Seperti yang sudah kita ketahui, pandemi COVID-19 ini mengguncang dunia kita. Seluruh dunia terguncang oleh keberadaan virus RNA ini, bukan hanya jarak sosial, tetapi juga menimbulkan peningkatan angka stres karena kehilangan orang-orang yang terkasih, kehilangan relasi, kehilangan pekerjaan, kehilangan pendapatan, ada peningkatan angka pengangguran di mana-mana, terjadi kesepian, orang-orang tua yang tidak bisa bertemu dengan sanak keluarga dan anak cucunya, kemudian juga ada kecemasan berlebih, kebosanan, kejenuhan yang terjadi sebagai akibat dari working from home atau school from home yang mengalienasi banyak orang. Di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, terjadi peningkatan kasus kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga. Belum lagi dengan masalah trauma pasca pandemi yang diperkirakan akan terjadi setelah COVID-19 ini berlalu. Semua itu tentu saja bukan hanya kenyataan yang terjadi di luar sana, tetapi juga terjadi di dalam gereja, semua itu terjadi pada anggota gereja kita sendiri.

Dari sana kita bisa melihat bahwa situasi ini membutuhkan penggembalaan yang lebih dari biasanya untuk menjawab segala permasalahan pribadi maupun rohani yang timbul dari dalam diri jemaat akibat pandemi ini. Karena itu, konseling, pemuridan, doa, dan pembinaan iman menjadi pelayanan penggembalaan yang sangat mendesak untuk dilakukan saat ini. Mengapa? Karena jenis-jenis pelayanan penggembalaan ini merupakan pelayanan yang melaluinya gereja dapat menyentuh persoalan nyata manusia sehari-hari. Anggota gereja, warga jemaat, bisa hadir untuk menyatakan kasih dan kepedulian kristus kepada mereka yang tengah bergumul, dan gereja harus mengambil peranan ini. Peranan penggembalaan ini bisa menjadi support system atau pertolongan bagi mereka yang membutuhkan. Namun, pertanyaannya sekarang, siapa yang dapat melakukan pelayanan penggembalaan ini? Apakah hanya pendeta, gembala, hamba Tuhan, majelis, atau penatua? Hal ini tentu perlu dipikirkan ulang, apakah benar bahwa fungsi penggembalaan itu hanya bisa dilakukan oleh pendeta atau hamba Tuhan yang ditetapkan untuk memimpin jemaat? Mari kita sama-sama mengoreksi mindset yang salah ini, yang selama ini justru membuat jemaat enggan atau tidak terbeban untuk melakukan pelayanan penggembalaan.

Pemikiran bahwa penggembalaan adalah tugas yang hanya diperuntukkan bagi hamba Tuhan (pendeta, majelis, atau penatua) adalah mindset yang salah. Alkitab tidak pernah mengatakan demikian. Mari kita lihat dasar firman Tuhan berikut ini:

1. Tuhan Yesus memanggil/memberdayakan seluruh orang percaya untuk melaksanakan misi-Nya. Semua warga gereja sebagai orang percaya adalah gembala bagi sesamanya, untuk menasehati sesama saudara dan jemaat sebagai persekutuan (Mat. 28:19-20).

2. Gereja disebut sebagai "umat yang terpilih, imamat rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah," (1 Ptr. 2:9). Ini berarti gereja merupakan komunitas imam atau keimaman dari orang-orang percaya sehingga orang percaya terlibat dalam keimaman secara universal.

3. Paulus mengajak warga jemaat agar saling menolong, saling menghibur, saling membangun di antara kawanan jemaat, dan sabar terhadap tiap-tiap orang (1 Tes. 5:11, 14-22).

4. Orang percaya diminta untuk mantalayankan talenta yang ada padanya sebagai persembahan yang benar (Rm. 12:1-8).

Di atas jelas dinyatakan bahwa Tuhan Yesus, Petrus, maupun Paulus tidak pernah menyatakan bahwa penggembalaan itu hanya tugas eksklusif bagi para hamba Tuhan. Sebaliknya, ketiganya menyatakan bahwa tugas penggembalaan ini adalah tugas seluruh orang percaya atau jemaat gereja. Sekarang jelaslah bahwa semua anggota gereja, seluruh orang percaya, harus melakukan tugas penggembalaan ini. Namun, bagaimana gereja bisa menyiapkan jemaatnya agar mampu atau bisa melakukan pelayanan ini? Yang juga penting adalah bagaimana gereja bisa menyiapkan generasi muda untuk juga terlibat dalam pelayanan ini, karena merekalah yang menjalankan kepemimpinan gereja di masa yang akan datang. Berikut adalah tiga cara yang harus gereja lakukan untuk menyiapkan pelayanan penggembalaan:

