Ternyata, masalah itu ada di mana-mana. Baik orang Kristen maupun orang non-Kristen, semua tidak ada yang steril dari masalah. Dan, melalui realita yang dihadapi, ternyata masalah bisa membawa orang Kristen semakin bertumbuh dalam relasinya dengan Tuhan. Seseorang dapat semakin mengenal siapa Tuhan, seperti apa karakter-Nya, bagaimana cara kerja-Nya, apa yang disukai, apa yang tidak disukai. Masalah bisa menjadi suatu berkat. Akan tetapi, di sisi yang lain, masalah itu juga dapat membuat orang Kristen semakin menjauh dari Allah. Bukan hanya menjauh, bahkan banyak orang yang akhirnya jatuh di dalam kepahitan dan meninggalkan Allah. Ini adalah realita yang kita hadapi.
Kita juga melihat realita bahwa ternyata pemahaman kognitif yang ada di dalam otak kita tidak otomatis sama dengan operated believe. Baik yang kita pelajari dari atas mimbar, dalam kelas-kelas pembinaan, maupun dalam PA-PA. Ternyata, kita tahu itu benar, kita meyakini itu, dan kita setuju. Akan tetapi, untuk menjalani atau mengaplikasikannya tidak semudah itu. Misalnya, seorang yang bertumbuh dalam relasi yang tidak baik dengan orangtuanya, ketika mereka mendengar perintah "Hormatilah orangtuamu," mereka tahu dan setuju dengan hal itu. Akan tetapi, realitanya bagaimana? Mungkin, dengan melihat orangtuanya saja, mereka sudah jengkel, lalu bagaimana yang bersangkutan bisa menghormati orangtuanya? Ini adalah kesulitan-kesulitannya.
Nyatanya, kesulitan ini bukan hanya dialami oleh orang-orang yang tidak bertumbuh. Bahkan, Paulus pun mengatakan bahwa dia ingin melakukan yang baik, tetapi yang dilakukan malah yang sebaliknya. Ini adalah realita yang kita hadapi. Pada sisi lain, kita juga melihat realita bahwa setiap individu itu unik. Dalam menghadapi masalah yang sama, 10 orang itu bisa memiliki 10 respons. Katakanlah mereka berespons dengan cara sama, akan menjadi sedih saat kehilangan orangtua. Namun, perasaan sedih itu bisa disebabkan karena 10 macam alasan, dan intensitas kesedihannya bisa berbeda-beda, karena setiap individu itu bersifat unik.
Ini adalah realita yang kita lihat dan tidak bisa disangkal sehingga konseling menjadi satu pelayanan yang bersifat person to person, satu pelayanan yang bersifat custom made/tailor meet, karena orang per orang itu berbeda. Seperti jika mendatangi penjahit, kita akan benar-benar diukur, mulai dari lebar bahu, lebar pinggul, lebar dada, dsb. Sebab, mereka akan membuat pakaian yang sesuai dengan ukuran tubuh kita. Ini adalah bentuk pelayanan yang personal. Ini bisa menjadi suatu means, suatu sarana anugerah yang mempertemukan kebenaran firman Tuhan dengan keunikan individu, yaitu individu yang berbeda-beda. Pelayanan ini tidak bisa didapatkan dari hanya sekadar suatu pengajaran yang bersifat massal, di mana sebenarnya hal ini pun dilakukan Tuhan Yesus. Dia mengajar di dalam rumah-rumah, di dalam Bait Allah, bahkan di bukit-bukit yang didatangi ribuan orang. Namun, selain itu, Dia juga melakukan pelayanan secara pribadi-pribadi kepada Petrus, kepada Filipus, kepada Thomas, perempuan Samaria, Nikodemus, dan banyak sekali pribadi-pribadi yang lain. Ini adalah satu means/sarana yang seharusnya bisa kita pakai untuk menolong individu-individu, mempertemukan firman Tuhan, kebenaran yang hakiki yang kita percaya ini dengan keunikan kita, keunikan pergumulan kita.
Realita lain yang juga terjadi adalah pelayanan konseling ini menghadapi resistensi. Resistensinya apa? Ada orang yang berpikir, orang yang perlu konseling adalah orang yang gila, orang yang imannya rendah, tidak bertumbuh. Hanya orang-orang semacam itu yang membutuhkan konseling. Bahkan, dalam kasus-kasus keluarga yang biasanya sudah kompleks -- yang seharusnya seluruh anggota keluarganya membutuhkan konseling -- tetapi justru ada banyak anggota keluarga yang akan menolak. Resistensi ini terjadi karena konseling adalah proses untuk memahami orang, sementara ilmu untuk memahami orang itu adalah psikologi sehingga ini menjadi suatu resistensi bagi orang-orang untuk tidak melakukan konseling, kecuali benar-benar terdesak.
