Jika sebelumnya kita semua sudah belajar tentang Alkitab Pintar, dimana salah satu penekanannya adalah bahwa Gereja Pintar itu ada karena adanya Alkitab Pintar. Dan, sekarang, kita akan belajar bersama untuk bisa lebih lagi mendalami tentang ini, karena Gereja Pintar tidak hanya memiliki Alkitab Pintar. Akan tetapi, gereja yang pintar adalah gereja yang bisa melakukan pelayanan dengan pintar. Nah, karena sekarang kita berada pada era digital, maka kita harus belajar tentang ini dengan lebih dalam lagi.

Saya akan membagi materi saya menjadi 4 bagian. Ada pelayanan, digital, pelayanan digital, dan saya akhiri dengan kesimpulan.

Pertama, kita akan kembali mengingat atau me-refresh pikiran kita, menyegarkan kembali apa yang dimaksud dengan pelayanan.

Pelayanan, jika kita pelajari menurut bahasa Yunani, di sana terbagi menjadi macam kata: diakoneo, douleo, leitourgeo, latreuo. Jadi di sini, untuk diakoneo dapat diartikan sebagai menyediakan makanan di meja untuk majikan. Dan, bisa juga berarti melayani orang yang lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan kita. Jadi, ada makna yang lain juga, Douleo, yakni menghamba. Pekerjaan menghamba atau mengabdi, ini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang budak atau hamba. Dan, dalam Perjanjian Baru sendiri, Paulus menggunakan kata "doulos" ini sebagai penggambaran bahwa kita sebelumnya adalah hamba, budak yang terikat dengan kuasa jahat. Akan tetapi, Kristus membebaskan kita, Kristus menyelamatkan kita sehingga pada akhirnya kita menjadi budak atau hamba yang mengabdi kepada Kristus.

Selanjutnya, "Leiturgio" yang berarti bekerja untuk kepentingan orang banyak. Anda bisa melihat di 2 Korintus 9:12, di sana ada aktivitas yang dilakukan untuk bisa menolong orang lain atau untuk kepentingan umum. Di sana, ada aktivitas pengumpulan uang untuk pembangunan gereja di Yerusalem. Dan, juga dalam Roma 15:16, juga disinggung kata "leiturgio", yang bisa diartikan juga bahwa sebagai hamba kita membawa orang untuk menjadi murid Tuhan. Lalu, untuk kata "Latreuo" berarti bekerja untuk mendapatkan gaji atau upah. Dalam Perjanjian Baru, itu bisa diartikan sebagai menyembah atau beribadah kepada Tuhan. Paulus juga mengingatkan kepada kita dalam Roma 12:1 bahwa kita sebagai orang percaya harus mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang kudus, sebagai persembahan yang berkenan kepada Tuhan.

Jadi, keempat pengertian kata ini, oleh gereja pada abad ke-1 dipakai untuk mengartikan apa itu melayani, apa itu mengabdi kepada Tuhan dan bagaimana kita melayani orang lain.

Berikutnya, kita akan belajar arti melayani menurut bahasa Ibrani. Kata "melayani" ini berasal dari "abodah" yang terdiri dari 3 huruf: Ayin, Beth, Dalet. Ayin artinya mata, Beth artinya bait rumah, dan Daleth artinya pintu -- Mata rumah pintu, mengawasi keluarga supaya menuju pintu sejahtera. Jadi, di dalam melayani itu memiliki unsur keluarga sehingga muncul istilah saudara seiman. Jadi, meski tidak sekandung, tetapi kita adalah saudara, saudara dalam Kristus, saudara dalam Tuhan.

Dari pengertian-pengertian ini, maka kita akan memiliki fondasi mengenai pelayanan itu sendiri. Melayani adalah ucapan rasa syukur kita kepada Allah karena kita sudah diselamatkan, dibebaskan, dan bahwa pelayanan ini sebagai luapan rasa syukur dan kita harus benar-benar bersyukur atas anugerah yang sudah diberikan kepada kita.

Fungsi dan peran bisa diartikan melayani Kristus dan sesama; membawa orang yang belum percaya sehingga menjadi murid Tuhan; mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan sebagai persembahan yang pantas/berkenan; sebagai sanctuary-keluarga; tempat perlindungan. Jadi, saya berharap setelah kita belajar tentang kata pelayanan ini, kita semakin disegarkan lagi tentang makna pelayanan dan bagaimana kita bisa mengaplikasikannya pada era sekarang ini .