Tugas 3E
Empower
Gereja memberdayakan jemaat untuk dapat melakukan pelayanan penggembalaan. Dalam aspek ini, gereja melakukan pelayanannya untuk memberikan kesadaran maupun mendorong jemaat untuk terlibat aktif dalam pelayanan penggembalaan.

Equip
Setelah itu, gereja akan melakukan equip atau memperlengkapi kapasitas jemaat, khususnya generasi muda, untuk dapat melakukan pelayanan penggembalaan secara benar, efektif, dan sesuai dengan terang firman Tuhan. Gereja dapat memperlengkapi jemaat dengan memberikan berbagai pelatihan, mengajarkan berbagai metode penggembalaan, serta memberikan bahan-bahan dan alat-alat yang dibutuhkan supaya jemaat semakin tajam dalam melakukan pelayanannya.

Endow
Setelah gereja memperlengkapi dan memberdayakan jemaat, gereja juga perlu menyokong jemaat dalam menggembalakan dan melayani. Dalam hal ini, gereja harus memberikan ruang gerak, dukungan, cara, serta berbagai sokongan yang dapat membuat jemaat dapat semakin efektif dalam pelayanan penggembalaan.

Tiga hal di atas adalah hal-hal yang harus gereja masukkan ke dalam rencana pelayanannya mengingat bahwa krisis pandemi ini sudah berdampak pada hidup banyak orang. Pendeta, majelis, penatua, tentu tidak bisa melakukan pelayanan penggembalaan ini sendirian, jemaat harus diberdayakan untuk bisa saling melayani, saling mendukung, dan saling membantu sehingga jemaat yang memiliki masalah ataupun memerlukan layanan penggembalaan dapat merasakan kasih dan dukungan dari jemaat yang lain dalam kehidupan mereka.

Tentu kita juga menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan yang terjadi saat ini, keterbatasan jarak serta aturan-aturan protokol kesehatan lainnya membatasi kita dalam melakukan pelayanan ini. Akan tetapi, keterbatasan ini tidak tidak menutup kemungkinan untuk semua anggota jemaat bisa terlibat. Dengan adanya teknologi, kita bisa melakukan berbagai macam pelayanan yang dapat menjangkau saudara-saudara kita yang lain. Namun, yang paling penting saat ini adalah bagaimana kita menanamkan terlebih dahulu dasar atau inti dari fungsi penggembalaan itu. Kita akan membahas tentang penggembalaan dan berbagai aspek yang meliputinya, juga tentang bagaimana teknologi bisa membantu kita secara efektif dalam melakukan pelayanan ini.

Berikut ini saya akan membagikan penggembalaan di masa transisi. Ada 4 poin:
1. Makna "gembala" dalam budaya atau latar belakang Yahudi.
2. Adaptable church; tradisi gereja yang siap beradaptasi dalam sepanjang sejarah gereja.
3. Fondasi dari respons terhadap perubahan-perubahan yang akan selalu kita hadapi (Rm. 8:28-29, 35-39).
4. Transisi ke arah digital yang mau tidak mau harus kita persiapkan dan kita jalani.


1. Makna "gembala" di dalam budaya atau latar belakang Yahudi.

Poin pertama adalah tentang makna atau konsep dari penggembalaan, yaitu gembala. Kita tentu pernah melihat atau membayangkan gambaran seorang gembala yang duduk bersama beberapa ekor dombanya sambil memegang sebuah tongkat yang memiliki semacam kait di bagian atasnya. Simbol tongkat ini sebenarnya berasal dari tradisi atau latar belakang budaya semitik/Yahudi, yaitu huruf Ibrani "L" atau "lamed".