Kita akan melihat beberapa prinsip yang terdapat di dalam Alkitab, yang akan dipakai dalam konseling Kristen.
Yang pertama saling menasehati, saling menghibur, saling menguatkan, saling menegur, itu adalah perintah Allah. Anda bisa menemukannya di sepanjang Alkitab, bahwa sebagai tubuh Kristus, ini adalah bagian yang harus kita kerjakan satu dengan yang lain.
Yang kedua, ternyata kemampuan menasehati ini adalah karunia, tidak diberikan kepada semua orang. Dalam Roma 12 ayat 8, Paulus mengatakan bahwa ada orang yang dikaruniai untuk mengajar, ada yang menegur, ada yang menasehati, ada yang memberi, dan sebagainya. Tidak semua orang mendapatkan karunia menasehati, dan kemungkinan Paulus juga bukan termasuk orang yang memiliki karunia itu. Kalau kita melihat ke dalam Filipi 4, ketika Eoudia dan Sintike berselisih, Paulus mengatakan bahwa dia sudah menasehati mereka, tetapi ternyata mereka tetap berselisih. Maka, dia menyuruh Sunsugos untuk pergi. Nah, mungkin di dalam komunitas hamba-hamba Tuhan pada waktu itu, Sunsugos adalah orang yang memiliki karunia menasehati, sehingga Paulus mengirim dia untuk pergi. Paulus memiliki karunia yang luar biasa untuk mengajar, pikirannya begitu tajam, dia begitu berani, dia bisa berdebat dengan orang-orang pintar, bahkan menghadap kepada pemuka-pemuka yang begitu berkuasa. Dia memiliki kekuatan untuk itu. Akan tetapi, di dalam relasi interpersonal, sepertinya kisah-kisah yang kita baca di dalam Kisah Para Rasul, Paulus ini tidak selalu bersikap baik. Kita dapat melihat bahwa dia berselisih dengan Petrus, bahkan dia berselisih dengan Barnabas, orang yang pada awal-awal pelayanannya menjadi pendukungnya. Ketika semua orang Kristen lainnya takut melihat Paulus, mencurigai mantan penganiaya yang mengaku sudah bertobat, dan mereka tidak mau menerimanya, Barnabas inilah yang pertama kali menerima Paulus dan memperkenalkan dia kepada pengikut yang lain. Dengan orang yang seperti ini pun, dia berselisih. Meskipun kita memahami bahwa Paulus adalah orang yang mempunyai prinsip, tetapi realitanya dia kurang pandai dalam berelasi. Jadi, apa pun posisi kita di dalam gereja atau di dalam komunitas, ternyata belum tentu karunia menasehati itu kita miliki. Bisa jadi, itu diberikan Tuhan kepada orang yang lain.
Satu prinsip lagi, ternyata Alkitab itu adalah standar kebenaran yang akan kita pakai. Jadi, proses menasehati, menguatkan, menghibur itu masih memiliki patokan. Patokannya apa? Patokannya adalah Alkitab yang menjadi pedoman kita. Ilmu psikologi ini berfungsi sebagai suatu tools, alat untuk memahami suatu persoalan dan menjadi jembatan komunikasi. Misalnya, katakanlah anak kita suka sekali main gadget. Nah, kalau kita menggunakan Alkitab untuk mengatakan kebenaran yang lebih general, kebenaran yang umum, yaitu kita tidak boleh terikat pada suatu benda atau kepada orang tertentu selain kepada Allah, mungkin orangtua akan berkata, "Kamu berdosa karena sudah terikat pada gadget." Nah, psikologi sebagai ilmu yang mempelajari orang, akan berbicara dengan lebih jelas mengenai konteks ini. Sebab, Alkitab tidak berbicara secara mendetail. Sementara dengan memakai psikologi, kita bisa mengatakan kepada anak bahwa fenomena itu bernama adiksi atau kecanduan. Adiksi itu apa? Apakah semua orang yang seharian pegang-pegang hp itu disebut adiksi? Bagaimana kalau misalnya pekerjaannya adalah customer service di toko online yang sepanjang hari akan pegang hp? Apakah ini termasuk adiksi? Ilmu psikologi membuat kriteria yang dapat kita jelaskan kepada anak, mana yang adiksi dan mana yang bukan. Sehingga, kita tidak melakukan generalisasi, kita tidak melakukan simplifikasi, meremehkan suatu persoalan. Sebab, kita memiliki alat untuk melihat dengan lebih jelas. Jadi, ini adalah beberapa prinsip yang kita pakai di dalam konseling Kristen.
