BAHAYA GEREJA DIGITAL

Kita sudah mendengar banyak sekali mengenai hal-hal positif yang disumbangkan oleh teknologi khususnya dalam pengembangan gereja. Presentasi-presentasi dalam SABDA Live juga sudah memberikan banyak sekali referensi bagi kita, bagaimana teknologi bisa digunakan dengan sangat luar biasa untuk pelayanan Alkitab dan mendukung pelayanan gereja bagi pertumbuhan rohani masyarakat pada era digital ini. Namun, artikel ini tidak akan membahas sisi positif itu. Artikel ini secara khusus akan membahas tentang hal-hal yang harus kita waspadai, yaitu bahaya dari gereja digital.

Pertama-tama, cobalah untuk menuliskan setidaknya satu bahaya dari gereja digital menurut Anda. Menurut Anda, apa saja yang sudah kita ketahui tentang bahaya gereja digital dari pengamatan atau dari yang kita rasakan? Meski saya tidak bisa melihat secara langsung apa yang Anda tuliskan, tapi saya yakin bahwa ada banyak bahaya yang bisa Anda tuliskan. Hal ini dikarenakan kita sudah mengalaminya sendiri, kita juga sudah mengamati perkembangan yang terjadi pada era abnormal ini. Kita bisa melihat bahwa meskipun beberapa gereja sudah siap, masih ada gereja lain yang tergopoh-gopoh, bahkan yang sama sekali tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi. Lalu, bagaimana? Apakah Anda juga sudah mengamati keadaan gereja digital di tempat Anda?

Apakah saat ini kondisi gereja digital di tempat Anda berkembang dengan sangat baik? Baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Cobalah untuk merenungkannya; apakah tidak ada perkembangan, seperti tidak ada perubahan tertentu atau yang berarti, masih sama aja dari dulu sampai sekarang. Atau bahkan mungkin terjadi penurunan? Apakah Anda pernah mengevaluasi hal ini, ataukah hanya sekadar tahu bahwa gereja Anda memiliki ibadah digital/online selama masa pandemi ini tanpa ikut memikirkan bagaimana kelanjutannya?

Saya sangat terberkati oleh sharing seseorang yang mengatakan bahwa gerejanya sudah melakukan sebuah analisis untuk meneruskan pelayanan gereja digital ini pada era new normal. Tujuannya apa? Karena, saat ini sudah era digital, dan mereka sangat concern kepada generasi digital yang ada di gereja mereka sehingga mereka membuat berbagai analisis data, membuat segmentasi, bahkan mulai concern dengan bahan-bahan digital yang bisa mereka sampaikan kepada jemaat. Bisa dikatakan, gereja seperti inilah yang akan terus bertahan di tengah perkembangan zaman, di tengah perkembangan yang begitu cepat karena selalu berusaha untuk menjadi relevan dengan apa yang terjadi.

Dalam dunia bisnis, kita mengenal ada satu alat untuk melakukan analisis yaitu disebut dengan analisis SWOT: Strength, Weakness, Opportunities, and Threats (Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan, dan Ancaman-ancaman). Analisis SWOT ini dipakai untuk menemukan hal-hal yang positif dan negatif dalam suatu perusahaan, atau dalam organisasi, untuk menggambarkan situasi yang sedang (atau akan) mereka hadapi. Nah, apakah gereja kita sudah melakukan hal ini?

Ada begitu banyak referensi yang bisa dipakai untuk melakukan evaluasi terhadap gereja digital menggunakan analisis SWOT ini. Dalam artikel ini kita tidak akan fokus pada sisi positifnya seperti "Strength" dan "Opportunities". Sebaliknya, kita akan fokus kepada sisi negatifnya agar mengetahui kelemahan-kelemahannya dan ancaman-ancaman yang bisa terjadi ketika kita mengupayakan gereja dan pelayanan digital.

Sebelum membahas secara mendalam mengenai bahaya-bahayanya, kita perlu mengetahui jenis bahaya yang akan kita hadapi. Jenis bahaya yang pertama adalah bahaya yang real atau bahaya yang nyata. Bahaya yang real ini adalah bahaya yang muncul dari suatu keadaan. Sebagai contoh adalah gawai seperti telepon seluler/HP. Setelah dianalisis, diteliti, dan diberikan fakta-fakta ilmiahnya, gawai ini terbukti memiliki bahaya yang sangat besar kalau digunakan secara berlebihan. Selain mengakibatkan kecanduan, penggunaan HP secara berlebihan bisa mengakibatkan seseorang terkena penyakit yang berat karena kurang bergerak atau terlalu lama mengamati layar. Lebih jauh lagi, kecanduan itu sendiri juga menyebabkan penyakit mental atau mengganggu secara psikologis dan ini adalah bahaya yang real dan bisa dibuktikan secara nyata.