Makna dari huruf "L" atau "lamed" ini, adalah "mengarahkan", seperti halnya seorang gembala mengarahkan domba-dombanya dengan tongkatnya. Dengan tongkatnya, si gembala mengarahkan domba-dombanya keluar dari kandang di pagi hari dan membawa mereka ke padang rumput atau mata air. Di sisi lain, jika ada domba yang memberontak atau membangkang, tongkat itu berguna untuk mengarahkan atau mendisiplin domba itu dengan hajaran. Ada tiga kata dalam Alkitab yang menggunakan konsep "L" atau "lamed". Yang pertama adalah "EL" atau "Tuhan". Dalam bahasa Ibrani, kata "Tuhan" memiliki makna "sosok kuat yang mengarahkan atau memimpin". Kata yang kedua adalah "lamad" yang terdiri atas konsonan "L", "M" dan "D" yang artinya adalah "mengajar". Kemudian kata yang ketiga adalah "talmid". Kata ini berasal dari kata "lamad" jadi ada "L", "M", dan "D", yang ditambahi huruf "T" di depan yang berarti "murid" sehingga jika kita bandingkan dengan kata yang terdapat dalam Amanat Agung di Matius 28: 18-20, kita melihat ada setidaknya dua variasi dari terjemahan ayat tersebut. Yang pertama kita lihat dalam KJV dituliskan "teach all nation" (ajarlah segala bangsa). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, misalnya kita ambil contoh TB, kita membaca, "jadikanlah Semua bangsa murid-Ku," atau jika di frasakan ulang, "muridkanlah segala bangsa." Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa kata Ibrani yang sama digunakan untuk menuliskan kata, "ajarlah", tapi juga "muridkanlah", atau "jadikanlah murid". Mengapa? Karena kedua kata ini berasal dari keluarga kata yang sama, dari "lamad" dan "talmid". Itu yang tertulis di dalam Amanat Agung.

Kemudian kata kunci lain yang berkaitan dengan itu adalah kata "pergilah" dalam Amanat Agung yang juga masih berhubungan dengan konsep "lamed". Mengapa saat ini penting sekali menonjolkan kata perintah "pergilah"? Karena saat ini adalah masa transisi, saat ini ada begitu banyak kawanan domba yang hilang. Kita lihat gereja kehilangan kehadiran jemaat karena dipaksa oleh keadaan, dan oleh imbauan pemerintah. Namun demikian, fungsi penggembalaan dan panggilan penggembalaan itu tidak berubah dari dahulu sampai saat ini. Maka, kata "pergilah" itu justru menjadi semakin relevan pada masa-masa ini. Lalu, bagaimana kita menemukan domba-domba yang hilang itu? Ternyata, domba-domba yang hilang itu sekarang banyak beralih ke dunia digital. Pengguna media sosial semakin banyak, bandwidth yang digunakan juga semakin besar karena banyak orang yang menggunakan media digital untuk "bertemu" dan berkomunikasi. Jadi perintah "pergilah" itu semakin mendorong kita untuk pergi ke dunia digital dan mencari domba-domba yang hidup di dunia digital, mengarahkan mereka, dan membimbing mereka ke jalan yang benar. Ingatlah bahwa Yesus berkata, "Akulah jalan" sehingga tugas kita sebagai gembala adalah mengarahkan domba-domba kita kepada Yesus, "Sang Jalan", satu-satunya jalan. Jadi, sekali lagi, panggilan yang saat ini sedang kita geluti menjadi semakin relevan karena meskipun sekarang banyak domba yang hilang, kita tahu bahwa mereka tidak hilang ke antah-berantah, tetapi mereka berada di dunia digital, di tempat yang bisa kita jangkau dengan media dan cara yang kita miliki.


2. Adaptable church atau gereja yang siap beradaptasi.

Jika kita melihat sejarah, bahkan sejak zaman gereja mula-mula, gereja Tuhan sudah akrab dengan perubahan dan adaptasi. Mari kita belajar dari Kisah Para Rasul 15. Dalam pasal itu dituliskan tentang konsili atau pertemuan di Yerusalem yang dihadiri oleh para pemimpin gereja dan para pelayan Tuhan. Saat itu, para murid Yesus sedang bergumul karena mereka menghadapi perubahan yang sangat besar, yaitu masuknya bangsa bangsa non-Yahudi ke dalam jemaat Kristen. Orang-orang non-Yahudi, seperti Kornelius dan banyak orang Yunani serta Romawi lainnya, menjadi orang percaya dan mengalami culture shock karena perbedaan budaya yang sangat besar. Mereka bergumul, apakah orang Kristen non-Yahudi harus mengikuti aturan-aturan tradisi Yahudi? Selain itu, Kisah Para Rasul 15 juga mencatat banyak konflik. Kita melihat bagaimana Paulus mengatai Petrus sebagai orang munafik ketika melihat perbedaan sikap Petrus terhadap orang Yunani sebelum dan sesudah orang-orang Kristen Yahudi datang. Perubahan besar yang terjadi saat itu adalah target pemuridannya, jemaatnya tidak lagi berasal dari satu bangsa saja.