Lalu, siapa yang kita layani? Realitanya, tadi dikatakan bahwa setiap individu itu unik. Orang-orang (disebut sebagai klien atau konseli) yang datang kepada konselor biasanya terdiri dari 2 jenis. Ada orang-orang yang memiliki mood/emosi yang naik turun. Ini hal yang wajar, dan kebanyakan dari kita seperti itu. Sebab, adakah di antara kita yang bisa terus merasa senang sepanjang hari, kecuali jika berpura-pura? Jika kita jujur dengan diri kita sendiri, pasti emosi kita itu ada kalanya naik turun. Akan tetapi, ada jenis kedua, yaitu orang-orang yang naik turunnya itu tiba-tiba, atau mood swing. Ada yang misalnya saat putus dari pacar langsung ingin bunuh diri. Atau kalau sedang marah, marahnya luar biasa, naik turun, naik turun seperti itu. Dia tidak bisa beradaptasi dengan masalah yang ada, sehingga fungsi hidupnya terganggu. Ada orang-orang yang meskipun masalahnya sulit, tetap bisa beradaptasi. Akan tetapi, ada orang-orang yang tidak bisa beradaptasi, sehingga memiliki respons yang tidak benar. Orang-orang yang seperti ini disebut dengan pseudoklien. Ini adalah klien, tetapi tidak benar-benar membutuhkan konseling yang mendalam. Saat mendengar khotbah, orang-orang ini mungkin sudah mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Orang-orang seperti ini mungkin sesudah mendengar nasihat, dia sudah bisa langsung jalan sendiri. Akan tetapi, orang-orang yang seperti ini mungkin mengerti secara knowlege, dia mengetahui kebenarannya, tetapi kebenaran itu seperti dibajak sehingga tidak bisa menjadi operated believe seperti yang tadi sudah disebutkan. Nah, ini adalah realita orang-orang yang datang kepada konselor.
Lalu, bagaimana seharusnya konseling Kristen itu dilakukan? Konseling merupakan suatu percakapan antara konselor dan klien. Ini bukan suatu percakapan yang biasa, ini bukan suatu proses curhat-curhat, ini bukan suatu diskusi, ini bukan pula suatu perdebatan. Akan tetapi, ini adalah percakapan yang terapiotik. Terapiotik itu apa? Percakapan terapiotik itu adalah percakapan yang menyembuhkan. Kalau tadi dikatakan dia menjadi tidak berfungsi, ya seharusnya dia akan menjadi berfungsi. Bagaimana percakapan terapiotik ini dilakukan?
Percakapan yang terapiotik akan menguraikan permasalahan satu per satu. Contoh kasus: Seorang ibu datang kepada konselor karena berselisih dengan suaminya tentang mertuanya. Suami berpikir bahwa ibunya adalah orang yang baik, yang selalu membantu mereka. Akan tetapi, istrinya tidak meyukai ibu mertuanya dan tidak pernah mau datang ke rumah sang mertua. Ketika ditanya kepada sang istri, istrinya ini mengakui bahwa mertuanya ini memang baik, suka membantu dan peduli kepada mereka. Nah ini menjadi satu masalah. Dan memang, mertuanya itu yang sangat baik. Dia care dan memahami bahwa menantunya ini adalah wanita karier yang sibuk. Setiap kali mertua ini datang, dia akan pergi ke dapur, mengecek persediaan makanan di lemari, membuang yang sudah tidak layak pakai, dan menggantinya dengan yang baru. Anehnya, menantu perempuannya tidak menyukai sikap mertuanya itu. Dalam percakapan yang terapiotik akan terungkap bahwa ternyata menantu perempuan ini seorang wanita karier yang memiliki satu pergumulan yang membuat dia merasa bersalah. Mengapa? Sebab dia merasa bisa menjalankan karier dengan baik di kantor, sementara rumah tangganya kurang terurus, dan malah diurus oleh mertuanya. Maka, setiap kali mertuanya muncul, ini menjadi suatu pemicu yang memunculkan kembali rasa bersalahnya. Jadi, dari sana akan ditemukan bahwa sebenarnya sang menantu ini bukan jengkel secara personal terhadap mertuanya, tetapi kepada dirinya sendiri yang memiliki dilema atau pergumulan antara memilih karier atau keluarga. Itulah yang menjadi pergumulannya yang sebenarnya. Hal seperti ini tidak akan pernah kita temukan kalau kita tidak melewati proses ini. Kita mendengarkan cerita, kita berempati, mencoba menempatkan diri di dalam posisinya sebagai seorang wanita karier. Kariernya bagus, posisinya bagus, karya-karyanya diakui, dan sekarang bergumul seperti ini. Dan, sikap atau hal-hal yang dilakukan mertuanya menjadi pemicu kembali dari pergumulan yang terjadi di dalam dirinya sendiri. Kita harus memahami itu, dan apa pun yang dia katakan mesti kita terima, meskipun kita tidak setuju. Ini juga perlu satu keterampilan tertentu, perlu latihan terus menerus. Sebab, biasanya sulit bagi kita untuk memisahkan, memahami, menerima konseli atau klien dengan pemahaman kita sendiri. Dan, apa yang kita dengarkan dari konseli itu kita refleksikan kembali kepadanya. Ini yang disebut sebagai reflective listening. Kalau ini terjadi dengan baik, klien itu akan membuka dirinya. Dan, dengan membuka dirinya, percakapan ini dapat menjadi percakapan yang terapiotik.
