita menjalani hidup titik tolaknya adalah kita merupakan anak Tuhan. Sebagai anak Tuhan, bagaimana kita bisa hidup secara optimal dan memiliki tujuan untuk hidup dan mati bagi Tuhan. Setiap kita diberi kepercayaan yang berbeda, seperti dalam perumpamaan talenta, di mana ada hamba yang mendapat lima, mendapat dua, dan mendapat satu talenta. Tuhan tidak meminta kita menjadi orang lain. Tuhan minta kita untuk jadi diri kita sendiri. Jadi, berikanlah yang terbaik bagi Tuhan sesuai dengan talenta yang Tuhan percayakan. Untuk itu, kita perlu meminta hikmat dari Tuhan agar kita bisa mengelola yang Tuhan percayakan kepada setiap kita.

Dari sana kita bisa melihat bahwa isunya bukan soal menikah atau tidak menikah, soal sendiri atau berpasangan, dan sebagainya. Tidak. Namun, bagaimana kita pada saat ingin mengambil keputusan menikah atau tidak menikah, maka keputusan itu harus didasarkan kepada siapa kita ini di hadapan Tuhan. Oleh karena kita mengenal diri kita, maka kita harus tahu diri. Lalu, bagaimana kita bisa secara optimal memberikan seluruh diri dan semua yang Tuhan percayakan kepada kita untuk bisa dipakai secara optimal bagi Tuhan? Oleh karena itu, di dalam perjalanan, kita perlu bersyukur bahwa kita tidak perlu menjadi orang lain, karena kita tidak akan bisa. Kita semua tidak bisa menjadi orang lain, dan kita bersyukur bahwa kita cukup menjadi diri kita yang terbaik bagi kemuliaan Tuhan. Yang Tuhan akan fokuskan ke diri kita adalah apakah kita ini menjadi hamba yang baik dan setia pada waktu mengelola segala sesuatu yang Tuhan percayakan. Oleh sebab itu, setiap keputusan yang kita ambil dalam keseharian kita, apa pun itu, maka keputusan itu harus berkaitan dengan pola pikir tadi, dengan titik tolak berpikir, yaitu siapa kita sesungguhnya di hadapan Tuhan.

Ketika kita memutuskan hidup sepenuhnya bagi Tuhan, itu tidak identik dengan untuk memutuskan hidup sendiri. Bukan itu masalahnya. Jadi, jika kita memutuskan untuk menikah, maka pada waktu mencari pasangan kita harus berpikir bahwa ke depan pasangan kita juga harus mau optimal bagi Tuhan bersama-sama dengan kita. Sebab, sering terjadi, banyak orang justru tidak optimal bagi Tuhan setelah menikah. Sebelum menikah mungkin sibuk ke gereja, berdoa, melayani. Akan tetapi, pada saat sudah menikah jadi menghilang dan undur dari pelayanan, dengan alasan sibuk dengan rumah tangga dsb. Dengan demikian, sebenarnya tujuan hidupnya bukanlah untuk Tuhan, tetapi yang bersangkutan hanya datang kepada Tuhan untuk mencari jodoh.

Yang tepat adalah jika kita mengambil keputusan bahwa entah menikah atau tidak menikah, kita harus optimal bagi Tuhan. Jadi, mari kita membuat poin berpikir kita untuk mengutamakan Tuhan, sehingga itu yang menjadi standar ketika memilih pasangan, untuk menikah atau tidak menikah. Sebab, masalahnya bukan pada menikah atau tidak menikah, tetapi bagaimana kita hidup di hadapan Tuhan. Sebab, dengan menikah pun, kita tetap bisa hidup berkomitmen sepenuhnya kepada Tuhan bersama pasangan, yang mungkin bisa jadi lebih baik dibanding jika kita memilih hidup sendiri. Sebab, hidup sendiri juga tidak selalu otomatis bahwa kita pasti akan berfokus pada Tuhan. Sebab, ada orang yang fokus hidupnya hanya kepada diri sendiri, sehingga dia tidak mau menikah. Dengan demikian, dengan tidak menikah pun dia belum tentu hidup untuk Tuhan. Oleh sebab itu, menikah dan tidak menikah, harus kita lakukan hanya untuk menyenangkan hati Tuhan.