Yang kedua, adalah bahaya yang muncul karena disebabkan oleh fear, rasa takut. Bahaya ini membuat kita tidak dapat melihat manfaat, kesempatan, atau kegunaan dari sesuatu yang kita anggap berbahaya. Masih menggunakan HP sebagai contoh, di gereja saya sendiri, ada hamba Tuhan yang terang-terangan, bahkan menyatakannya di mimbar, bahwa dia menolak penggunaan HP di gereja karena dia takut HP itu akan membuat jemaat kehilangan fokus. Hamba Tuhan itu khawatir jika HP membuat jemaat tidak bisa bertumbuh, bahkan membuat anak-anak muda tidak suka lagi baca Alkitab. Itu rasa takutlah yang membuat hamba Tuhan tersebut memandang HP sebagai sesuatu yang berbahaya

Memang, kita perlu mewaspadai dua jenis bahaya ini agar kita bisa lebih hati-hati dan berhikmat dalam menghadapi bahaya yang dihadirkan oleh era digital. Menggunakan HP lagi sebagai contoh, apakah karena kita melihat bahaya yang real tadi dan bahaya yang timbul karena ketakutan kita, lalu kita tidak mau menggunakan HP kita untuk kepentingan pekerjaan Tuhan dan mau menyingkirkan benda itu dari hidup kita? Nah, ironisnya, orang yang melarang HP masuk ke dalam gereja atau menggunakannya untuk kepentingan rohani, justru menggunakan HP itu untuk kepentingan pribadinya dengan sangat luar biasa; untuk pekerjaan, untuk bisnis, singkatnya untuk hal-hal yang menguntungkan pribadi mereka. Dengan bangga, mereka juga berkata, "Ini HP canggih banget ya, dia bisa melakukan apa saja, bisa memudahkan hidupku. Selama itu untuk aku, baik untuk aku, no problem, saya akan pakai." Akan tetapi, ketika berbicara masuk ke dalam ranah spiritualitas, masuk dalam ranah rohani menjadi, orang itu berkata, "Jangan deh, bahaya."  Bagaimana ini? IT tidak lagi menjadi "IT for God", tetapi menjadi "IT for Me". Pertanyaannya sekarang, mengapa kedua jenis bahaya ini bisa menjadi bahaya bagi gereja pada era digital ini?

Saya mau menyinggung sedikit tentang digital quotient atau singkatnya DQ. Dalam satu wawancara, saya disadarkan bahwa memang ada bahaya atau hal-hal yang membuat gereja kesulitan menerima teknologi dan sulit berkembang pada era teknologi ini, yaitu karena sudah salah langkah terlebih dahulu pada era old normal. Sekarang ini, gereja memang dipaksa untuk memakai teknologi, tetapi pada era old normal, gereja kurang (bahkan tidak) mengedukasi jemaat mereka mengenai penggunaan teknologi apalagi tentang bagaimana teknologi dapat dipakai untuk pertumbuhan rohani (atau kalau SABDA selalu bilang, "IT4GOD"). Kekurangan edukasi itu dapat memengaruhi digital quotient atau kecerdasan digital dari jemaatnya. Dan, jika jemaat tidak memiliki kecerdasan digital yang baik, ini bisa sangat berbahaya bagi gereja ketika gereja mau mulai memasuki pelayanan dalam era digital. Nah seperti IQ, SQ, atau multiple intelligence, kalau skornya tinggi, itu akan selalu dianggap menentukan kesuksesan seseorang dalam hidupnya. Nah, pada era digital ini, bagaimana seseorang bisa bertahan dalam dunia digital? Bagaimana mereka bisa aman-aman saja dalam dunia digital, bahkan bisa memberi dampak yang baik dalam dunia digital? Hal itu tergantung pada DQ mereka, tergantung pada kecerdasan digital yang mereka miliki. Berikut ini adalah dua hal yang bisa terjadi dalam gereja jika gereja tidak mengedukasi jemaat mereka bagaimana menggunakan teknologi:

Pertama, jemaat bisa memiliki kecerdasan digital yang sangat rendah. Akibatnya, kita akan sangat sulit untuk mengajak jemaat untuk masuk ke dalam pelayanan digital. Mengapa? Karena mereka sendiri masih belum memiliki kemampuan atau keterampilan yang cukup untuk mengelola diri mereka sendiri sebagai warga negara digital. Orang dengan digital quotient yang rendah tidak dapat mengelola waktu mereka ketika menggunakan HP, mereka juga gampang termakan atau gampang sekali menyebarkan hoax. Mereka juga gampang sekali melakukan perundungan atau bahkan menjadi korban perundungan. Selain itu, mereka juga dengan sangat sembrono meninggalkan jejak-jejak digital yang seharusnya tidak penting, yang bisa mengancam keamanan mereka sendiri di dunia digital.