Dengan percakapan yang terapiotik ini diharapkan klien itu akan mendapatkan suatu awareness, kesadaran, pengenalan akan dirinya. Siapakah aku? Bagaimana cara berpikirku? Bagaimana kerja emosiku? Bagaimana tingkah lakuku? Apa hal-hal yang sensitif buat diriku? Semua itu akan dikenali. Dan, konseli juga akan mengerti persoalannya, seperti pada contoh kasus di atas. Kalau kita tidak mendengarkan klien ini dengan baik, akhirnya apa? Kita akan berpikir bahwa konseli harus menghormati mertuanya, karena itu adalah orangtua dari suaminya, sehingga notabene menjadi orangtuanya. Atau, mungkin kita bisa lebih salah fokus dan mengatakan kepada suaminya untuk menjauhkan ibunya dari istrinya, atau berusaha agar mertuanya tidak lagi mengurusi rumah tangga mereka. Akan tetapi, realitanya bisa jadi pada waktu pembantu mereka pulang, mereka akan butuh menitipkan anak kepada mertua atau orangtua. Kalau kita mengarahkan konseling secara salah, keluarga yang sebenarnya baik-baik saja, mertua yang sebenarnya bukan mau ikut campur urusan rumah tangga anak dan menantunya, relasinya bisa menjadi rusak. Sebab, konselor mengarahkan percakapan tadi kepada suatu percakapan yang keliru dan akhirnya memiliki tindak lanjut yang keliru Dengan melakukan percakapan terapiotik yang tepat, maka fungsi hidup dari klien dipulihkan dan fungsi hidupnya dalam relasi dengan mertua, dalam relasi dengan suaminya akan berada di dalam porsi yang tepat. Sehingga pada waktu memperbaiki masalah dalam relasi-relasi ini, itu berada dalam satu koridor yang benar.
Apa yang dilakukan ini bukan hanya dilakukan oleh konseling Kristen. Konseling sekuler juga melakukan hal yang sama. Lalu, apa yang membedakan konseling Kristen dengan konseling psikologi? Di dalam konseling Kristen, dialog bukan hanya terjadi di antara konselor dan klien, tetapi Tuhan juga hadir. Jadi, ini adalah suatu trialog (pembicaraan tiga pihak). Konselor harus sadar benar, bahwa yang ada di dalam ruang konseling ini bukan hanya dia dan kliennya, tetapi Tuhan juga berada di sana. Konselor ada baiknya membiasakan diri setiap kali ada orang yang datang kepadanya, bertanya kepada Tuhan, mengapa Tuhan membawa orang ini kepada dirinya? Mengapa orang ini menemuinya? Di dalam percakapan, sering kali akhirnya kita akan menemukan bahwa konseli ini memang cocok bertemu dengan konselor yang ditemuinya. Mulai dari cara berpikir dan pendekatan yang dipakai, semua bisa menjadi fit atau tepat. Jadi, di dalam proses konseling ini bukan hanya antara konselor dan klien, melainkan Tuhan juga terlibat di dalamnya. Ini harus menjadi satu kesadaran dari seorang konselor untuk tidak berfokus pada persoalan-persoalan klien, tetapi memikirkan apa yang Tuhan kehendaki atas orang tersebut.
