Narasumber: Sri Hastjarjo
Lalu mengapa belajar Alkitab? Agar kita bisa mendapatkan prinsip-prinsip yang mulia (prinsip yang benar) terkait dengan cara kita berkomunikasi baik dengan orang lain secara pribadi maupun orang lain secara massal (kelompok). Maz.119:130 dengan jelas mengatakan "Bila tersingkap firman-firman-Mu memberi terang, memberi pengertian kepada orang bodoh."
Jika kita ingin belajar tentang sesuatu, kita dapat belajar dari firman Tuhan yang memberi pengertian. Tentu saja ketika Alkitab bicara tentang orang bodoh, yang dimaksud bukanlah perihal intelegensia (tingkat pengetahuan teoritis atau tingkat pendidikan), tetapi yang dimaksud di sini adalah apakah seseorang tahu apa yang benar, apa yang salah, tentang standar moral, tentang standar kebenaran untuk menjalani hidup ini. Sehingga berdasarkan pengertian tersebut, ada orang yang tingkat pendidikannya sangat tinggi dengan gelar berderet dapat digolongkan sebagai orang bodoh jika dia tidak tahu mana yang benar mana yang salah. Sementara mungkin ada orang yang sangat sederhana dan tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi , bahkan mungkin tidak pernah sekolah, tetapi dia dikatakan berhikmat dan tidak bodoh karena orang tersebut mengerti apa yang benar dan apa yang salah di hadapan Tuhan.
Kemudian alasan yang kedua mengapa belajar Alkitab terdapat dalam 2 Timotius 3:16-17, "Jikalau diilhamkan oleh Allah bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik."
Setiap perbuatan baik dalam segala aspek kehidupan kita akan menjadi benar ketika kita belajar firman Tuhan, belajar prinsip dari-Nya, dan kemudian menerapkannya dalam hidup kita. Dari kedua ayat ini terdapat dua hal yang dapat dipelajari.
Poin yang pertama adalah firman Tuhan merupakan sumber pengertian untuk menjalani semua aspek hidup kita dengan benar, termasuk komunikasi. Kita memercayai bahwa firman Tuhan adalah sumber hikmat. Kita akan dimampukan menjalani semua aspek kehidupan dengan benar sesuai standar Allah jika kita belajar prinsip-prinsip firman Tuhan.
Poin yang kedua dari dua ayat di atas adalah bahwa untuk mendapatkan pengertian pasti ada proses penyingkapan. Mazmur 119 menyebutkan "bila tersingkap", kata "tersingkap" adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan terbukanya sebuah pintu untuk membawa orang ke tempat lain (sesuatu yang lain). Jadi, untuk mendapatkan pengertian yang benar, perlu adanya proses penyingkapan (iluminasi/pencerahan) oleh firman Tuhan. Pencerahan ini merupakan hasil kerjasama antara Roh Kudus dan usaha kita untuk mempelajari firman Tuhan.
Tanpa pertolongan Roh Kudus, mustahil kita dapat mengerti kebenaran firman Tuhan. Bahkan ahli teologia yang tekun mempelajari firman Tuhan dapat menjadi sesat jika tidak mengandalkan pertolongan Roh Kudus.
Selain pertolongan Roh Kudus, tentunya harus ada usaha dari pihak kita untuk mempelajari firman Tuhan. Amsal 2:4-5 menyebutkan "Jikalau engkau mencarinya seperti mencari perak, dan mengejarnya seperti mengejar harta terpendam, maka engkau akan memperoleh pengertian tentang takut akan TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah." Maka ada usaha yang harus kita lakukan dalam prosesnya.
Alkitab dan Komunikasi
Alkitab versi King James menggunakan kata "communication" sebanyak enam kali. Kata "komunikasi" digunakan oleh manusia mulai abad ke-15 dan Alkitab sudah selesai ditulis jauh sebelumnya. Di zaman Alkitab ditulis, praktik komunikasi antara lain praktik komunikasi secara lisan (tatap muka berbicara) dan tulisan (surat, perkamen, dst). Walaupun kata "komunikasi" tidak ditemukan di dalam Alkitab, tetapi aplikasi dan pentingnya kegiatan komunikasi begitu banyak dibahas di dalam Alkitab. Karena itu, sudah sewajarnya jika kita belajar prinsip-prinsip alkitabiah tentang komunikasi.
Berkali-kali firman Tuhan memperingatkan kerusakan yang timbul bagi seseorang maupun dalam masyarakat ketika orang tidak terampil dan tidak berhati-hati dalam berkomunikasi. Bahkan diumpamakan lidah yang kecil sebagai sesuatu yang punya kekuatan yang sangat besar. Seperti kemudi, seperti kekang pada kuda tetapi juga seperti api yang bisa membakar. Bahkan di kehidupan kita di zaman sekarang, komunikasi dapat dimanfaatkan untuk menimbulkan kebencian, menimbulkan kerusakan, menimbulkan keresahan. Maka, betapa pentingnya kita belajar prinsip-prinsip berkomunikasi dengan sesuai dengan firman Tuhan agar kita bisa menjadi seorang komunikator yang baik dan menjadi berkat.