Kemudian, ada juga perubahan yang terkait cara komunikasi. Pada zaman dahulu, surat-surat PB ditulis di papirus, disiapkan dengan konsep, kemudian ditulis dengan tangan oleh para penulisnya. Namun, di zaman reformasi, orang menggunakan mesin cetak. Jadi semakin banyak bahan-bahan termasuk Alkitab yang dicetak untuk menyebarkan semangat reformasi. Saat ini, kita menggunakan media komunikasi yang berbeda yaitu internet. Jadi kita menggunakan media yang sangat berbeda dengan era reformasi, juga dengan era jemaat mula-mula. Namun, tujuannya tetap sama, yaitu mengkomunikasikan, hanya medianya saja yang berbeda. Jadi, sejak dahulu, kita sudah punya tradisi respons yang tepat terhadap beragam perubahan cara berkomunikasi.

Kemudian ada juga perubahan budaya. Dari alat musik yang digunakan dalam ibadah sampai cara berpakaian. Pada zaman jemaat mula-mula, alat musik yang dipakai mungkin hanya alat musik ritmis seperti tamborin dan sebagainya. Namun, sekarang kita memakai alat musik modern seperti piano, organ, dan sebagainya. Anak-anak muda zaman ini gemar dengan musik kontemporer, misalnya, tapi gereja-gereja kesukuan lebih memilih menggunakan alat musik etnik sesuai budayanya. Setiap gereja lokal juga punya perbedaan-perbedaan yang mungkin tampak dalam cara berpakaian mereka ke gereja. Tidak hanya itu, ketika gereja Eropa masuk ke Jawa, misalnya, mereka harus beradaptasi dengan budaya orang Jawa, salah satunya dengan cara berpikir masyarakat Jawa. Hal yang sama juga terjadi ketika mereka masuk ke bangsa-bangsa lain.

Sekarang, kita juga ditekan dengan keadaan dan juga oleh aturan untuk menjaga jarak. Itu juga termasuk perubahan budaya. Jika sebelumnya kita terbiasa bersalaman, sekarang kita dilarang. Jika dulu kita terbiasa bersekutu dengan bertatap muka, bahkan menggunakan salah satu ayat Alkitab sebagai pengingat untuk rajin bersekutu dalam persekutuan di satu tempat, sekarang hal itu justru menjadi sesuatu yang sulit. Saat ini kita sedang bergumul dengan perubahan budaya, tetapi seperti yang sudah kita lihat di atas, secara tradisi dan sejarah, umat Kristen sudah terbiasa dengan perubahan-perubahan. Jadi, ini bukanlah hal yang sama sekali baru.


3. Fondasi respons orang Kristen terhadap perubahan-perubahan (Rm. 8:28-29, 35-39).

Dasar respons kita terhadap segala perubahan ataupun tantangan-tantangan yang harus kita hadapi bisa kita lihat di Roma 8. Yang pertama adalah ayat 28-29. Di sana dikatakan, Tuhan bisa memakai segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang terpanggil yaitu kita atau gereja. Jadi kata "segala sesuatu" berarti bisa baik atau buruk, bisa yang enak ataupun yang tidak enak. Hal-hal yang tidak enak itu bisa saja berupa malapetaka, kesulitan, dan sebagainya. Jadi, Tuhan bisa memakai kesulitan untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Para murid sudah merasakan bagaimana sulitnya mengikut Yesus. Kita lihat Bagaimana Petrus pernah dihardik sebagai setan atau iblis. Saat itu, Petrus berpikir bahwa dia sedang berbuat baik untuk mencegah Yesus disalib, tetapi Sang Guru malah memberi pernyataan yang sangat menyakitkan terhadap Petrus di hadapan teman-temannya. Itu adalah proses penderitaan dalam pemuridan yang terjadi saat itu. Dan saat ini, kita juga sedang kesakitan, kita menderita. Kita kesulitan bertemu orang, tapi kita punya kerinduan untuk menjangkau mereka. Jadi, daging kita sedang diproses, daging kita sedang merasakan sakit. Kemudian di ayat 35-39 dituliskan hal-hal yang dianggap sebagai kesulitan, malapetaka, atau penderitaan. Semuanya itu bisa berupa krisis, penyakit, perang, kemiskinan, ketelanjangan, dan seterusnya. Namun, di ayat tersebut dikatakan bahwa tidak ada satupun dari semua itu yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus. Dengan demikian, apapun yang kita alami, bahkan hal yang buruk sekalipun, tidak bisa memisahkan kita dari kasih Kristus, bahkan semuanya itu bisa Tuhan pakai untuk mendatangkan kebaikan. Saat ini kita sedang berada pada titik di mana kita perlu menyadari bahwa ada hal-hal baik yang Tuhan berikan di balik malapetaka ini. Kita perlu mencari sisi-sisi positif apa saja yang bisa kita manfaatkan. Jadi, seandainya malapetaka ini berupa banjir, kita bisa surfing di atas banjir, karena sebagaimana dikatakan di atas, banjir ini pun tidak bisa memisahkan kita dari kasih Kristus.