Dalam percakapan konseling, kita juga harus membuat suatu atmosfer yang kondusif, supaya klien juga melibatkan Tuhan di dalam pertumbuhannya. Dengan demikian, awareness yang terjadi dan terbentuk itu, bukan hanya awareness tentang dirinya, tentang persoalannya, tentang respons-responsnya, tetapi juga berkaitan dengan keunikannya, relasinya dengan Tuhan. Ini adalah keunikan konselor Kristen. Kita adalah anak Tuhan, dan Daud sangat memahami realita ini. Di dalam Mazmur 19 ayat 13, dia berkata, "Siapa dapat memahami kesalahannya? Bersihkan aku dari kesalahanku yang tersembunyi." Realitanya, di dalam diri kita ini ada sesuatu yang kita tidak ketahui. Kadang kala, kita sudah terlalu pusing dengan akibat-akibat yang dihasilkan oleh apa yang ada di dalam diri, dan Alkitab sudah jelas mengatakan itu dosa. Nah, dosanya itu seperti apa? Cara kerjanya bagaimana? Mengajak kita dengan cara bagaimana? Mengapa bentuknya seperti itu? Mengapa bentuknya kita menjadi marah? Ada orang-orang yang saat mendengar kata-kata pedas itu menjadi marah, menjadi agresif, tetapi ada orang-orang yang sedih, merasa diri tidak berharga, ingin bunuh diri. Mengapa responsnya berbeda? Nah, itu bisa kita jelaskan. Dan, psikologi sangat menolong kita di dalam menjelaskan hal-hal seperti ini, sehingga klien itu langsung memahami persoalan yang sebenarnya. Mari kita kembali kepada contoh wanita yang tadi bergumul dengan persoalan dengan suami dan mertuanya ini. Ketika kita kaitkan ke arah Alkitab, bagaimana responsnya? Apakah memang ini yang Tuhan mau? Jika dia bekerja sepanjang hari di kantor sampai malam, ketika pulang sudah tidak memiliki energi lagi, waktu untuk keluarganya menjadi tinggal yang sisa-sisa. Apa sebenarnya yang dia cari? Apakah uang? Apakah memang Tuhan memang menitipkan sesuatu -- keunikan atau talenta tertentu dalam dirinya -- yang harus dia kembangkan dengan bekerja secara full di luar? Bisa jadi. Mengapa hal ini disebut sebelumnya dengan tailor meet? Karena masing-masing orang memiliki panggilan yang berbeda-beda. Sehingga, konseling Kristen bukan hanya memulihkan fungsi hidup, tetapi juga keunikan peran atau panggilan dari masing-masing klien bisa ditemukan. Kalau berhasil sampai mengarah ke sana, berarti konseling itu berhasil. Ini yang harus dilakukan.
Jadi, konseling adalah suatu kegiatan bercermin. Ini bukan suatu fixing problem atau membereskan persoalan. Akan tetapi, ini adalah bercermin. Konseling dengan konselor itu seharusnya menjadi cermin yang jernih, sehingga klien akan bisa melihat dirinya dengan lebih baik. Konseling itu bukan pemberian nasihat, Sayangnya, ini yang sering kali terjadi, meskipun secara umum di dalam Alkitab disebutkan konseling itu menasihati. Yang dimaksudkan di sini kita bisa memberikan cheap advice, atau nasihat yang murahan, nasihat yang tidak melihat permasalahan secara spesifik (ex: jenis macam apa konseli yang kita hadapi), tetapi nasihat yang umum. Sebagai contoh, ada seseorang yang datang dengan permasalahan suami yang selingkuh. Jika konselor memberi nasihat supaya dia merawat diri dan tampil menarik, mungkin itu satu nasihat yang tidak salah. Sebab, siapa orang yang tidak suka melihat dan berada dekat dengan seseorang yang merawat dirinya. Dan, mungkin konseli tadi akan mau melakukan nasihat semacam itu. Namun, benarkah itu solusi yang tepat? Bagaimana jika demi untuk perawatan tubuh atau wajah dan membuat dirinya semakin menarik, wanita tersebut harus ngoyo berhutang dan di kemudian hari malah bingung untuk melunasinya? Tadinya dia sudah cukup pusing dengan masalah perselingkuhan suaminya, sekarang ditambah satu masalah lagi yaitu bagaimana caranya membayar hutang. Nasihat untuk merawat diri itu baik dan itu bisa jadi suatu kebenaran. Akan tetapi, kebenaran ini tidak serta merta bisa diaplikasikan di dalam diri seseorang. Ketika konseli tadi mendapat nasihat untuk merawat diri, sebenarnya itulah sumber konflik dengan suaminya.