*****Inilah sebagian dari jenis-jenis pelayanan di gereja (ada di slide share, bisa ditampilkan di gambar artikel)****. 

Pasti ada lebih banyak lagi. Saya harap Anda dapat melengkapinya. Jadi, gereja harus melakukan pelayanan sesuai dengan prinsip-prinsip firman Tuhan. Akan tetapi, kita tidak boleh menutup mata, kita juga harus tahu, kita harus sadar bahwa kita hidup pada era yang sudah berubah.

Sekarang kita masuk pada era apa? Era digital, yaitu era saat seluruh dunia sudah terkoneksi dengan internet karena teknologi sudah semakin berkembang pesat. Segala aspek kehidupan kita sudah terkoneksi secara digital. Bahkan, sekarang setiap orang harus, bahkan dipaksa, untuk bisa beradaptasi dengan digitalisasi yang mempengaruhi semua aspek kehidupan kita, baik itu pendidikan, ekonomi, bisnis, kesehatan bahkan sampai pada hal rohani atau pelayanan.

Sekarang kita akan melihat bagaimana Indonesia itu sendiri. Anda bisa lihat bahwa per Januari 2020 ada 175,4 juta orang Indonesia, ini dalam rentang usia 16-64 tahun. Dari sana kita sudah melihat bahwa sebayak ini orang yang sudah terkoneksi secara digital. Mereka sudah terbiasa hidup dengan dikelilingi perkembangan teknologi, dengan alat-alat digital, bahkan mereka melakukan aktivitas dengan menggunakan digital, dengan menggunakan teknologi.

Di sini kita bisa melihat dengan angka sekian juta orang tadi, rata-rata mereka mengakses internet sebanyak 7-8 jam per hari. Bayangkan. Ya, hampir setiap saat. Kita menggunakan HP kita, menggunakan laptop kita, kita terkoneksi dengan digital.

Dan, Bapak Presiden Jokowi sudah mengatakan bahwa pada tahun 2020 Indonesia sudah digital. Dunia sudah digital, Indonesia sudah digital. Dan, selama tiga bulan ini, kita melihat, kita merasakan, dan kita mengalami sendiri ada banyak perubahan yang terjadi selama pandemi.

Nah, ada apa? Ada disrupsi, ada akselerasi. Jadi, di sini kita melihat banyak hal sudah berubah. Bahkan, pengertian digital 6 bulan yang lalu dengan pengertian sekarang, itu sudah beda. Dan, kita seolah-olah seperti mengalami ini ya, bukan seolah-olah, tetapi pasti, kita mengalami percepatan. Jadi, di sini ada transformasi. Transformasi sudah terjadi. Perkembangan teknologi 2025 tahun ke depan sekarang sudah bisa kita nikmati hari ini. Progres dari tahun ke tahun bisa kita nikmati sekarang. Karena itu, tidak heran bahwa gereja pun juga dipaksa untuk melakukan ibadah online dan melayani. Secara online? Apakah gereja Anda sudah melakukannya?

Jadi, untuk new church dan adaptasi kebiasaan baru, dengan kata lain, sebenarnya kita membahas tentang DIGITAL.

Karena kita sudah setiap hari dikelilingi dengan berbagai akses informasi melalui digital, kita mengalami kemudahan untuk mendapatkannya, dan teknologi-teknologi yang dihasilkan dengan memanfaatkan digital sudah kita pakai, kita pun termasuk dalam orang-orang yang hidup di dunia digital. Oleh karena itu, kita disebut generasi digital. Kita adalah penduduk. Yang namanya penduduk, pasti kita dilingkupi oleh budaya, dengan cara berpikir. Budaya dan pikiran yang seperti apa? Ya, pasti juga terkait dengan digital karena kita hidup di dunia digital.

Intinya, budaya digital adalah budaya yang mengalami perkembangan, bahkan ada yang bertolak belakang dari kultur lama. Dalam kultur lama, ide selalu datang dari atas, dari pimpinan, dari ketua. Sekarang, pada dunia digital, ide bisa datang dari siapa saja. Bahkan, kita bisa mendapatkan, menerima ide ataupun membagikan ide kepada yang lain dengan lebih mudah lagi.