4. Transisi ke arah digital.

Pada poin yang keempat ini, kita akan membahas tentang adaptasi gereja, khususnya terhadap media sosial. Kalau Anda ingat, tahun 2005-2007 adalah tahun-tahun yang krusial di Indonesia karena saat itu teknologi internet mulai dikenal secara luas dan juga munculnya media sosial yang populer saat itu seperti Friendster. Jadi Friendster ini seperti blog pasif untuk menampilkan jati diri seseorang di dunia maya, tapi karena blog, media sosial ini tidak bisa interaktif. Friendester cukup populer untuk 1-2 tahun hingga muncullah Facebook di Indonesia, kira-kira tahun 2007 menurut pengamatan saya.

Ada dua fitur Facebook yang sangat berperan untuk menggaet pengguna internet berpindah dari Friendster dan media sosial lain pada waktu itu ke Facebook. Yang pertama adalah fitur chat. Saat itu, pengguna internet biasanya chatting menggunakan IRC, MIRC, atau Yahoo Messenger, tetapi ketika Facebook muncul, media sosial ini memungkinkan penggunanya untuk menampilkan jati diri mereka di dunia maya sekaligus melakukan chat secara real time. Perlahan-lahan, pengguna IRC ataupun Yahoo Messenger mulai meninggalkan kedua platform tersebut dan beralih ke Facebook. Fitur kedua yang membuat Facebook begitu menarik pengguna adalah fitur grup. Fitur ini sangat menarik karena memungkinkan penggunanya untuk membuat kelompok-kelompok, grup, atau paguyuban sesuai dengan kesukaan mereka. Saat itulah, di antara orang-orang Kristen, bermunculan grup-grup gereja, pemuridan, persekutuan, dan grup Kristen lainnya. Grup-grup yang bisa kita sebut sebagai jemaat digital ini kemudian menjadi wadah bagi orang-orang Kristen untuk berdiskusi, memuridkan, mengajar, bahkan berbagi bahan-bahan secara digital.

Kalau kita melihat salah satu nubuatan kepada Daniel tentang akhir zaman, ada satu nubuatan yang tidak boleh dibuka tetapi dimeteraikan. Dikatakan bahwa pada akhir zaman, orang akan belajar, kemudian materai pengetahuan itu akan terbuka. Saya rasa, saat inilah meterai itu terbuka. Mengapa? Karena sekarang orang awam bisa mengakses, membaca bahan-bahan teologi yang pada masa lalu hanya bisa diakses oleh mereka yang sekolah teologi, para rohaniawan, atau biarawan. Sekarang, kita bisa membaca teks-teks kuno dalam format digital, dan kita bisa belajar seperti halnya para biarawan pada zaman dahulu belajar tentang kitab-kitab bahasa asli. Kita juga bisa berapologetika, berkumpul di dalam jemaat digital untuk saling berbagi dan memberi pertanggungjawaban atas iman kita kepada dunia. Semuanya itu dimungkinan oleh platform digital. Jadi sebenarnya gereja, katakanlah sudah 10-15 tahun ini punya pengalaman berkolaborasi dan berkumpul di dunia digital, hanya saja sekarang ini mereka yang belum ikut ambil bagian dalam jemaat digital itu baru merasakan keharusan untuk menggunakan media digital karena media yang konvensional dan tatap muka sudah tidak bisa digunakan lagi.