Jadi, konseling itu bukanlah suatu pemberian nasihat. Konseling juga bukan pengambilalihan. Misalnya, kalau kita kembali lagi kepada kasus menantu dan mertua tadi, kita tidak perlu memberitahu kepada sang mertua untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga anak dan menantunya. Tidak perlu seperti itu. Biarkan mereka menyelesaikannya sendiri. Mengapa? Sebab, kalau kita fokus, permasalahan ini sebenarnya konteks untuk bergumul. Sebagai seorang Kristen kita tahu bahwa Tuhan itu menyediakan konteks, supaya apa? Supaya kita berpikir, supaya kita mengingat Tuhan, supaya kita dapat bertanya lagi kepada-Nya, dan untuk itu, kita perlu konteks. Kalau konteks tersebut diambil alih, dibereskan, mungkin memang benar suasana rumah akan menjadi lebih enak. Akan tetapi, orang ini tidak pernah bisa melakoni jalan yang Tuhan sudah siapkan. Tujuan konseling kita adalah keunikan peran, panggilannya tidak akan pernah kita atau konseli temukan. Mengapa? Sebab, diambil alih oleh konselornya. Kalau kita melakukannya, kita berarti bukan menjadi seorang hamba yang Tuhan pakai untuk membawa domba-domba ini kembali kepada jalan-Nya. Akan tetapi, justru kita membuat mereka berjalan ke tempat yang lain.
Jadi, hati-hati. Konseling bukanlah sarana pengambilan alih. Dan, konseling juga bukan penghakiman. Sudah cukup yang bersangkutan mungkin disalahkan oleh semua orang. Sebagai konselor, janganlah konselor menambahkan penghakiman tersebut kepadanya. Sebaliknya, pakai telinga dan hati kita untuk mendengarkan keluh kesahnya sehingga konseli bisa bercermin. Tugas sebagai seorang konselor adalah menjadi cermin yang jernih supaya konseli atau klien bisa melihat, seperti apakah dia? Caranya berperilaku seperti apa? Apakah respons-responsnya itu benar? Dan, tarik kepada relasinya dengan Tuhan, lalu ajak dia bergumul, sudah benarkah itu sekarang? Langkah yang konseli ambil apakah memang jalan yang Tuhan sudah siapkan? Jadi, bisa jadi setelah konseling pergumulannya tidak selesai, suaminya tetap selingkuh. Akan tetapi, di dalam konteks rumah tangga di mana suaminya melakukan perselingkuhan ini, konseli bisa berperan menjadi seorang wanita Kristen yang berkenan di hadapan Tuhan. Itulah yang kita harapkan di dalam konseling.
Lalu, bagaimana kualifikasi seorang konselor Kristen itu?
Ada dua kualifikasi yang diperlukan. Yang pertama, harus sehat mental. Dan, yang kedua, sehat secara rohani.
Apa arti sehat secara mental? Ada self awareness dan self content. Bagi orang dunia, self awareness itu berarti cukup mengenali tentang dirinya, mengenali tentang respons-responsnya, mengenali tentang pola pikir, kerja emosi, dan lain sebagainya. Semnetara, untuk self content, orang dunia cukup merasa bahwa mereka sudah cukup, tidak perlu orang lain. Bahwa mereka bisa berbahagia sendiri, tanpa orang lain melakukan sesuatu untuk dirinya. Akan tetapi, sebagai orang Kristen, self awareness itu tidak cukup sampai di situ. Self awareness kita berfungsi agar kita dapat mengenali panggilan kita, keunikan kita. Mengapa Tuhan itu membuat saya seperti ini, kalau ngomong itu cepat sekali? Mengapa Tuhan membuat aku terlalu sensitiv? Sensitivitas tidak selalu jelek, sebab kita tidak akan pernah bisa berempati kepada orang lain tanpa sensitivitas. Orang yang mudah bersedih, jika dia bisa menata diri dan emosinya dengan baik, dia bisa menjadi orang yang sangat berempati kepada orang lain.
