Oleh: Yulia Oeniyati
Sebagai orang Kristen, kita harus rajin dan bersungguh-sungguh dalam menggali firman Tuhan sekaligus menggali pengetahuan umum agar bisa dipakai untuk kemajuan pelayanan. Salah satunya dengan mempelajari design thinking. Design thinking ini sudah didengungkan mulai 7 tahun lalu, tetapi kembali populer akhir-akhir ini. Ini adalah satu subjek yang populer di dunia, dan bisa pula diuji apakah itu bertentangan dengan firman Tuhan. Jika tidak bertentangan dengan firman Tuhan, anugerah umum ini bisa dipakai demi kemuliaan nama Tuhan.
Mengapa kita bicara tentang design thinking? Salah satu yang menjadi pemicu adalah karena dunia memiliki banyak sekali masalah, baik dalam bidang sosial, finansial, lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Masalah kemudian menjadi kian memburuk dengan adanya pandemi. Datangnya tsunami digital sebelum pandemi sudah memorak-porandakan tatanan kehidupan, dan kemudian pandemi mempercepat akselerasi digital Indonesia. Sayang sekali, orang Kristen tidak siap menerima ini. Namun, ketinggalan bukan berarti kemudian diam saja. Justru sekarang, kita harus berlomba mengejar ketinggalan, bahkan kalau bisa kita memimpin dan mengarahkan dunia, sebab itulah yang sebenarnya diharapkan Tuhan.
Pada zaman reformasi lalu, dunia hampir dipimpin oleh kemajuan yang dicapai pada masa reformasi. Kegerakan pengetahuan dan kebangkitan semangat untuk membangun pada masa reformasi sangat besar. Pada saat itu, gedung yang paling bagus dibuat oleh orang Kristen, demikian juga dengan gereja, musik, dan banyak hal yang terbaik diciptakan atau dibuat oleh orang percaya. Orang Kristen unggul dan memimpin dalam banyak hal pada saat itu. Namun, seiring waktu, orang Kristen menjadi semakin malas dan semakin tertinggal sehingga sekarang dunia dipimpin oleh orang-orang dunia.
Ada banyak masalah di dunia ini sampai-sampai jika kita melihat berita di berbagai media, kita akan ikut merasakan stres. Kompas pernah memberitakan bahwa tekanan ekonomi memicu masalah kesehatan jiwa. Pandemi juga menjadi masalah yang kompleks akibat akses layanan kesehatan yang belum merata. Banyak orang mengalami masalah dengan kesehatan jiwa, mulai dari pemerintah, tokoh masyarakat, hingga masyarakat umum. Kondisi wellness kita, baik secara digital, fisik, maupun spiritual, mengalami penurunan yang cukup drastis. Ada banyak tatanan yang tidak bisa kita bangun lagi karena masalah-masalah ini.
Kita tahu betapa pentingnya wellness, bukan hanya bagi orang non-Kristen, tetapi juga bagi orang-orang Kristen. Bagaimana orang-orang non-Kristen mengatasi masalah di dunia IT? Ada pernyataan bahwa masalah global juga harus dicarikan solusi globalnya. Oleh karena itu, sejak bangkitnya digital information, mulai bermunculan pula event seperti hackathon yang merupakan salah satu cara untuk mendapatkan solusi atas masalah, baik masalah yang dihadapi oleh pemerintah maupun masyarakat secara umum.
Event hackathon banyak sekali diselenggarakan sebagai cara untuk memicu programmer dan orang-orang IT dapat bekerja sama dalam membuat suatu solusi. Selama pandemi berlangsung, banyak sekali diadakan event hackathon, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta, guna mendapat solusi atas berbagai masalah yang timbul selama pandemi. Dalam event ini, masyarakat ditantang untuk membuat solusi, baik yang terkait dengan pandemi maupun untuk kepentingan masa depan. Mengapa? Sebab, penyelenggara ingin mengumpulkan otak-otak yang brilian untuk memecahkan problematik kompleks yang terjadi dalam masyarakat. Nah, apakah orang Kristen juga melakukan ini? Ya. Ada orang-orang Kristen yang bertujuan untuk memajukan pelayanan sehingga mereka mengumpulkan orang-orang pandai, khususnya dari bidang IT, guna membuat berbagai aplikasi yang bisa memajukan pelayanan.
Namun, hackathon memiliki kelemahan yang cukup menonjol, di mana hanya dilakukan dalam jangka waktu 24 jam, 36 jam, atau 48 jam. Waktunya sempit sekali sehingga ketika mereka bertemu, kebanyakan dari mereka sudah sudah siap untuk mengerjakan ide-ide yang dibawa oleh berbagai pihak guna memecahkan masalah saat hackathon berlangsung. Dan, itu berlangsung selama kurang lebih 24 jam atau 36 jam, di mana mereka bekerja untuk mengimplementasikan ide-ide demi menghasilkan prototype awal.