Yang kedua, jemaat mendapat pendidikan tentang penggunaan IT dari luar gereja. Mereka akan tetap memiliki digital quotient yang tinggi, menjadi orang-orang yang sangat pandai, sangat bisa membawa diri mereka di dalam dunia digital, dapat memfilter hal-hal yang bisa merusak diri mereka, tapi tidak bisa menghubungkan kecerdasan digital mereka yang tinggi itu dengan kehidupan kristen mereka pada era digital ini.

Akhirnya, kembali lagi, DQ yang tinggi itu akan kembali demi kepentingan diri sendiri, akan menjadi IT for Me. Lagi-lagi me first. Karena itu, yang sangat penting di sini adalah gereja mengambil peran dalam edukasi jemaat untuk menjadi jemaat yang mempunyai DQ yang tinggi dalam kehidupan rohani mereka.

Nah, kita akan masuk dalam bahaya gereja digital.

Selama 20 tahun lebih saya bergabung di SABDA, dan saya bisa melihat pelayanan digital, saya dapat menyaksikan Tuhan bekerja dengan luar biasa melalui pelayanan digital, melalui gereja digital. Namun, saya dan Anda tidak dapat menutup mata terhadap kelemahan-kelemahan yang timbul dari pelayanan gereja online.

Berikut ini adalah tujuh bahaya yang muncul dari gereja digital:


1. Disconnected atau tidak terhubung.

Era ini adalah sebuah era yang interconnected. Kita bisa terhubung secara luas, tapi bagi gereja digital, interconnected ini justru bisa menimbulkan masalah disconnected. Tidak ada lagi hubungan, tidak ada lagi relasi yang kuat dalam jangka panjang di antara jemaat. Tidak ada lagi kesatuan yang kuat karena jemaat menjadi jarang bertemu sehingga tidak ada sentuhan, tidak ada kehangatan. Hal-hal yang biasanya bisa kita dapatkan secara offline itu hilang sehingga membuat kita merasa tidak ada hubungan lagi. Dan lagi, gereja digital tidak memerlukan tempat yang khusus, tempat tertentu untuk kita bisa bertemu sehingga tidak ada tempat untuk kita bisa menghasilkan akar yang kuat demi membangun komunitas bersama. Apalagi, hal ini juga bisa menciptakan jarak; jarak secara emosional antarjemaat, maupun dengan gereja. Hal ini bisa membuat kita merasa tidak ada lagi emosi dalam hubungan itu, hanya datang dan pergi begitu saja. Bahaya disconnected ini tampak pada kebiasaan kita setelah ibadah. Jika sehabis ibadah offline kita makan-makan dulu dengan jemaat lain, ngobrol-ngobrol dulu, mendiskusikan firman Tuhan yang tadi dibahas, apa yang terjadi setelah ibadah online berakhir? Leave meeting, log off, bahkan kalau kita mengikuti ibadah itu di Youtube, kita bahkan tidak bisa melihat siapa saja teman-teman kita yang ikut bergabung menonton ibadah streaming saat itu. Kita mungkin bisa saling menyapa ada di live chat, tapi tidak ada hubungan yang bisa kita rasakan seperti kalau kita bertemu secara offline.