Self content di lain pihak, adalah sebuah perasaan cukup, bahwa yang Tuhan berikan kepada kita itu cukup, dan anugerah Tuhan itu cukup. Orang-orang yang tidak memiliki self content, akan sulit menjadi seorang konselor. Anda bisa membayangkan, dalam sehari seorang konselor bisa bertemu dengan banyak klien. Dan, masing-masing klien memiliki persoalan dan karakter yang beda-beda. Konselor harus mendengar masalah dan pergumulan mereka terus menerus sepanjang hari. Itu yang terjadi setiap hari. Jika konselor adalah orang yang sangat sensitif, akan menjadi sulit sekali baginya untuk bisa memandang sesuatu secara netral. Sebab, jika konselor tidak memiliki self content, ia akan sibuk memiliki respons-respons yang tidak perlu (mengapa konseli bersikap begini, begitu, mengapa konseli bersikap ketus, apakah aku berkata atau berbuat salah, dsb). Itu bukan role sebagai konselor. Dan, seorang konselor haruslah seorang yang genuine, punya empati, peka, hangat, dan stabil. Dia tidak harus supel -- meski akan sangat baik jika konselor memiliki sikap itu -- tetapi yang terutama konselor harus memiliki sikap untuk bisa berelasi dengan baik sehingga konseli akan nyaman berbicara kepadanya.
Sikap ini juga penting, teachable. Seorang konselor harus terus belajar dan menambah wawasan, karena ini menjadi satu ruang gerak bagi seorang konselor. Kalau konselor memiliki pengetahuan yang minim, dia tidak akan mampu berbicara secara luas, untuk bisa mengaitkan cerita klien dengan aspek sebenarnya. Konselor akan kesulitan untuk memahami, sebab pengetahuan yang dia miliki sedikit. Semakin luas pengetahuan seorang konselor, semakin mampu dia untuk mengaitkan suatu konteks pergumulan kepada aspek yang benar. Selain itu, seorang konselor juga harus memahami prinsip-prinsip psikologi sehingga bisa mengerti cara berpikir konseli, kerja emosinya, hal-hal yang sensitif untuk konseli, abnormalitas, konteks latar belakang keluarganya, dsb. Semakin banyak yang kita pelajari, semakin banyak hal yang dapat menjadi wawasan kita untuk bisa berbicara dan bergerak secara lebih luas.
Sifat lain yang perlu dimiliki seorang konselor adalah sehat rohani, yaitu seseorang yang sudah lahir baru dan bertumbuh dalam firman. Ini adalah suatu syarat yang mutlak. Mengapa? Sebab, konselor akan membawa konseli berbalik pada jalan yang Tuhan inginkan. JIka konselor tidak mengenal Tuhan, maka jalan siapa yang akan ditunjukkan kepada konseli? Untuk itu, konselor harus lahir baru, bertumbuh di dalam firman sehingga dia punya pengalaman-pengalaman hidup bersama Allah. Kalau tidak memiliki pengalaman itu maka dia tidak dapat membagikan pengalamannya kepada orang agar mereka juga hidup melekat kepada Tuhan. Relasi dengan Tuhan itu sehat, meski ada waktu-waktu di dalam perjalanan pertumbuhan rohani kita ada timbul kekecewaan kepada Tuhan. Lalu, kekecewaan itu berada dalam satu koridor yang mungkin kita bilang "kerang ajar". Sampai di situ, konselor harus menghentikan kegiatan konseling. Sebab, jika relasi kita dengan Tuhan sedang tidak sehat, proses konseling akan menjadi sesuatu yang fake/palsu/pura-pura. Dan, karena konseling adalah pembicaraan hati ke hati, sesuatu yang palsu itu gampang sekali dikenali oleh klien.
Sifat lain yang perlu dimiliki konselor adalah dia juga harus orang yang hidup bergantung kepada Roh Kudus. Profesi konselor sebenarnya bukan profesi yang mudah. Tugas konselor adalah mengembalikan track konseli ke jalan Tuhan. Itulah tugas utama konselor. Kalau konselor menyadari bahwa Roh Kudus terus bekerja, maka mereka akan menyadari bahwa yang mereka lakukan itu mungkin sesuatu yang berat, tetapi itu adalah sesuatu yang orisinil, sesuatu yang memperkaya jiwa. Konselor bisa melihat hidup dengan lebih peka, bisa lebih tajam melihat segala sesuatunya karena sudah banyak sekali pengalaman hidup yang real yang datang kepada mereka. Dan, pergerakan pergumulannya itu bisa dilihat. Akan tetapi, kalau kita tidak bergantung kepada pekerjaan Roh Kudus, meyakini ini pekerjaan Roh Kudus, hanya mengandalkan berapa banyak yang kita baca, mengandalkan pengalaman kita maka pelayanan ini menjadi sesuatu yang kering, yang membuat kita semakin kering, semakin habis. Akhirnya, konselornya yang malah membutuhkan konseling. Ini sesuatu yang nyata, bukan pengandaian.