Apa sebenarnya yang menjadi tantangan ketika kita memilih untuk hidup sendiri?

Ada orang yang menikah oleh karena tekanan dari masyarakat atau keluarga. Sebab, mereka memahami Kejadian 1 sebagai perintah, di mana Tuhan baru berkenan kalau kita menikah dan beranak cucu. Apalagi, ada suatu konsep pemikiran dalam masyarakat seperti "Banyak anak, banyak rejeki", "Kalau tidak menikah berarti tidak laku," dsb. Jadi, orang hidup hanya untuk memenuhi tuntutan dari yang lain. Menikah, punya anak, punya cucu, dst. Itu adalah standar berpikir dari dunia. Namun, sebagai anak Tuhan, kita tentunya tidak memiliki cara berpikir yang demikian. Jadi, tantangan untuk memutuskan hidup sendiri memang biasanya berasal dari (pandangan) keluarga, masyarakat, komunitas, dan pandangan dunia yang salah.
 
Masing-masing kita sudah pasti diberi hikmat. Jika kurang hikmat, Tuhan mengatakan agar kita meminta hikmat dari Dia. Jadi, untuk memutuskan menikah atau tidak menikah, sebaiknya jangan didasari karena ketidakpuasan, tidak merasa lengkap, dan merasa diri tidak penuh atau tidak utuh kalau tidak menikah. Itu adalah pemikiran yang salah. Sebagai anak Tuhan, sebagai manusia, keutuhan kita itu berada di dalam relasi kita dengan Tuhan. Kita oke selama kita menjadi gambar Allah yang mempermuliakan Tuhan. Termasuk dalam hal melayani. Kalau kita melayani atas dasar kekurangan, maka pelayanan itu akan menjadi pelayanan yang narsis. Bukan melayani orang, tetapi kita sedang melayani diri supaya orang lain menyukai kita, supaya orang lain terfokus kepada kita. Padahal, dalam Injil Yohanes, Tuhan mengatakan bahwa Dia  memberikan kepada kita satu kehidupan dan hidup yang Dia berikan itu adalah hidup yang berkelimpahan. Hidup yang berkelimpahan ini artinya kita utuh di hadapan Tuhan.

Manusia itu dikatakan memiliki 3 kebutuhan dasar, yaitu: dikasihi, diakui, dan merasa aman. Nah, dalam hal dikasihi, Tuhan sudah mengasihi kita sampai Dia rela mati di kayu salib. Dalam hal pengakuan, Tuhan katakan bahwa kita adalah anak-Nya, biji mata-Nya. Lalu, dalam hal rasa aman, firman Tuhan mengatakan bahwa tidak ada siapa pun atau dan apa pun juga yang akan bisa memisahkan kita dari kasih Allah. Bahkan, dalam Yohanes pasal 10, Tuhan katakan bahwa tidak ada yang bisa merebut kita lagi, karena kita ada di dalam genggaman tangan Bapa, Allah Tritunggal ini. Itu yang dimaksud dengan hidup dalam kelimpahan. Dengan demikian, pada waktu kita berinteraksi dengan orang lain, kita berinteraksi dari kelimpahan itu. Itu sebabnya, kita boleh terus menjadi berkat bagi orang lain. Kesadaran yang demikian akan sangat berpengaruh sekali. Sebab, kalau kita hanya berfokus kepada diri sendiri, maka kalau ada reaksi dari orang lain yang menolak, tidak menerima, tidak menghargai, maka kita akan terusik dan terganggu. Namun, kalau kita sudah merasa puas di hadapan Tuhan, kita tidak perlu lagi mencari penerimaan, pujian, atau penghargaan dari orang lain. Kita sudah ok di hadapan Tuhan. Dan, itu cukup.

Lalu, apakah untuk hidup single atau tidak menikah, seseorang harus memiliki karunia?