Mengapa Kita Belajar Komunikasi dari Alkitab?
Karena Alkitab itu firman Tuhan dan Allah kita adalah Sang Komunikator Agung (The Great Communicator).
Yohanes 1:1, "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah." "Firman", "logos", "sabda" adalah perkataan. Dengan adanya perkataan, kita dapat asumsikan ada yang berbicara (sumber) dan ada pihak kepada siapa perkataan itu ditujukan. Allah berbicara atau berkata-kata kepada kita melalui firman-Nya dalam Alkitab. Bahkan jauh sebelumnya, Ia juga berkomunikasi dengan Putra dan Roh Kudus sejak dunia hendak dijadikan-Nya.
Komunikasi adalah sifat (hakekat) atau identitas mendasar yang melekat pada Pribadi Allah. Sementara kita sebagai manusia diciptakan seturut gambar Allah, maka komunikasi itu menjadi bagian dari hidup kita. Jadi jika Allah adalah inisiator dari komunikasi, pantaslah kiranya kita belajar kepada Sang Komunikator Agung itu sendiri. Kemudian, dalam Ibrani 1:1-2, "Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan..."
Ayat tersebut mengungkapkan bahwa Allah berulang kali dan dengan berbagai macam cara telah berbicara kepada manusia. Seluruh isi Alkitab dipenuhi dengan kisah bagaimana Allah berusaha untuk menjangkau dan berkomunikasi dengan manusia. Puncaknya adalah ketika Ia sendiri hadir sebagai manusia untuk dapat langsung berinteraksi dengan ciptaan-Nya. Kemudian terdapat juga kisah mengenai pencurahan kuasa Roh Kudus (Pentakosta) sehingga Allah tinggal di dalam diri orang percaya untuk dapat secara langsung berkomunikasi dengan umat-Nya.
Pentingnya belajar Alkitab juga adalah untuk meneladani cara Allah berbicara dan cara Allah menyatakan diri kepada manusia. Proses komunikasi itu sendiri sangat sederhana dan terbagi menjadi 5 elemen, yaitu:
1. Good Source (siapa yang berbicara).
Prinsip firman Tuhan yang utama ketika bicara soal komunikasi adalah bahwa "sang komunikator harus merupakan sumber yang baik dan juga sumber yang benar". Apabila sumbernya (komunikator) bermasalah, maka semua yang diperkatakan pasti bermasalah juga. Dalam Matius 17:15-20, peringatan Tuhan Yesus kepada para murid dan orang-orang yang diajarnya agar mereka berhati-hati terhadap nabi-nabi palsu. Nabi-nabi palsu itu adalah komunikator yang tidak baik. Tetapi Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita harus berhati-hati terhadap karakter pribadi mereka dan tidak hanya hati-hati kepada isi pesannya. Karena pohon yang buruk tidak mungkin akan menghasilkan buah yang baik. Dalam teori komunikasi dikatakan sebagai "source kredibility" (kredibilitas sumber) memiliki tiga komponen, yaitu:
a. Karakter (watak)
Sumber informasi haruslah seseorang yang dapat dipercaya (trustworthy). Hidupnya harus mencerminkan ajarannya.
b. Kompeten (ahli di bidangnya)
Pastikan kalau sang sumber adalah orang yang berkompeten dan menguasai apa yang dibicarakannya.
c. Berempati
Seorang komunikator harus dapat memahami pendengarnya. Empati yang paling besar sudah ditunjukkan oleh Allah ketika Ia datang sebagai manusia. Ia mengalami dan merasakan semua kelemahan manusia. Dengan berempati, seorang sumber informasi dapat memilih cara yang paling tepat untuk menyampaikan pesannya disesuaikan dengan pemahaman para pendengarnya.
2. Good Message (apa yang dibicarakan)
Pesan yang baik memiliki beberapa kriteria sebagai berikut:
a. Benar
Tuhan Yesus pernah mengatakan, "kalau kamu ya, katakan ya. Jika tidak katakan tidak."