Dengan adanya pembatasan waktu, setiap orang sebisa mungkin akan berusaha menarik orang sebanyak-banyaknya untuk mengerjakan proyek dengan cepat sehingga pada jam yang ditentukan, peserta dapat menyelesaikan proyeknya. Namun, event semacam ini seringnya justru melahirkan spirit kompetitif dibandingkan spirit kolaborasi dan bekerja sama. Dengan adanya reward bagi pemenang, setiap kelompok akhirnya saling berlomba dan bersaing serta hanya berfokus pada diri sendiri saat melakukan hackathon.
Kelemahan hackathon lainnya adalah karena ide-ide dalam membuat aplikasi itu tidak pernah diuji -- hanya datang dari satu atau satu grup -- maka setelah proyek selesai, hasilnya menjadi kurang relevan dengan kebutuhan umum dan tidak bisa dipakai. Banyak sekali proyek hackathon yang akhirnya mangkrak karena waktu hackathon dikerjakan mati-matian, tetapi setelah selesai tidak dilanjutkan dan menjadi tidak relevan lagi bagi kehidupan saat itu. Atau, kalaupun ide atau aplikasi itu berguna, paling hanya berguna untuk sedikit orang sehingga tidak banyak manfaatnya.
Lalu, bagaimana cara organisasi Kristen, gereja, atau komunitas Kristen memecahkan masalah?
Biasanya, pemimpin mendapatkan laporan di gereja, baik dari level atas maupun dari level bawah, mereka kemudian akan langsung cari solusi dengan cara mencari orang yang dapat mengerjakannya. Atau, jika memiliki cukup uang, mereka akan mencari tenaga outsourching untuk mengerjakan solusi masalahnya. Namun, karena hanya segelintir orang yang mengambil bagian untuk menyelesaikan masalah, sering kali akhirnya masalah dianggap selesai dan dilaporkan sudah baik, lalu masalah dianggap sudah selesai. Jadi, setelah masalah tidak dibicarakan lagi, akan dianggap selesai. Yang penting sudah ada laporan. Hal ini terjadi berulang-ulang dari zaman ke zaman.
Pertanyaannya, apakah hanya segelintir orang yang harus dilibatkan untuk menyelesaikan masalah? Bukankah dengan demikian tidak terjadi kolaborasi, terlebih lagi inovasi? Sebab, jika penyelesaian masalah sudah dipercayakan pada satu orang, cenderung hal itu akan dikerjakan oleh orang yang sama terus-menerus.
Ini menjadi salah satu masalah yang besar di gereja. Sebab, sebenarnya ada banyak masalah, tetapi kemudian tertutupi dengan sedikit pemecahan. Sementara, akarnya yang masih besar di bawah, justru menjadi tidak kelihatan, tidak dibahas, atau dicarikan solusinya yang terlihat saja. Akibatnya, gereja tidak bisa maju dengan baik, sebab masalah terus menumpuk dan bisa meledak suatu saat sehingga akhirnya membuat gereja menjadi berantakan. Kita bisa belajar dari pengalaman ini agar kiranya tidak terus terulang ke depan.
Salah satu yang ditawarkan dalam human design thinking ini karena ada cara pandang atau mindset untuk memperhatikan pengguna. Bagaimana pengalaman pengguna itu bisa memberi banyak kemajuan pada perusahan ketika mereka meningkatkan penggunaan produk. Dan, ini bisa diterapkan pula di gereja. Dengan menggunakan metode design thinking, gereja dapat meningkatkan pelayanan, kegunaan pelayanan, atau fungsi kegunaan pelayanan.
Jika human centered terdiri dari 3 langkah, yaitu: inspiration, ideation, implementation, maka design thinking merupakan proses atau metodenya. Jika human centered berfokus untuk meningkatkan kegunaan produk, design thinking berupaya menghasilkan produk-produk memecahkan masalah. Ada 5 langkah dalam design thinking. Yang pertama adalah berempati, yaitu dengan mengumpulkan informasi dari banyak orang mengenai segala macam hal yang berhubungan dengan banyak topik kepada pihak-pihak yang relevan. Ini merupakan tahap mengumpulkan masalah yang dimulai dengan sikap empati. Hal ini yang tidak dilakukan oleh gereja atau yayasan Kristen, karena mereka seringnya langsung memulai dari ide dari pemimpin atau staf. Sementara, ide dari pemimpin yang kadang-kadang berasal dari pengalaman pribadi tidak sama dengan pengalaman staf atau pengguna atau orang-orang yang dilayani, sehingga itu pada akhirnya akan berfokus kepada pemimpin saja.
Dengan design thinking, kita akan mulai dari orang-orang yang menggunakan pelayanan atau produk sehingga kita tahu persis apa kebutuhan atau keinginan mereka, apa yang menjadi masalah dalam penggunaan produk atau pelayanan. Setelah mengumpulkan semua informasi, kita kemudian mendefinisikan masalah atau kebutuhan. Nah, apa yang menjadi kebutuhan? Begini contohnya, misalnya kita adalah pengusaha yang memproduksi toilet paper. Jika kita tidak pernah menguji produk itu kepada pengguna, kita tidak akan tahu apa tanggapan pengguna terhadap produksi toilet paper kita. Sebab, siapa tahu mereka tidak suka dengan teksturnya, warnanya, atau wanginya, dll.. Mungkin, bagi kita itu produk yang bagus, tetapi kita tidak tahu secara persis apa yang menjadi kebutuhan pengguna atau konsumen terhadap toilet paper, di mana mungkin mereka lebih mementingkan tekstur atau kehalusan permukaan toilet paper dibanding hal-hal lainnya. Hal-hal semacam itu hanya bisa kita ketahui dengan mencari tahu langsung dari pengguna.