Seorang konselor juga harus memahami prinsip-prinsip ajaran Alkitab. Konselor tidak harus mengetahui perdebatan-perdebatan teologia yang macam-macam. Akan tetapi, prinsip-prinsip dasarnya mesti diketahui, dan mereka harus mempelajari doktrin-doktrin dasar. Ada banyak sekali kelas-kelas online, bahkan sekolah teologia tertentu yang bisa diakses. Bisa juga dengan membaca buku-buku teologia, sebab itu yang akan menjadi pegangan konselor dalam melakukan tugasnya. Bagaimana seorang konselor bisa menasehati atau menghibur konseli? Standarnya adalah Alkitab. Jika seorang konselor tidak pernah membaca Alkitab, tidak bertumbuh di sana, mereka tidak akan memahami prinsip-prinsipnya. Itu akan seperti orang buta menuntun orang buta. Ini adalah satu pelayanan yang sangat mulia, tetapi memerlukan kebergantungan pada Tuhan terus menerus.
Lalu, bagaimana seharusnya pelayanan konseling itu kita bisa mulai? Apakah itu di dalam gereja? Apakah di dalam komunitas?
Nah, pertama kita mesti mendoakan, mencari, dan memilih jemaat yang dewasa rohani dan senang melayani pribadi-pribadi, bukan hanya pelayanan yang besar-besar. Bagaimana mencarinya? Coba amati anggota jemaat pada waktu latihan-latihan paduan suara, kegiatan wanita, lansia, remaja, sekolah minggu, atau kegiatan PA. Siapa jemaat yang senang berbicara secara pribadi, bukan bergosip, tetapi sesuatu yang personal. Orang-orang yang seperti ini bisa dilatih, mereka bisa persiapkan diri dan diperlengkapi supaya bisa melayani dengan lebih baik. Di STTRI contohnya, selain program gelar M.Th konseling, ada program pelatihan untuk konselor awam. Ada satu program bernama people helper missing, yang mendatangi ke gereja. Jadi, gereja menyiapkan 10 sampai 20 orang, yaitu orang-orang yang dewasa rohani dan senang melayani pribadi. Mereka ini nanti akan dberikan pelatihan untuk menjadi konselor awam, yaitu orang yang bisa menjadi cermin bagi orang lain. Dan, gereja bisa memulai pelayanan itu dengan melibatkan orang-orang ini dalam keseharian pelayanan gereja, seperti tim bezuk, visitasi jemaat, atau tim yang memperhatikan jemaat sepulang kebaktian, dalam PA, dan persekutuan. Intinya adalah membentuk tim yang memiliki anggota untuk mampu melakukan percakapan personal dengan anggota jemaat lain.
Perlu untuk diketahui, tim bezuk sesungguhnya memiliki arti yang penting sekali dalam pelayanan gereja. Kalau kita membayangkan, misalnya membezuk orang tua yang sudah kesepian dan hidup sendirian, mereka pasti senang jika ada orang datang untuk memperhatikan mereka. Itu akan menjadi kesempatan bagi mereka untuk bercerita dan membicarakan segala keluh kesah mereka, sehingga kunjungan itu akan menjadi proses yang cukup meringankan beban dan kesepian mereka. Dari sana, bayangkan betapa pelayanan bezuk ini merupakan pelayanan yang sangat menjadi berkat. Maka, perlengkapilah tim bezuk itu dengan kemampuan mendengarkan, supaya pelayanan yang dilakukan bukan sekadar suatu kegiatan, bukan sekadar formalitas penggembalaan, tetapi benar-benar menjadi satu pelayanan yang menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk menjamah, menyentuh hati, dan menyiramkan air sejuk bagi jiwa yang terhilang. Ini adalah harapan yang kita bisa lakukan secara sederhana dengan pelayanan konseling di gereja.
Ini adalah satu ayat yang sangat menguatkan, sebuah nubuatan Yesaya tentang Mesias. "Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya." (Yesaya 42:3). Itulah peran Mesias yang menjaga dan juga tetap setia. Dan, kita adalah hamba yang diminta untuk menjadi seperti guru kita, Sang Konselor Agung. Tuhan Yesus. Mari kita menjadi seperti Dia, yang tahu bagaimana mesti berbicara dengan lembut, yang sesekali berbicara dengan berputar, tetapi tahu saat untuk berbicara secara lugas, kapan mesti menyatakan teguran secara langsung, dan kapan untuk menyatakan secara halus. Untuk menjadi seperti Kristus tentu membutuhkan suatu proses yang panjang, tetapi itu akan menjadi satu proses yang sangat berharga untuk dilalui oleh para konselor.