2. Disengaged atau tidak ada keintiman/keterlibatan.

Kalau kita perhatikan, saat ini anak-anak muda sangat luar biasa terlibat dalam pelayanan gereja digital karena merekalah yang menguasai alat-alat teknologi. Mereka bisa membantu hamba-hamba Tuhan membuat konten yang lebih baik, mengedit, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau kita perhatikan, 90% jemaat yang lain akhirnya hanya akan menjadi pengguna. Mereka hanya menjadi penonton. Mereka yang biasanya dalam gereja offline bisa terlibat sebagai kolektan, usher, pendoa syafaat, dan pelayanan-pelayanan lain dalam gereja, itu menjadi hilang. Mereka kini hanya menjadi pengguna di rumah, menikmati apa yang sudah dikerjakan oleh segelintir orang di dalam gereja yang mempunyai keahlian khusus. Ya, pada akhirnya, mereka bisa menjadi orang kristen yang berjiwa konsumen. Menjadi orang kristen yang hanya menghadiri gereja online, duduk manis di depan gadget mereka. Bahkan yang lebih berbahaya lagi, ketika mereka duduk manis di depan gadget untuk menghadiri gereja online, apakah mereka sedang berpakaian yang sepantasnya? Apakah mereka dalam keadaan yang baik, tidak sambil tidur-tiduran? Tidak lagi sambil sedang makan kacang?

Dan, jika mereka sudah tidak bisa lagi terlibat dalam pelayanan apapun seperti ketika mereka berada di gereja offline, gereja akhirnya tidak lagi menjadi tempat kita bisa membangun engagement. Gereja tidak lagi menjadi tempat kita bisa membangun komunitas yang saling melayani. Gereja tidak lagi bisa menjadi tempat orang-orang bisa melatih karunia rohani mereka. Gereja hanya menjadi semacam saluran untuk mendapatkan knowledge, bukan lagi menjadi organisme yang hidup, nyata, dan berkembang. Lebih dari itu, ownership terhadap gereja pun menjadi berkurang.


3. Distracted atau tidak fokus/kehilangan fokus

Gereja online dapat mengakibatkan semua pihak yang ada di dalamnya menjadi kurang fokus, baik dari sisi jemaat maupun dari sisi gereja. Yang pertama, dari sisi jemaat. Gereja online dapat membuat kita kehilangan inti ibadah yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan adanya terlalu banyak pilihan, terlalu banyak informasi dalam gadget yang membuat kita mudah teralihkan dari fokus ibadah kita. Mungkin kita tidak sadar, device kita itu dirancang bukan untuk kebaikan kita. Sebenarnya, device kita itu dirancang untuk keuntungan-keuntungan pihak-pihak tertentu. Kalau kita menggunakan device kita, kita akan selalu memiliki pilihan terhadap hal-hal yang menjadi interest kita. Dan, ketika gereja tidak menjadi interest kita, secara otomatis Youtube, situs lain, atau mesin pencarian akan membaca algoritma itu. Lagi pula, jika kita mau mencari gereja digital, kalau kita nggak dapat link dari gereja kita, kita juga tidak akan menemukan itu. Kita tersesat di dunia maya dengan pilihan-pilihan kita sendiri. HP tidak hanya dipakai untuk kepentingan gereja, tapi dipakai untuk kepentingan yang lain, dan ini menyebabkan jemaat bisa kehilangan fokus.

Ada pula bahaya yang berkaitan dengan masalah konten. Karena terlalu banyak pilihan, jemaat bisa memilih konten-konten yang mereka sukai, konten-konten yang sesuai dengan keinginan mereka, yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Akibatnya, mereka bisa pergi ke gereja lain, ke tempat lain yang tanpa mereka sadari mungkin saja membagikan konten yang tidak Alkitabiah atau bahkan sesat. Ini adalah sesuatu yang sangat berbahaya.

Di sisi lain, gereja juga bisa kehilangan fokus untuk menyenangkan Tuhan. Inti ibadah kita adalah untuk menyenangkan Tuhan, kita menyembah Tuhan. Namun, ketika di era digital ini ada banyak gereja digital yang bermunculan, fokusnya menjadi bisa teralihkan. Gereja akhirnya memilih untuk memberikan "permen" kepada jemaatnya supaya jemaat tidak pergi dari gereja. Gereja hanya memberikan hal-hal yang disukai jemaat, bukan yang jemaat perlukan bagi pertumbuhan rohani mereka. Akhirnya, jemaat bisa memiliki penyakit rohani yang kronis, "diabetes rohani", "sakit jantung rohani" sebagaimana para dokter memberi banyak daftar penyakit yang muncul akibat konsumsi permen yang berlebihan. Ini adalah hal yang berbahaya, pada akhirnya kita menjadi lebih fokus untuk menyenangkan manusia.