Langkah selanjutnya adalah mendefinisikan masalah, yang kita dapatkan setelah mengetahui kebutuhan pengguna. Setelah merumuskan masalah, barulah kita berupaya untuk memunculkan dan menemukan ide-ide terbaik yang relevan dan inovatif guna menjawab kebutuhan. Jadi, masalah-masalah gereja yang ada di bawah, yang berasal dari jemaat, dibawa ke atas untuk dipelajari apakah bisa dipecahkan atau apakah berbagai informasi itu valid. Setelah itu, dilakukan pencarian untuk ide-ide yang inovatif, membuat implementasi ide itu secara cepat dan sederhana, membuat contoh-contoh solusi yang berdekatan, baru kemudian mengadakan pengujian.
Testing atau pengujian berguna untuk melihat apakah produk yang kita buat itu benar-benar cocok seperti yang diharapkan oleh pengguna. Sebaliknya, apakah pengguna masih mengalami masalah dengan itu. Misalnya, pada masa pandemi ini, kita mendengar banyak sekali jemaat yang protes karena merasa gereja tidak pernah melayani jemaat. Sementara, pihak gereja mungkin menganggap tidak mungkin mereka melayani 500 jemaatnya satu per satu, dengan melakukan visitasi atau dengan menghubungi via telepon. Ada banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk melakukan pelayanan demikian. Menjadi lebih parah lagi karena merasa tidak terlayani, jemaat kemudian tidak memberikan persembahan. Nah, di sini muncul dua kebutuhan dan dua masalah berbeda yang harus dipertemukan.
Dalam kondisi semacam ini, gereja bisa mengambil langkah dengan mulai melayani anggota jemaat yang dirasa paling penting dahulu, misalnya kaum lansia. Melalui pelayanan ini, lakukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan, misalnya: apakah ada pelayanan visitasi dari hamba Tuhan kepada mereka, apakah mereka senang dikunjungi, apa yang mereka inginkan saat dikunjungi, dsb..
Intinya, perlu mencari solusi agar SDM gereja yang terbatas itu dapat melayani 500 jemaat pada gilirannya. Jika yang pertama-tema dilayani Lansia, yang selanjutnya mungkin bisa melakukan pelayanan terhadap kaum remaja, anak-anak, dsb.. Masalah-masalah demikian harus dicari solusi yang baik sehingga tidak menjadi bumerang bagi gereja itu sendiri.
Setelah masalah didefinisikan dan dijadikan ide, ide kemudian dapat diuji. Jika ternyata hasilnya tidak memuaskan, ide itu dapat diulangi lagi sampai pengguna dapat puas dengan hal itu dan lain-lain. Jadi, intinya terus belajar, berkembang, dan berkolaborasi. Jika kita tidak kolaborasi dengan pengguna dan dengan berbagai pihak, kita akan sulit mendapatkan solusi yang terbaik. Ini yang sering terjadi pada gereja dan yayasan Kristen, yang lebih suka mencari orang-orang yang memiliki pemikiran sama, keinginan yang sama, dan mimpi yang sama. Mengapa? Supaya tidak terjadi banyak konflik. Namun, demi untuk menghindarkan konflik, maka solusi yang dihasilkan justru hanya sedikit dan hanya mewakili kepentingan sedikit orang.
Hal yang demikian tidak terjadi dengan proses design thinking. Dengan design thinking, kolaborasi justru dilakukan dengan orang yang berbeda agar setiap orang dapat melihat dari banyak segi dan dari berbagai sudut pandang. Event kolaborasi mencari solusi ini akan bagus kalau pesertanya terdiri dari berbagai latar belakang, culture, latar belakang ekonomi, umur, dan sebagainya. Dengan demikian, diharapkan solusi yang dihasilkan bisa menjawab secara lebih tepat dan menjangkau lebih luas. Gereja harus belajar untuk mendapat solusi dari berbagai macam pandangan, latar belakang, dan pendapat yang berbeda-beda, termasuk dari jemaat yang memiliki banyak latar belakang. Sehati sepikir dalam hal ini bukan dalam hal pendapat, ide, pemikiran, pandangan, dsb., melainkan sehati sepikir dalam melayani Tuhan, dalam visi dan misi untuk memajukan Kerajaan Allah. Dengan sehati sepikir semacam itu, maka kolaborasi dari berbagai latar belakang ide dan pemikiran akan berjalan dengan baik.
Mari kita belajar mempraktikkan human center design untuk mendukung pelayanan guna memberkati banyak orang. Mari kita berkolaborasi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang yang berbeda dan cara berpikir yang berbeda. Dan, dalam berkolaborasi itu, mari kita juga belajar untuk saling menerima dan menegur serta menasihati pada saat bersamaan sehingga kita dapat bekerja sama dan saling mengisi.