Terkait hierarki, membuat keputusan untuk budaya digital lebih cepat, dibandingkan dengan kultur lama yang harus mengikuti beberapa birokrasi, hierarki, ikut peraturan ini itu, dan ikut langkah ini itu. Akan tetapi, sekarang lebih tepat dan berorientasi pada hasil.

Budaya digital sendiri juga memberdayakan pekerja. Bahkan ketika kita bekerja, sekarang tidak heran lagi kalau bisa bekerja antartim, tidak hanya antartim, tetapi juga cross divisi. Bahkan, kita bisa berintegrasi dengan komunitas lain. Karena apa? Karena budaya digital sangat kuat untuk berkolaborasi. Kultur lama sangat sulit untuk berkolaborasi karena ketika melakukan satu pekerjaan, ketika melakukan satu pelayanan, itu cenderung dilakukan oleh departemen-departemen khusus. Ada batasan-batasan. Dan, sekarang kita lebih banyak berkolaborasi, kita punya fokus untuk berkembang lebih cepat, bahkan tidak takut lagi terhadap hambatan. Karena salah satu fokusnya adalah kita harus mengalahkan hambatan itu.

Berikutnya adalah cara berpikir, digital mindset. cara berpikir itu maksudnya adalah sikap yang memiliki orientasi untuk memanfaatkan teknologi digital dalam melakukan aktivitas. Jadi, beberapa hal masuk ke dalam budaya, atau karena mau tidak mau yang namanya budaya pasti berpengaruh terhadap cara berpikir, berbahasa, dan cara kita berelasi. Jadi, digital mindset memiliki visi ke depan, terbuka dengan ide, selalu kreatif, selalu ingin relevan, melihat tren ke depan. Karena digital teknologi berkembang terus, mau tidak mau kita harus ikut, selalu ingin berkembang, terbiasa membuat keputusan dengan cepat, bisa berkolaborasi, serta memiliki data yang terintegrasi.

Selanjutnya, kita sudah melihat bahwa fakta-fakta dalam dunia digital itu akan kita lihat, bahkan kita nikmati setiap hari.

Lalu, bagaimana jika kita ingin hidup dengan baik? Mau tidak mau yang namanya generasi digital pasti orang-orang di dalamnya akan bisa relevan, akan bisa hidup dengan baik dengan sesama orang digital. Karena itu, ketika kita ingin melakukan pelayanan, generasi digital harus dijangkau dengan orang yang dari generasi digital juga, tidak bisa dengan orang yang bukan generasi digital, bahkan yang tidak mau bersentuhan dengan teknologi. Itu sulit. Nah, bagaimana dengan itu? Kita harus menangkap juga bahwa generasi digital adalah masa depan gereja. Karena sekarang gereja ada dalam era ini, jika tidak melayani generasi digital, bagaimana dengan kelanjutan gereja?
 
Bagaimana dengan pelayanan digital itu sendiri? Kita sudah belajar prinsip-prinsip pelayanan, kita sudah melihat fakta-fakta di dunia digital. Jadi, digital itu sebenarnya dipakai oleh Allah sebagai ladang pelayanan baru, cara baru, dan budaya baru. Tadi, kita sudah belajar tentang budaya-budaya tersebut. Bagaimana kita bisa melihat semua itu, kita bisa menggumulinya, dan kita bisa menerapkannya dalam gereja kita. Karena pelayanan memiliki prinsip-prinsip yang berdasar pada firman Tuhan, maka digital ministry juga memiliki tujuan yang biblikal sesuai dengan firman Tuhan, yaitu supaya gereja bisa saling melayani.

Jika Anda membaca materi tentang penggembalaan ala COVID, di sana disinggung satu poin yang sangat penting dalam penggembalaan, yang dinamakan 3E (empower, equip, endow). Jadi, ketika kita melakukan pelayanan, kita memberdayakan jemaat untuk melayani atau empower. Lalu, equip, kita memperlengkapi mereka dengan meningkatkan kapasitas mereka, bahkan kita menyiapkan alat-alat. Lalu, endow lebih pada menyokong jemaat dalam melakukan pelayanan. Jadi, di sini sangat terlihat jelas bahwa digital ministry bersifat kolaborasi. Gereja dapat saling melayani. Saling berarti tidak dapat dilakukan sendiri, itu harus dilakukan bersama orang lain. Gereja yang sama-sama melayani untuk dunia digital. Kita melayani di dunia digital, jadi kita harus melakukannya bersama orang digital dan untuk orang digital juga, dengan cara yang digital.