4. Disruption, kekacauan atau chaos.

Disrupsi ini berarti ada perkembangan yang begitu cepat, perubahan yang begitu cepat, dan tidak dapat diprediksi. Jika tidak waspada, gereja dapat menjadi tidak stabil karena gereja tergopoh-gopoh untuk mengikuti perkembangan sehingga mengakibatkan kekacauan dalam gereja. Kita semua tentu mengalami hal itu pada awal-awal pandemi ini. Saya pun sendiri mengalaminya ketika hari pertama gereja online diadakan. Di gereja saya tidak menggunakan platform Youtube, hanya pakai WA saja. Pada hari itu kami semua bingung sekali, "Bagaimana ini? Bagaimana berkhotbahnya?" Itu adalah pengalaman pertama kami, terjadi kekacauan yang luar biasa, tapi puji Tuhan, sekarang sudah bisa berjalan dengan baik.

5. Disbelive atau ketidakpercayaan.

Fenomena gereja online atau gereja digital saat ini bisa memunculkan keterikatan yang semakin besar terhadap teknologi dan hal ini bisa membuat gereja tidak sadar bahwa sekarang mereka sedang bergantung kepada teknologi untuk menyelenggarakan ibadah gereja secara digital. Sekarang, imannya tidak lagi bergantung kepada Tuhan untuk bisa melaksanakan ibadah online ini dengan baik, tetapi kepada kemampuan teknologi. Yang tidak memiliki jaringan yang lancar merasa was-was, "Semoga nanti internetnya lancar." Sementara yang sudah membeli layanan internet merasa aman, "Wah kita sudah beli internet dengan kecepatan yang sangat tinggi, yang sangat besar, jadi pasti kita bisa adakan ini dengan lancar." Iman dan kepercayaan kita seolah-olah berdasar pada teknologi.

Semua ini dapat memengaruhi posisi teknologi dalam hidup jemaat, seolah-olah kita masih melayani Tuhan dengan gereja digital, tetapi  sekarang semuanya hanya demi like, subcriber (karena tentu saja kita mau subcriber yang banyak), dan mungkin juga demi persaingan konten, bukan lagi demi Tuhan dan iman percaya kita kepada-Nya.


6. Distressed atau stres yang bisa mengarahkan kepada hal-hal yang bersifat negatif.

Akhir-akhir ini para hamba Tuhan juga mengalami stres. Hal ini disebabkan karena persiapan ibadah menjadi lebih lama, apalagi kalau kurang menguasai keahlian di bidang teknologi multimedia. Ibadah online membutuhkan proses yang lebih rumit, seperti proses editing video misalnya. Mengubah ini-itu ternyata tidak secepat yang kita pikirkan: tinggal geser, tinggal ganti ini, tinggal ganti itu. Proses editing itu memerlukan proses yang sangat panjang dan bisa menimbulkan stres yang tinggi ketika kita melakukan pelayanan digital.

Untuk dapat menjalankan ibadah online, Gereja juga harus memasang internet dengan kecepatan tinggi supaya streaming-nya bisa berjalan lancar. Itu juga tidak membutuhkan biaya yang murah. Lalu, gereja juga merasa perlu membeli alat-alat yang canggih, berinvestasi pada orang-orang dengan keahlian khusus yang dibutuhkan seperti keahlian IT, untuk bisa membuat konten. Bagaimana dengan gereja yang pengadaan alatnya terbatas? Apakah tetap bisa melakukan pelayanan gereja online ini dengan maksimal? Ini pun menambah stres yang lain lagi kepada para hamba Tuhan. Belum lagi menghadapi jemaat yang sekarang gemar sekali membanding-bandingkan performa gereja mereka dengan gereja lain, "Ah, ternyata khotbahnya 'nggak sebagus pendeta gereja di sana ya?" Ini sangat menimbulkan stres tersendiri bagi para hamba Tuhan.


7. Disloyal atau tidak setia

Kita harus akui, tanpa adanya gereja digital pun jemaat gereja sudah memiliki kecenderungan untuk pilih-pilih sesuai dengan minat mereka. Kalau gereja punya, misalnya, 5 kali jam ibadah, jemaat akan membuat pilihan akan beribadah pukul berapa hari itu, "Kalau saya 'nggak bisa bangun pagi, nanti ibadah siang saja. Tapi, kalau saya ternyata ingin piknik dulu siang nanti, saya akan ikut ibadah yang malam saja."