Intinya, kita sebenarnya sudah beradaptasi, bahkan banyak orang sebenarnya sudah siap. Hanya sebagian kecil dari kita yang tidak terbiasa dengan teknologi yang perlu kita ajak, kita pandu, kita bantu, untuk pada akhirnya juga bisa menjangkau dunia digital. Sebagaimana kata kunci dalam Amanat Agung adalah perintah, "Pergilah", saat ini kita pun harus pergi ke dunia digital untuk menggembalakan jemaat digital.

Berikutnya kita akan melihat beragam media sosial, cara-cara digital, dan bahan-bahan digital yang bisa kita manfaatkan untuk menggembalakan, mengajar, dan saling membantu di dalam dunia yang baru ini karena kita sebagai jemaat dari satu Gembala sedang bersiap untuk menuju kepada dunia digital. Namun sebelumnya, kita harus memiliki kesimpulan dan kesamaan pendapat dalam beberapa hal yang sudah dibahas di atas:

1. Tugas penggembalaan berbicara tentang fungsi, bukan sekadar jabatannya.
2. Tugas penggembalaan seharusnya menjadi tanggung jawab dan panggilan bagi setiap orang percaya.
3. Gereja harus memperlengkapi dan memberdayakan jemaatnya untuk dapat saling membangun dan melakukan tugas penggembalaan.
4. Era digital memudahkan gereja untuk memperlengkapi jemaat dan orang-orang percaya.
5. Penggembalaan memiliki banyak aspek: pemuridan, konseling, doa, dst. dan tujuannya adalah membangun iman jemaat.

Ada begitu banyak platform media sosial dan komunikasi yang saat ini bisa kita gunakan untuk menjalankan pelayanan penggembalaan. Beberapa contoh di antaranya adalah Facebook, Whatsapp, YouTube, Twitter, Instagram, Zoom, Google Meet, dan Skype. Semua platform yang sudah disebutkan itu mungkin cukup familier bagi kita karena kita sering menggunakannya akhir-akhir ini.

Meskipun di atas sudah dijelaskan bahwa sebenarnya orang percaya sudah cukup kenal dengan platform digital, tetapi pandemi ini benar-benar memaksa kita untuk belajar untuk menemukan cara-cara kreatif dan cara-cara baru agar kita semua tidak terjebak dengan satu cara yang sama saja. Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa pandemi ini menjadi suatu momentum supaya kita keluar dari zona nyaman kita yang lama seperti jenis-jenis pelayanan yang sudah terstruktur, teratur, dan terjadwal. Ingatlah bahwa ladang pelayanan digital sudah sangat luas dan jemaat kita sudah ada di sana sehingga jika kita tetap tidak mau menjangkau ke sana, kita akan kehilangan orang-orang tersebut.

Untuk melakukan Pendalaman Alkitab dan pembinaan jemaat, sudah ada banyak aplikasi yang dapat kita gunakan. Mungkin Anda sudah tahu bahwa SABDA memproduksi dan mengembangkan banyak aplikasi seperti:

Alkitab

Alkipedia

Kamus Alkitab

Tafsiran

Peta

Doa Sedunia

He Cares

SABDA Komik

Selain itu, ada berbagai platform digital yang bisa dipakai, salah satunya adalah bot, Telegram, Facebook, dan bahkan Whatsapp. Jadi informasi itu benar-benar hanya sejauh ujung jari dan saat ini tidak ada gap informasi seperti dulu, yang mungkin pernah kita rasakan. Siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, bisa mengakses bahan penggembalaan dengan bebas.

Platform-platform ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tetapi jika bisa digunakan dengan efektif bisa sangat menolong. Beberapa di antaranya adalah newsletter. Newsletter biasanya dibagikan dalam bentuk email. Dengan newsletter, kita bisa saling membagikan pokok doa, artikel, bahan teks, dan bahan multimedia walaupun harus tetap memperhatikan ukuran berkas yang dibagikan. Ini sangat berguna bagi Anda untuk melengkapi jemaat-jemaat atau orang-orang percaya yang juga memiliki panggilan dan kerinduan untuk memberkati orang lain. Kita juga bisa membagikan dan memasang sumber bahan penggembalaan kita seperti seperti bahan-bahan ataupun metode-metode berdoa, pemuridan, konseling, dan juga gerakan-gerakan pendalaman Alkitab di situs.