Berikutnya, kita akan kembali merefresh prinsip-prinsip dalam melayani, lalu kita kaitkan dengan pelayanan digital. Secara prinsip, tidak akan berubah. Karena prinsip melayani berasal dari firman Tuhan dan firman Tuhan tidak berubah. Jadi, ketika kita melayani di dunia digital, kita lebih berfokus kepada caranya. Caranya kita lakukan secara digital, melayani secara digital, bermisi, memuridkan, kita harus bisa bergerak, harus giat, karena apa? Sebab, kalau belum terbiasa secara digital, kita harus mau belajar. Jangan sampai hanya belajar sekali dua kali, tetapi terus belajar karena perkembangan itu terus terjadi. Lalu, tidak menutup kemungkinan akan terbentuknya keluarga, komunitas digital, dan tidak menutup kemungkinan juga kita akan bertemu dengan saudara-saudari seiman dari tempat lain, dari latar belakang yang berbeda-beda.

Lalu, siapa yang akan terlibat dalam Digital Ministry ini? Setiap orang percaya, karena kita diberi Amanat oleh Tuhan untuk memberitakan firman Tuhan, untuk menjangkau orang, untuk memberitakan firman Tuhan, untuk pergi. Dalam materi tentang penggembalaan ada penekanan yang sangat penting bahwa kita harus pergi. Berikutnya adalah gereja, karena orang-orang percaya dan gereja sangat lekat, sehingga kita bisa menolong gereja untuk bersama-sama melakukan ini.

Lalu, yang berikutnya adalah generasi digital. Poin ketiga ini lebih kepada subjek dan objek. Subjek adalah orang yang melakukan, kita yang melayani adalah orang digital. Dan, objek adalah orang yang dilayani, kita juga melayani orang digital. Jadi, baik yang melayani maupun yang dilayani, kita adalah generasi digital.

Bagaimana dengan gereja Anda? Bagaimana dengan pelayanan gereja Anda 50 tahun yang lalu dan 50 tahun mendatang? Apakah ada perbedaan? Mungkin, mulai sekarang bisa direnungkan. Jadi, apakah ada perbedaan di dalam pelayanan gereja Anda? Jika ada perbedaan, tangkaplah itu sebagai kesempatan; kesempatan yang baik; kesempatan yang menarik, kesempatan yang relevan, dan coba gumulkan dan doakan bagaimana bisa menggunakan kesempatan ini supaya bisa melayani dengan lebih efektif lagi pada era ini. Kalau untuk persamaan, apa? Prinsip-prinsip dalam melayani.
     
Digital ministry juga harus menekankan bahwa kita ada di dunia digital, kita melakukan bersama dan untuk generasi digital. Pada saat ini, kita mungkin melayani generasi digital, tetapi karena perkembangan digital, perkembangan teknologi yang terus maju, memungkinkan kita untuk juga melayani generasi digital yang berikutnya. Jadi, pelayanan digital itu harus relevan, harus memiliki dampak. Bagaimana caranya supaya bisa relevan dan berdampak? Yang pertama, tetap harus memegang prinsip-prinsip firman Tuhan. Kedua, harus giat melayani. Dan, yang ketiga harus bisa melayani kepada dunia yang sudah berubah. Pelayanan tahun ini belum tentu akan sama dengan pelayanan tahun depan, pasti akan mengalami perubahan, akan mengalami perkembangan. Jadi, lakukan itu dengan cara, orang, kesempatan, dan kemampuan yang relevan juga.    

Lalu, mengapa penting untuk melakukan pelayanan digital? Yang pertama karena panggilan dan Amanat Agung. Kita diberi panggilan dan Amanat Agung dari Tuhan agar kita pergi, untuk memberitakan firman Tuhan, untuk memuridkan. Jadi, pada era ini, panggilan itu tetap, tidak berubah, dan kita harus melakukannya.