Ya, itu kebiasaan untuk berpindah-pindah itu sebenarnya sudah dibiasakan dari gereja offline. Alasannya juga beragam. Kalau di gereja yang banyak pendetanya, jemaat cenderung memilih untuk datang ke ibadah yang dipimpin oleh pendeta favorit mereka, "Kalau pendeta yang ini, saya 'nggak mau ah. Nanti saya pilih pendeta yang itu aja yang khotbah." Mereka juga lebih memilih gedung yang nyaman. Biasa anak-anak muda suka pilih gedung yang nyaman ini, yang enak, yang kursinya empuk dan sebagainya. Nah, apalagi pada era digital ini. Loyalitas jemaat bukan lagi untuk tubuh Kristus, bukan lagi untuk Tuhan, melainkan pada apa pun yang dapat gereja berikan bagi mereka, "Semua harus sesuai keinginan saya. Jika enggak, ya saya leave aja deh. Kalau enggak, ya saya log off aja deh. Kalau enggak, ya saya unsubcribe aja, saya cari sesuatu yang menyenangkan diri saya, sesuatu yang sesuai dengan apa yang saya suka." Kembali lagi, Me first. Segala-galanya tentang saya, bukan lagi segala-galanya tentang Tuhan.

Sebenarnya, masih ada "dis-" lain yang bisa disebutkan sebagai tambahan atas 7 bahaya yang sudah saya daftarkan di atas. Kami di SABDA menemukan bahwa setidaknya ada 15 "dis-" lain yang bisa ditambahkan seperti misalnya: Dislocated, disconnected, disillusioned, disorganized, discriminating, dishonest, dan "dis-" "dis-" lainnya. Semuanya ini adalah bahaya yang masih bisa kita tambahkan lagi. Namun, apa bahaya terbesar dari semua daftar panjang bahaya tersebut? Betul, semua bahaya dan ketakutan di atas itu adalah sesuatu yang nyata. Namun, apakah ini akan membuat bahaya dan ketakutan itu menang? Apakah kita akan memilih untuk terjepit di dalam bahaya-bahaya itu? Saya mau mengajak Anda untuk melihat setiap bahaya dan ketakutan yang ada itu sebagai tantangan dan kesempatan bagi gereja, bukan sebagai persiapan untuk ambil langkah mundur 20 tahun ke belakang, untuk kembali lagi ke old normal. Kalau kita tidak bisa mengambil peluang dan kesempatan, dan melihat semua bahaya itu sebagai tantangan, ada bahaya yang lebih besar lagi yang menanti kita.

Bahaya terbesar yang mengancam kita jika tidak terus maju dan mengambil peluang adalah bahwa kita akan tertinggal. Kita pasti akan tertinggal dalam gerakan Allah pada zaman ini. Banyak yang mengakui dan saya juga mengakui bahwa pandemi Corona ini adalah berkat yang terselubung dari Tuhan. Terutama untuk memaksa gereja berpikir tentang masa depan, berpikir tentang generasi digital.

Saya sangat bersyukur, karena seusai SABDA Live, saat kami mengadakan evaluasi dan saling membagikan pelajaran yang kami dapatkan dari sesi hari itu, Tuhan seperti menggetarkan hati saya dengan hal ini, "Tuhan sangat memikirkan para generasi digital." Tuhan tidak mau gereja membuat generasi digital ini hilang dari hadapan-Nya. Karena itu, melalui keadaan ini, Dia, Tuhan memaksa gereja untuk berpikir tentang generasi digital, generasi masa depan gereja agar gereja tetap bisa eksis, agar tubuh gereja bisa tetap ada. Tuhan sendiri yang memelihara gereja dari awal sampai akhir untuk tetap ada, dan jika kita tidak mau mengikuti perkembangan teknologi, Tuhan sendiri yang akan mengambil alih gerakan ini dan gereja kita bisa punah dan tertinggal.

Indonesia sudah digital. Pak Jokowi selalu berkata, "Indonesia sudah digital. Seluruh Indonesia sudah bisa terkoneksi dengan internet." Akan tetapi, mengapa gereja belum ke arah sana? Masih ada yang belum. Mengapa gereja sulit sekali? Ingat, dunia terus bergerak maju. Dunia akan maju dengan atau tanpa gereja. Jika kita memutuskan untuk takut dan mundur, jangan heran jika dalam 5 atau 10 tahun lagi gereja akan punah. Dan, apakah kita akan membiarkan hal ini terjadi?

Sebagai penutup, renungkanlah kutipan dari Ed Stetzer berikut ini:
"A church needs to be where the people gather and they are online and on social media sites."

Waspadalah, gereja harus ada di manapun orang berada dan saat ini dunia digital adalah tempat berkumpul begitu banyak orang yang perlu kita perhatikan, orang-orang yang perlu kita layani dengan pelayanan gereja digital.