Salah satu 10 Hukum Tuhan juga mengajar kita "jangan mengatakan saksi dusta". Isi pesan yang kita sampaikan harus benar. Jangan sampai menjadi pengedar hoax yang kita tidak tahu apakah informasinya benar atau tidak. Kita ikut menanggung dosanya.
b. Akurat
Bukankah Allah kita Allah yang detail? Allah yang akurat? Ketika Tuhan Yesus mulai mengajar secara ekstensif di Bait Allah, ada begitu banyak serangan, tantangan diskusi dengan ahli-ahli taurat. Dan tidak ada seorang pun yang bisa menjawab Dia, karena keakuratan hal-hal yang disampaikan-Nya.
c. Mudah dipahami
Jika kita dapat menyampaikan sebuah pesan dengan satu kata mengapa harus memperumitnya dengan seribu kata. Jika dapat dijelaskan dengan satu gambar mengapa dengan harus menyediakan banyak gambar. Pesan yang mudah dipahami juga adalah pesan yang disesuaikan dengan siapa yang menjadi pendengar kita. Bahasa dan konteks yang digunakan ketika menjelaskan suatu hal kepada berbagai kalangan juga perlu diperhatikan agar pesan yang disampaikan lebih mudah dimengerti.
d. Sesuai etika/norma
Paulus di dalam Filipi 4:8 menyarankan agar kita memperkatakan hal-hal yang benar, mulia, adil, suci, manis, dan yang sedap didengar. Sebagai orang percaya, kita dituntut untuk dapat memperkatakan kebenaran dengan cara yang tidak kasar. Kita harus minta hikmat dari Tuhan untuk dapat menyampaikan maksud baik dengan cara yang baik pula.
Di zaman sekarang, kita sering menghadapi masalah dalam komunikasi karena semuanya serba cepat dan urgent. Seringkali kita tidak punya waktu yang cukup untuk berpikir sebelum membalas sebuah pesan. Sehingga banyak kesalahan, pelanggaran etika, dan semacanya hanya karena kita terburu-buru dalam menjawab dan menanggapi.
3. Good Methods/Media (cara menyampaikan pesan).
Allah kita menggunakan semua metode dalam menyampaikan kehendak-Nya, verbal dan non verbal. Dia berbicara melalui alam semesta. Dia berbicara melalui gambar. Dia berbicara melalui penglihatan, dan bahkan menggunakan keledai untuk bicara kepada Bileam. Kemudian, Tuhan juga berbicara kepada pribadi ataupun kelompok. Terkadang Tuhan berbicara satu arah, dan di lain kesempatan juga mengajak kita untuk berinteraksi secara aktif. Tuhan memakai semua cara dan tidak terbatas dengan hanya satu cara saja.
Tuhan kita memiliki terlalu banyak metode. Jadi, ketika kita sebagai pribadi merasa malas untuk belajar metode-metode baru dalam berkomunikasi, maka kita tidak sedang meneladani Allah kita. Allah kita adalah Allah yang multimedia, begitu pula seharusnya kita mau dan bersedia belajar untuk menggunakan semua media yang ada untuk menyampaikan pesan yang penting.
4. Good Listener (pihak penerima pesan/audiens)
Seorang pendengar atau penerima pesan yang baik harus memiliki kriteria-kriteria berikut ini:
a. Kerendahan hati untuk mendengar
Kesediaan untuk mendengar bukan hanya perkara bersedia mendengarkan perkataan seseorang, tetapi bersedia membuka pikiran untuk belajar dan berubah.
b. Sikap kritis untuk menguji kebenaran informasi
Sikap kritis ini berfungsi sebagai saringan agar kita tidak menerima dan memercayai informasi apapun yang datang begitu saja.
Dalam 1 Tesalonika 5:21, Paulus menasihatkan jemaat untuk menguji segala sesuatu dan memegang hanya hal-hal yang baik. Dalam Kisah Para Rasul 17 dikatakan bahwa orang Yahudi yang tinggal di Berea itu lebih baik daripada orang-orang Yahudi yang tinggal di tempat lain karena mereka selalu menguji pengajaran yang baru mereka dengar dengan berpatokan pada firman Tuhan. Itu adalah sifat seorang murid yang benar di hadapan Tuhan.
c. Jujur
Jujur sebagai pendengar adalah bersedia mengakui jika pandangan kita sebelumnya salah dan bersedia untuk mengubah sifat atau pandangan kita ketika pendapat yang baru kita dengar dari orang lain adalah yang benar.
5. Good Effect (apa yang menjadi tujuan dari sang sumber informasi)
Efek yang dimaksud adalah apa yang diharapkan terjadi pada diri komunikan (penerima pesan) ketika pesan sudah disampaikan. Jadi, jika sumber yang baik, Allah kita, berkomunikasi dengan tujuan untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Untuk memberikan pengertian, pencerahan uuntuk mengubah sikap yang salah menjadi benar, untuk memperbaiki perilaku. Itulah tujuan Allah. Jadi bagi kita yang hendak menyampaikan pesan, perlu mempertanyakan kembali apa yang menjadi tujuan kita dalam menyampaikan suatu pesan. Untuk mencerahkan atau justru membuat gaduh? Untuk mengubah sikap agar orang punya sikap yang benar atau justru menimbulkan sikap yang penuh kebencian, menimbulkan sikap yang negatif, menghasut orang supaya melakukan sesuatu yang merusak, dst.? Jadi setiap kali kita akan menyampaikan sesuatu, kita harus memikirkan efek dan dampak yang mungkin terjadi.