Yang kedua, masa depan dan ladang-Nya. Digital adalah ladang baru, cara baru. Dan, di sini kita bisa memanfaatkan yang sudah Tuhan sediakan pada era digital ini, yaitu teknologi untuk melakukan pelayanan demi kemuliaan Tuhan. Dalam materi-materi program SABDA Live, kita terus-menerus diingatkan tentang visi IT4God. Di sinilah konteks bahwa teknologi berasal dari Tuhan, kita pakai dan kita gunakan untuk kemuliaan Tuhan. Kita harus kembalikan untuk kemuliaan Dia.

Yang ketiga, kesempatan dari Tuhan. Kita sudah banyak mengalami kesulitan dalam bulan-bulan lalu selama kita mengalami pandemi COVID. Ini pun juga menjadi kesempatan yang Tuhan berikan bagi kita untuk kita berubah. Tidak hanya kita secara pribadi, tetapi juga gereja. Ini adalah kesempatan bagi gereja untuk melanjutkan pelayanan, mengembangkan pelayanan, dan menangkap kesempatan-kesempatan yang Tuhan sudah sediakan untuk bisa melayani dengan efektif. Lalu, yang keempat untuk kemuliaan nama-Nya, itu sudah pasti.

Lalu, apa yang menjadi tantangan ketika kita ingin melakukan pelayanan digital? Jika gereja Anda sudah melakukan pelayanan digital, apa tantangannya? Apakah tantangannya banyak atau sedikit? Kita harus menyadari bahwa tantangan yang dihadapi itu datang dari orang, dari pemikiran, dari cara, dari usia juga, karena dengan rentang usia yang jauh biasanya pihak-pihak akan sulit untuk bisa menerima perkembangan konsep-konsep. Tidak selalu, tetapi ada kalanya seperti itu. Lalu, dari gereja itu sendiri. Jika gereja tidak terbuka, akan sulit untuk melakukan pelayanan digital. Jadi, meski perkembangan ada, perubahan ada, tetapi kalau gereja tertutup, tetap tidak bisa terlaksana. Gereja yang terbuka itu sebenarnya sangat memungkinkan gereja itu bisa berkembang dengan baik.

Ini juga menjadi doa saya ketika menyusun materi ini. Jika dilihat, teknologi bukanlah masalah, justru teknologi ini Tuhan sediakan untuk menjadi kesempatan. Yang menjadi masalah adalah kita sendiri dan gereja yang tidak terbuka. Jika seandainya gereja mau terbuka, mau menerima perubahan, mau memegang prinsip-prinsip panggilan Tuhan terhadap gereja itu, akan memungkinkan bagi gereja untuk melakukan pelayanan digital pada era ini.

Berikut beberapa kesimpulan yang saya ingin sampaikan. Yang pertama adalah gereja yang sehat adalah WIFE. WIFE adalah salah satu poin penting di dalam materi "Ibadah Online: Tidak Cukup!" dalam program SABDA Live. Jadi, WIFE menjelaskan tentang Word  atau Worship, Instruction atau Pengajaran, Fellowship atau persekutuan, dan Evangelism atau penginjilan. Jika prinsip-prinsip panggilan Tuhan ini bisa dilakukan oleh gereja dengan baik, lengkap, dan seimbang, maka gereja akan sehat dan akan bisa melakukan pelayanan digital.

Yang kedua, gereja yang melayani adalah gereja yang mengaplikasikan panggilannya. Yang ketiga, gereja yang terlibat dalam pelayanan digital adalah gereja yang bisa, akan, dan pasti akan menjangkau generasi sekarang, dengan cara yang digital, dengan cara yang relevan.

Yang terakhir adalah digital ministry bisa dikatakan sukses jika ada cara baru dan kesempatan baru dalam melayani. Sebab, digital ministry adalah ladang baru, cara baru, dan budaya baru yang akan terus berkembang. Dalam melakukan digital ministry harus ada cara baru, kesempatan baru yang terus-terus dikembangkan supaya bisa semakin efektif di dalam melayani.

Kiranya materi ini boleh menjadi berkat bagi Anda dan semakin menguatkan kita akan panggilan pelayanan. Dan, apa yang sudah Tuhan taruh dalam firman-Nya, di dalam hati kita, memampukan kita untuk bisa mengerjakan ini dengan sebaik-baiknya dan dengan sungguh-sungguh bagi kemuliaan Tuhan. Terima kasih.