Lalu, apa tantangan dari penggembalaan di masa depan? Sebenarnya, yang menjadi tantangan adalah bagaimana kita bisa membuat pelayanan penggembalaan offline dan penggembalaan online menjadi pelayanan yang saling melengkapi. Kita harus melihat keduanya sama-sama penting, bukan mementingkan pelayanan online dan mematikan pelayanan offline yang sudah ada. Tugas kita adalah memikirkan dengan serius bagaimana supaya digitalisasi yang pesat, yang dipicu oleh pandemi ini, bisa melengkapi dan mempermudah pelayanan penggembalaan di masa depan.

Sambil kita memikirkannya, kita perlu waspada agar tidak kembali kepada jalan dan cara yang lama. Dalam Yohanes 21:1-14, para murid Yesus jatuh kepada kesalahan ini. Dalam bagian itu, meskipun mereka melihat bahwa Yesus sudah bangkit dari kematian, mereka tetap kembali kepada pekerjaan mereka yang lama; menjadi nelayan atau penjala ikan. Padahal, Yesus memanggil mereka untuk menjadi penjala manusia. Meskipun tidak dituliskan secara gamblang, saya mengambil pelajaran dari bagian Alkitab ini bahwa ketika Tuhan sudah menunjukkan cara hidup, jalan hidup yang baru, jangan kita berusaha untuk kembali kepada jalan-jalan yang lama, atau cara-cara yang lama. Itu tidak akan membuat kita puas. Dalam Yohanes 21, murid-murid yang mencoba kembali ke jalan hidup mereka yang lama itu tidak mendapatkan ikan satu ekor pun meskipun sudah menjaring semalaman. Kehidupan mereka yang lama itu tidak lagi memberikan apa yang mereka butuhkan.

Ketika kita boleh kembali mengadakan ibadah secara offline dengan menerapkan protokol kesehatan, jangan hentikan pelayanan ibadah online kita. Gunakanlah perangkat-perangkat yang sudah kita beli untuk terus mengadakan ibadah live streaming bagi jemaat-jemaat yang masih belum bisa kembali ke gereja. Pendalaman Alkitab pun bisa dilakukan secara ashynchronous maupun synchronous seperti yang dijelaskan dalam artikel tentang gereja digital atau gereja online. Kegiatan pemuridan dan pembinaan jemaat juga bisa menggunakan jalur seperti Zoom dan Google Classroom. Pelayanan konseling online juga bisa menolong konseli untuk lebih terbuka sebab masih banyak jemaat yang segan untuk datang ke pendeta dan kurang bisa terbuka jika ditanya langsung dalam sebuah sesi tatap muka. Jalur online sangat menolong konseli untuk dapat lebih terbuka untuk curhat, bersaksi, atau menceritakan permasalahan-permasalahan mereka. Itulah yang menurut saya mengapa pelayanan online perlu tetap dipertahankan. Contoh lainnya adalah persekutuan doa yang diadakan secara online memungkinkan orang-orang di tempat yang berbeda, di waktu yang berbeda, bahkan mereka yang tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka, untuk tetap bisa turut bersatu hati dalam berdoa bersama orang-orang yang mungkin belum mereka kenal.

Jadi, yang menjadi poin dari keseluruhan artikel ini adalah bahwa kita semua perlu berpikir keras untuk penggembalaan masa depan yang berkelanjutan. Tidak hanya pada masa pandemi COVID saja, tetapi memanfaatkan pandemi COVID ini sebagai momentum untuk memikirkan arah pelayanan kita di masa depan.

Segala pelayanan online kita yang sudah dilakukan juga jangan ditinggalkan setelah pandemi COVID ini berakhir, tetapi kombinasikanlah metode atau cara-cara baru yang sudah kita dapatkan selama masa ini dengan yang sudah kita ketahui untuk dapat menjalankan pelayanan yang lebih efektif dibandingkan jika kita menjalankan cara baru dan lama itu secara terpisah. Kami dari Yayasan Lembaga SABDA mengajak Anda untuk memandang pandemi ini sebagai momentum untuk mencari perpaduan terbaik antara offline dan online demi pelayanan penggembalaan di masa depan, terutama untuk generasi digital.