Selain efek dan dampak yang ditimbulkan, terdapat pula outcome/hasil akhir.
Perbedaan efek dan outcome adalah bahwa efek adalah apa yang pemberi pesan harapkan akan terjadi pada penerima pesan. Sementara outcome adalah apa yang sesungguhnya terjadi pada penerima pesan. Terkadang efek yang diharapkan tidak sesuai dengan outcome yang benar-benar terjadi.
Jadi jika sumbernya baik, pesannya benar, metodenya tepat, dan penerimanya juga kritis dan jujur, maka efek yang diharapkan pasti dapat tercapai. Akan tetapi terkadang terjadi outcome komunikasi yang tidak diharapkan.
Dalam bidang komunikasi, hal tersebut disebut disfungsi komunikasi.
Kita mungkin sudah menata hidup kita, Kita sudah merencanakan pesan kita sebaik mungkin.
Kita sudah mengatur media kita dengan baik, tetapi outcome dari semua persiapan itu tetap kurang dari efek yang kita harapkan. Hal ini dikarenakan outcome adalah sesuatu yang terjadi pada diri penerima pesan, yang sering kali dipengaruhi banyak faktor yang tidak bisa kita kendalikan. Maka sebagai orang percaya, kita harus berdoa meminta pertolongan Tuhan agar proses komunikasi berjalan dengan baik dan yang diperoleh adalah outcome yang diharapkan.
Panggilan sebagai Komunikator
Tidak hanya firman Tuhan adalah sumber prinsip-prinsip berkomunikasi yang baik, tetapi di dalamnya kita juga mendapati bahwa setiap orang percaya dipanggil menjadi komunikator. Matius 28:19-20 memerintahkan kita untuk pergi, menjadikan mereka murid, dan mengajar mereka. Ini adalah salah satu bentuk komunikasi, bertemu dengan orang-orang dan menyampaikan kebenaran.
Bahkan, tanpa bicara pun hidup kita adalah media untuk menyampaikan pesan pada orang lain. Orang bisa melihat siapa Kristus melalui hidup kita. Jadi, kita sebagai orang percaya ditempatkan di dunia ini sebagai komunikator, sebagai media, dan sekaligus sebagai pesan dari Allah. Maka dari itu, betapa pentingnya untuk kita mempersiapkan diri menjadi seorang komunikator yang baik.
Tantangan Menjadi Komunikator Kabar Baik
1. Tantangan untuk menjadi seorang komunikator yang dapat dipercaya.
Membangun watak/karakter kita menjadi karakter yang semakin serupa dengan Kristus karena dengan begitu maka kita akan menjadi komunikator yang berintegritas.
2.Tantangan untuk mengerti kebenaran firman Tuhan.
Kita harus disiplin untuk belajar firman Tuhan baik untuk diri sendiri maupun disiplin belajar firman Tuhan untuk mengajar orang lain. Hal ini merupakan tantangan bagi kita untuk memastikan kualitas isi pesan yang kita sampaikan semakin baik.
3. Tantangan untuk menguasi metode.
Seorang komunikator harus terbuka dengan perkembangan zaman dan mau beradaptasi menggunakan media-media baru.
4. Tantangan untuk bergantung kepada Tuhan.
Kita membutuhkan pimpinan hikmat untuk mengetahui apa, bagaimana, dan apa berkomunikasi, timing. Kadang-kadang isi komunikasi yang baik itu timingnya tidak tepat disampaikan justru menimbulkan efek samping yang tidak baik.
Di dunia yang semakin gaduh ini, kita sebagai orang percaya harus bijak menggunakan waktu kita untuk menyampaikan hal-hal yang penting sambil mengusahakan diri menjadi seorang komunikator yang baik dan benar. Di tengah segala kegaduhan bangsa-bangsa, perintah Tuhan kepada pemazmur, "Be still and know that I'm God." Panggilan kita adalah untuk berdiam diri, belajar firman di kaki Tuhan.
Begitu banyak kemudahan di dunia modern seringkali menjadi distraksi bagi kita. Tentu saja tidak ada salahnya untuk memperluas kapasitas diri (self development) dengan memanfaatkan segala kemudahan yang ada. Akan tetapi jangan sampai kita mengabaikan hal terpenting yaitu duduk berdiam, mengenal Allah, dan belajar di kaki-Nya.