Karunia itu artinya anugerah, atau hal-hal khusus yang Tuhan berikan. Jadi, intinya kalau kita punya kepuasan dan keutuhan di dalam Tuhan, maka perjalanan hidup kita tidak ditentukan dari menikah atau tidak menikah. Sehingga kalau kita tidak menjadikan menikah itu sebagai tujuan hidup, maka itu tidak akan mengganggu. Akan tetapi, kalau itu menjadi tujuan hidup, itu akan mengganggu. Bagi anak Tuhan, menikah atau bahkan tidak menikah, tidak boleh menjadi dasar dari tujuan hidup.

Apa yang menjadi keuntungan dari seorang single, atau yang memutuskan untuk tidak menikah?

Keuntungan dari hidup single adalah lebih terus terfokus kepada Tuhan, sebab tidak ada kesibukan dalam berkeluarga atau mengurus pekerjaan rumah tangga. Pikiran dan waktu kita bisa terus terarah kepada Tuhan, dan tidak bercabang dengan urusan keluarga. Selain itu, jika kita menikah dan hidup bersama dengan manusia yang sama-sama tidak sempurna pasti juga memiliki tingkat kesulitan tersendiri, yang tidak akan dialami oleh mereka yang hidup single.

Meski begitu, Tuhan juga mengasah kita dalam keluarga jika kita memutuskan untuk menikah. Sebab, Tuhan juga memiliki rencana dalam keluarga, yang bisa kita penuhi jika tujuan hidup kita adalah bagi Dia. Intinya, menikah atau tidak menikah, hidup kita harus tertuju kepada-Nya dan bagi rencana-Nya. Dengan demikian, kita akan menjalani kehidupan yang menyukakan Tuhan, yang juga mendatangkan sukacita dalam diri.

Sebagai penutup, bagi mereka yang masih single hal yang pertama-tama perlu dilakukan adalah membereskan hidup dengan Tuhan. Pastikan hidup kita itu ada di dalam tatanan yang benar, di mana setiap detik dalam kehidupan kita ini adalah kehidupan yang bersama dengan Tuhan dan hidup untuk Tuhan. Dalam 1 Tesalonika 5 dikatakan dalam ayat 9 bahwa Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus Tuhan kita, yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup besama-sama dengan Dia. Karena itu nasehatilah seorang akan yang lain dan saling membangun. Dari sana kita bisa melihat bahwa pada saat kita berjaga-jaga atau pada saat kita tidur, kita hidup bersama dengan Dia. Penting untuk terlebih dahulu kita merasa aman dan nyaman hidup seperti itu. Hidup bersama Tuhan, hidup di hadapan Tuhan, dan untuk Tuhan. Itu tentu saja harus dilihat dari perspektif Tuhan, bukan dari perspektif manusia. Sebab, manusia menilai berdasarkan apa yang kita miliki atau tidak miliki. Punya suami atau tidak punya suami, punya barang atau tidak punya barang, saya bisa atau tidak bisa, mencapai sesuatu atau tidak mencapai sesuatu, sukses atau gagal. Nah, kalau kita membiarkan diri dinilai oleh standar manusia, maka kita akan memutuskan segala sesuatu berdasarkan hal itu.

Akan tetapi, kalau kita menyadari bahwa kita ok menjadi diri sendiri, maka seperti hamba yang diberi dua dan lima talenta dalam perumpamaan tentang talenta, kita sudah menjadi diri yang terbaik bagi Tuhan, yaitu hamba yang baik dan setia. Dalam perjalanan ini, jika Tuhan mempertemukan kita dengan seorang anak Tuhan yang lain, di mana Tuhan punya rencana ilahi untuk kita bersama-sama dengannya membangun satu keluarga dan menyatakan kemuliaan Allah melalui rumah tangga, maka Tuhan akan pimpin ke sana dan kita pasti akan diberi hikmat oleh Tuhan. Tuhan akan beri kepekaan kepada kita akan hal ini. Namun, jika tidak, kita bisa tetap ok. Yang terpenting, jika Tuhan senang, maka kita pun juga akan senang.